Pustaka Lestari

Perkembangan Produk Kerajinan Batik

 

Batik telah ada dalam masyarakat Indonesia sejak pertengahan abad ke-18, khususnya di Jawa, bahkan telah menjadi warisan budaya yang turun temurun. Kerajinan batik terkait dengan identitas budaya rakyat Indonesia, melalui arti simbolik dari warna dan desain yang mengungkapkan kreativitas dan spiritualitas mereka.

Kata batik itu sendiri berasal dari bahasa Indonesia, dari suku kata “ba” dan “tik”, artinya ada titik-titik. Di negara lain namanya bukan batik dan cara pembuatannya pun berbeda. Namun sampai saat ini tidak pernah ditemukan catatan sejarah tentang asal muasal canting dan malam.

Budaya mengenakan kain batik di Jawa, lahir dari lingkungan keraton yang ‘melengkapinya’ dengan filosofi kehidupan: perpaduan antara matra, seni, adat, pandangan hidup, dan kepribadian. Singkatnya, batik lahir bukan sekadar benda niaga, tetapi merupakan bagian dari kehidupan.

Seiring dengan waktu, keindahan batik mulai dilirik potensinya sebagai sebuah benda niaga. Kata ‘batick ’ sendiri sudah disebutkan sebagai barang yang diekspor dalam sebuah manifes pelayaran dari Batavia pada tahun 1641. Keindahan kain batik terdengar sampai ke Eropa dan berbagai usaha untuk meniru proses pewarnaan ini tidak membuahkan hasil. Batik dari Indonesia tetap merupakan yang terbaik.

Batik mulai dikenal dunia sejak terbitnya The History of Java karya Thomas Stamford Raffles di tahun 1817. Namun risalah batik yang nisbi komplet baru bisa dibaca masyarakat dunia semenjak De Batik-kunst In Nederlandsch-indie En Haar Geschiedenis karya dua antropolog Belanda, GP Rouffaer dan HH Juynboll, terbit pada 1899.

Keragaman macam pola batik nusantara mencerminkan berbagai pengaruh, mulai dari kaligrafi Arab, karangan bunga Eropa, phoenix China, bunga sakura Jepang dan merak India atau Persia. Walaupun batik berasal dari istana Jawa, beberapa daerah lain di Indonesia juga memiliki batik dengan gaya mereka sendiri batik.

Batik secara resmi telah diakui sebagai salah satu warisan budaya Indonesia oleh UNESCO dan Indonesia kini memiliki hari batik yang selalu dirayakan setiap 2 Oktober sejak tahun 2009. Jenis batik yang tercatat sebagai Warisan Dunia adalah jenis “batik tulis” (baik tulis tangan) dan bukan “batik cap” (printed batik)

Selain dicatatkan dalam UNESCO, salah satu cara lain pemerintah Indonesia untuk melindungi budaya tradisional Indonesia yang berlangsung di bidang batik adalah melalui “Batik Mark”. Salah satu tujuan adalah untuk membangun persepsi dunia bahwa batik, yang meliputi praktek mewarnai kain menggunakan metode lilin, berasal dari Indonesia.

Perilaku batik Indonesia cukup unik, perjalanan sejarahnya konsisten berevolusi dari hanya terbatas pada lingkungan keraton hingga meluas ke kalangan masyarakat umum.Demikian juga dengan fungsinya berevolusi dari hanya sebagai penanda budaya di lingkungan kerajaan (keraton) kemudian berubah menjadi fungsi ekonomis di masyarakat, bahkan politis karena perkembangan batik di Indonesia juga sejalan dengan perkembangan demokrasi di tanah air.Karena siapapun kini bisa membuat batik, padahal pada awalnya pembuatan batik hanya tertutup/terbatas di lingkungan keraton saja.

Bahkan kini sudah sangat terbuka. Kerajinan batik yang semula hanya terbatas di beberapa daerah di pulau Jawa, kini tersebar ke 27 provinsi dan masyarakat di tiap daerah merasa memiliki batik mereka. Misalnya, di Tarakan, Kaltim, mereka membuat batik dengan motif yang diambil dari budaya dan lingkungan sekitar seperti flora (daun tanaman atau bunga) dan fauna (jenis-jenis binatang tertentu yang khas di sana).

Motif-motif batik yang ada di suatu daerah tidak akan diklaim oleh daerah lainnya karena mereka memang memiliki kekhasannya masing-masing. Seperti batik Papua, walaupun dibuatnya di Solo, tapi memiliki motif yang khas dan tidak akan diklaim oleh daerah lain. Bahkan, Kain Batik ini juga banyak dipakai di negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Thailand.

Batik memiliki latar belakang multidimensi, tidak hanya latar belakang ekonomi, tapi sosial, budaya, politik dan lain-lain.Jadi, dalam batik itu terkandung makna yang sangat luas bagi masyarakat Indonesia. Batik bisa berbicara tentang sesuatu. Karena setiap motif itu memiliki filosofi tersendiri, termasuk mengapa dibuat motif tertentu, apa tujuannya dan kenapa menggunakan warna tertentu. Ada yang fanatik menggunakan warna alam dll

Batik merupakan industri yang memiliki proses peningkatkan nilai tambah. Batik dapat dirunut sebagai rantai nilai, mulai dari bahan baku, produksi (ada SDM yang merancang dan mengoperasikan kegiatan produksi), ada teknologi (cap, canting atau sekarang ada printing), ada standard dan HakI. Disitu juga ada kegiatan/proses promosi dan penjualan, serta kelembagaan dan akses ke permodalan.

