Pustaka Lestari

Permasalahan Pasca Implementasi Kebijakan Pengelolaan Guru dan Rekomendasi

 

Kebijakan pengelolaan guru adalah bagian dari strategi pencapaian tujuan penyelenggaraan pendidikan nasional. Oleh karena itu, keberhasilan dalam implementasi kebijakan tersebut menjadi sangat penting. Akan tetapi dalam implementasinya, terdapat sejumlah permasalahan dalam pengelolaan guru nasional yang berpotensi tidak tercapainya tujuan kebijakan.

Sertifikat pendidik adalah bukti profesionalitas seorang guru profesional. Oleh karena itu, proses sertifikasi menjadi persoalan yang sangat penting dalam pengelolaan guru. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru yang telah memenuhi standar profesional guru dalam rangka meningkatkan mutu guru (Latiana, 2016).

Dari data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sejak diundangkannya UU Guru dan Dosen sampai tahun 2019, dari keseluruhan jumlah guru yaitu 2.698.612 guru, sebanyak 1.144.544 guru sudah bersertifikat atau 42,4% yang terdiri dari guru PNS (958.575) dan guru bukan PNS (185.969). Untuk guru PNS sendiri, dari jumlah 1.183.606 guru, yang belum sertifikasi mencapai 225.031 guru atau sekitar 19%. Kondisi yang kontras terjadi pada guru bukan PNS. Dari 1.515.006 guru, yang belum sertifikasi mencapai 1.329.037 guru atau mencapai 87,7% belum tersertifikasi.

Dari jumlah guru bukan PNS yang mengajar di sekolah negeri sebanyak 765.899, terdapat 690.438 guru (90%) yang sudah memiliki kualifikasi akademik sarjana (S-1). Akan tetapi, hanya sekitar 2,4% atau 18.008 yang sudah memiliki sertifikat pendidik.

Pasal 24 ayat (1), (2), dan (3) UU Guru dan Dosen mengatur bahwa pemenuhan kebutuhan guru ada pada pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan dan lingkupnya masing-masing. Saat ini diketahui bahwa masih terdapat kekurangan guru sebanyak 683.362 guru. Apalagi, diprediksi kekurangan akan semakin meningkat mengingat jumlah guru yang akan pensiun mencapai 72.976 orang di tahun 2020 dan 69.757 orang pada tahun 2021. Dengan begitu, angka kekurangan guru menjadi 888.854 orang.

Permasalahan yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan guru setidaknya bersumber pada tiga hal yaitu ketidaksesuaian kualifikasi guru dengan kualifikasi pelamar, formasi tidak sesuai dengan kebutuhan, dan mutasi guru yang tidak didasarkan pada kualifikasi guru.

Selain persoalan jumlah guru yang belum sertifikasi dan belum terpenuhinya kebutuhan guru secara nasional, terdapat juga persoalan kualitas guru. Persoalan ini meliputi kurangnya penguasaan materi ajar, metode belajar, pengelolaan kelas, dan tugas bimbingan. Selain itu, persoalan ini juga menyangkut kualitas guru yang sudah lulus sertifikasi namun belum sesuai SNP, misalnya tidak menguasai teknologi informasi dan komunikasi, komputer, media pembelajaran, teknologi pembelajaran, dan kemampuan membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) (Faqih, 2019).

Belum meratanya jumlah guru di beberapa daerah di Indonesia yang sulit ditangani karena adanya ketentuan pembagian kewenangan pengelolaan pendidikan dalam UU Pemerintahan Daerah. Berdasarkan UU Pemerintahan Daerah, kewenangan pengangkatan dan redistribusi guru ada pada pemerintah daerah sehingga pemerintah pusat tidak dapat secara langsung melakukan redistribusi guru.

Kekurangan guru di sekolah negeri berjumlah 888.854 orang yang disebabkan oleh jumlah rekrutmen guru yang lebih kecil dari jumlah guru yang pensiun. Hal ini memicu pengangkatan guru honorer yang di kemudian hari justru menuai permasalahan. Hal lain menyangkut pembagian kewenangan adalah dalam hal pembinaan karir guru. Kewenangan pembinaan karir guru ada pada pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah belum dapat mengalokasikan dana untuk pembinaan karir dan beban pemerintah pusat menjadi terlalu besar.

Postur anggaran fungsi pendidikan pada APBN 2019 yang lalu untuk transfer daerah memperlihatkan bahwa dari Rp308,38 triliun, sekitar Rp117,47 triliun dialokasikan untuk DAK Non-Fisik yang meliputi BOS Reguler, BOS Afirmasi, BOS Kinerja, BOP PAUD, tunjangan profesi, tunjangan khusus guru, dan tambahan penghasilan guru. Sementara, alokasi anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik tidak ada (Aji, 2019).

Padahal, dalam UU Guru dan Dosen Pasal 13 ayat (1) dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Bahkan, UU ini mengamanatkan substansi anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dibuat peraturan pemerintah. PP Nomor 74 Tahun 2008, mencantumkan ketentuan tersebut, tetapi disayangkan tidak dicantumkan kembali dalam PP Nomor 19 Tahun 2017.

Dari data Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud terkait jumlah guru honorer di sekolah negeri sebanyak 765.899 guru, hanya 18.008 (2,4%) yang sudah bersertifikat. Ini artinya, sebanyak 747.891 atau 97,6% yang belum bersertifikat. Jumlah ini berkorelasi dengan masih banyaknya guru honorer yang belum mendapatkan tunjangan profesi sebagai hak atas perolehan sertifikat pendidik. Dari jumlah guru honorer belum bersertifikat, sekitar 13% guru honorer mendapatkan honor Rp300.000/bulan.

Hal ini berbeda dari penghasilan guru honorer yang sudah bersertifikat dan sudah inpassing. Jumlah mereka mencapai 14 orang. Di samping memperoleh tunjangan profesi guru (TPG), mereka juga memperoleh tunjangan khusus guru (TKG) yang besarnya Rp6.878.000. Sementara, mereka yang sudah bersertifikat tetapi belum inpassing memperoleh Rp3.854.000. Jumlah mereka mencapai 1.604 orang (0,2%) (Aji, 2019).

Sesuai Pasal 39 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU Guru dan Dosen dinyatakan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas yang meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Memang belum ada data lengkap seluruh kasus yang menimpa guru setidaknya dalam setahun ini. Akan tetapi, berbagai kasus yang terjadi di beberapa daerah menyiratkan bahwa perlindungan terhadap guru dalam menjalankan tugasnya belum optimal.

Tahun 2018 terjadi kasus penganiayaan yang berujung kematian guru honorer mata pelajaran seni rupa di Sampang, Madura, Jawa Timur akibat pemukulan oleh seorang siswa (Taufiqurrahman, 2018). Pada 19 Februari 2019, terjadi perilaku kasar siswa terhadap seorang guru di SMA AlAzhar Kelapa Gading Jakarta. Pada 13 Maret 2019, seorang guru SMP di Mamuju, Sulawesi Barat dianiaya orang tua siswa di depan kelas saat mengajar hingga luka serius di bagian kepala (Junaedi, 2019). Lalu, di awal September 2019, terjadi kasus guru dianiaya wali murid di Gowa di depan siswanya (Prabawati & Maryadi, 2019).

Bentuk politisasi terhadap guru kerap terjadi jelang pemilu, utamanya pemilu kepala daerah. Politisasi terhadap guru dapat dipandang sebagai salah satu persoalan dalam pengelolaan guru sebagai tenaga profesional, yang semestinya menempatkan guru sebagai tenaga pendidik bebas dari kepentingan politik.

Akan tetapi, banyak fakta guru hanya dijadikan komoditas isu oleh para politisi. Bentuk politisasi itu sampai kepada mengikutsertakan komunitas guru sebagai bagian dari tim sukses. Pasca-pemilu, bentuk politisasi pun berlanjut. Bagi pihak yang kalah, guru yang menjadi bagian tim suksesnya pun terkena imbasnya, Biasanya, mereka akan menjadi korban diskriminasi dalam proses promosi jabatan. Sebaliknya jika menjadi bagian dari kepala daerah yang menang, mereka akan mendapat imbas positifnya.

Kekuasaan dan kewenangan pemerintah daerah tidak jarang bertentangan dengan semangat pengembangan pendidikan nasional itu sendiri. Untuk kasus pengelolaan guru, otonomi daerah yang melahirkan dominasi pemerintah daerah dalam pengelolaan tenaga guru, membuat mobilitas mereka, baik secara vertikal maupun horizontal, menjadi terhambat.

Pasal 35 ayat (1) mengatur beban kerja guru yang mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan. Frase “melaksanakan tugas tambahan” inilah yang membuka peluang untuk guru melaksanakan kewajibannya sebagai guru. Misalnya, guru tidak hanya mengajar di kelas dan memberikan nilai tetapi juga melakukan observasi terhadap peserta didik serta melakukan pengembangan media pembelajaran. Sebagian besar hal tersebut bersifat administratif sehingga menyulitkan guru. Diperlukan kompetensi guru yang tinggi untuk melaksanakan seluruh tuntutan tersebut.

UU Guru dan Dosen dan UU Pemerintahan Daerah, tidak mengatur substansi rekrutmen tenaga pendidik (guru). Kedua UU tersebut hanya mengatur kewenangan pemenuhan dan pemindahtugasan guru. Padahal, rekrutmen adalah salah satu tahapan untuk pemenuhan guru dan dosen dan mendapatkan kualifikasi guru yang sesuai dengan UU Guru dan Dosen. Sementara untuk promosi dan pemindahtugasan guru, masih banyak persoalan seperti prosesnya yang kurang objektif, transparan, dan akuntabel sehingga banyak dugaan adanya praktik penyalahgunaan wewenang.

Berdasarkan beberapa permasalahan yang ada, maka kebijakan pengelolaan guru harus diarahkan pada: (1) Terobosan Kebijakan Komprehensif dan Integratif; (2) Penyediaan Alokasi Anggaran untuk Peningkatan Kualifikasi Akademik; (3) Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah; (4) Seleksi dan rekrutmen guru harus berbasis pada pemenuhan kebutuhan guru dan pemenuhan syarat kompetensi guru. Proses pengangkatan, promosi, dan pemindahtugasan ini harus jauh dari intervensi politik pejabat daerah; (5) Perlindungan Guru dalam Menjalankan Tugas Profesionalnya; (6) Penuntasan Sertifikasi Guru Dalam Jabatan; (7) Dengan beban kerja guru, guru tak lagi mengerjakan pekerjaan teknis administratif yang semestinya bisa dikerjakan oleh tenaga kependidikan, agar guru fokus pada tugas-tugas profesionalnya; (8) Kebijakan Strategis Pembinaan dan Pengembangan Kompetensi Guru Secara Berkelanjutan.