Kalau rantai produksi stabil, maka batik sebagai industri akan terus eksis. Tapi kalau tiba-tiba terjadi goncangan di salah satu mata rantainya, misalnya di sisi bahan bakunya, seperti pernah terjadi kelangkaan gondorukem (bahan untuk pembuatan malam), sehingga sebagian perajin batik terpaksa tidak bisa berproduksi. Itu baru dilihat dari simpul bahan baku yang terganggu, belum lagi kalau sisi SDM, seperti misalnya ketika kebanyakan perajin batik sudah berusia tua, maka produksi pun menurun. Produksi baru bisa kembali lagi setelah kalangan usia muda tertarik untuk terjun ke industri batik. Itulah dinamika industrinya.

Dari sisi ekonomi, batik mengalami peningkatan kontribusi terhadap perekonomian nasional secara cukup signifikan dalam satu dekade terakhir ini. Kontribusi industri batik terhadap perekonomian nasional dapat dilihat dari dua sisi.Pertama, dari sisi batik pakem yang cukup besar pengaruhnya dan kontribusinya kini meningkat.Kedua, dari sisi perkembangan batik menjadi tiga segmen, yaitu batik budaya, batik industri dan batik kreatif

Pemerintah mencatat nilai ekspor batik dan produk batik di sepanjang 2017 mencapai sebesar USD58,46 juta. Meski sedikit berkurang karena situasi ekonomi global cenderung melambat, di sepanjang 2018 nilai ekspor komoditas ini masih tercatat mencapai USD52,4 juta. Selanjutnya produk batik cukup berperan dalam perolehan devisa negara melalui capaian nilai ekspor pada tahun 2019 sebesar USD17,99 juta. Sementara itu, pada Januari-Juli 2020, nilai pengapalan batik mengalami peningkatan dengan mencapai USD21,54 juta. Negara tujuan pasar utama batik ialah Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa.

Sedangkan, untuk industri kerajinan, jumlahnya lebih dari 700 ribu unit usaha dengan menyerap tenaga sebanyak 1,32 juta orang. Pada tahun 2019, nilai ekspor produk kerajinan nasional menembus hingga USD892 juta atau meningkat 2,6% dibandingkan perolehan tahun 2018 sebesar USD 870 juta.

Nilai produksi batik di Indonesia mencapai 407,5 miliar rupiah per bulan atau setara 4,89 triliun rupiah per tahun. Pencapaian produksi tersebut ditopang oleh tenaga kerja sebanyak 37.093 orang (Siregar dkk, 2020).

Delapan puluh tujuh persen industri batik di Indonesia tersebar di Jawa Barat (38,42%), Jawa Tengah (26,22%), Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) (19,52%), Jawa Timur (2,66%), Banten (0,23%), dan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta (0,05%) sedangkan di luar Pulau Jawa industri batik terbanyak berada di Provinsi Jambi.

Kehadiran revolusi industri 4.0 membawa perubahan luar biasa bagi sektor dunia usaha dan pembuatan produk seperti pada kerajinan dan batik,” jelasnya. Setiap perkembangan teknologi selalu menjanjikan kemudahan, efisiensi, serta peningkatan produktivitas. Jenis-jenis pekerjaan yang sebelumnya menuntut kemampuan fisik yang cukup besar, kini relatif sudah bisa digantikan oleh perangkat mesin otomatis dan teknologi modern.

Meski begitu, kehadiran dan peran teknologi tidaklah mungkin menggantikan peranan manusia secara keseluruhan. Sentuhan teknologi tersebut hendaknya tidak akan membuat suatu nilai budaya yang ada dalam produk kerajinan dan batik tersebut menjadi luntur, hilang, atau tergantikan. Oleh karena itu, kearifan memadukan pada kemajuan teknologi di era industri 4.0 dengan keberlanjutan budaya bangsa diharapkan memberi nilai tambah produk kerajinan dan batik nasional yang basisnya adalah keterampilan keempuan (craftmanship). Semua ini mempunyai tujuan agar industri kerajinan dan batik yang berbasis budaya lokal  akan  tetap  berjaya di negeri sendiri, tak lekang oleh perubahan zaman.

Untuk menyikapi berbagai tantangan serta dinamika di era revolusi Industri 4.0, langkah-langkah kolaboratif perlu dilakukan dengan melibatkan beberapa pemangku kepentingan, mulai dari institusi pemerintahan, asosiasi dan pelaku industri, hingga unsur akademisi dan media

Permasalahan yang dihadapi industri batik terdiri dari printing, bahan baku, keterampilan tenaga kerja, pengembangan usaha kain lokal, pengelolaan limbah, pembinaan dan pendampingan oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD), persaingan dengan printing bermotif batik.

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan batik yaitu memperbaharui printing industri batik, koordinasi sistem database batik, pemanfaatan sumber daya alam lokal dengan meningkatkan penggunaan pewarna alam, optimalisasi pembinaan industri dan peran Balai Latihan Kerja (BLK) dalam peningkatan keterampilan tenaga kerja, sosialisasi potensi batik, pembangunan pengolahan limbah dan peningkatan kesadaran industri batik mengenai pengelolaan limbah, penguatan brand batik tulis dan batik cap, dan advokasi dan pemasaran sosial kepada konsumen mengenai batik tulis dan batik cap.  *)

*Diolah dari berbagai sumber oleh tim Wakil Ketua MPR RI