Sabtu, 27 Oktober 2018
berita
PEMBANGUNAN infrastruktur sebuah negara sangat berhubungan erat dengan pertumbuhan ekonomi negara itu. Bila infrastrukturnya baik, negara itu akan memiliki daya tarik yang baik untuk investasi.
Sebaliknya, bila kondisi infrastruktur suatu negara buruk, daya tarik negara tersebut bagi investasi pun menjadi tidak menarik. Bila kondisi negara itu tidak menarik bagi investasi, dapat dipastikan ekonomi di wilayah tersebut juga tidak dapat bertumbuh dengan baik.
Konsekuensi dari perekonomian yang tidak tumbuh dengan baik ialah sulitnya upaya peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakatnya.
Pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa pembangunan berbagai proyek infrastruktur bukanlah upaya untuk gagah-gagahan sejalan dengan semangat tersebut.
Saat meresmikan Bandara Maratua dan Bandara Aji Pangeran Tumenggung (APT) Pranoto yang dipusatkan di Bandara APT Pranoto, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Kamis (27/10), Jokowi menyatakan pembangunan yang dikerjakan pemerintah dalam empat tahun terakhir bukan untuk gagah-gagahan, juga bukan demi keren-kerenan.
Menurut Presiden, pembangunan infrastruktur tersebut meningkatkan mobilitas orang dan barang ke seluruh penjuru Tanah Air.
“Bayangkan 17 ribu pulau, 514 kabupaten/kota, 34 provinsi, bagaimana mempersatukannya kalau tidak ada konektivitas? Pelabuhan, bandara, dan jalan menyatukan Indonesia ini,” tegas Presiden. Pernyataan Presiden tersebut jelas benar adanya dan disampaikan pada saat yang tepat.
Kita mencatat bahwa belakangan ini banyak yang nyinyir kepada pemerintah dengan melontarkan berbagai kritik terkait dengan pembangunan infrastruktur di hampir seluruh wilayah Tanah Air. Pada umumnya, kritik tersebut disampaikan untuk men-downgrade upaya pemerintah sebagai sesuatu yang tidak urgen dan sekadar upaya untuk pencitraan.
Kita tentu menolak keras pendapat dan kritik semacam itu. Adalah fakta bahwa pembangunan infrastruktur di Tanah Air masih jauh dari merata. Di lain sisi, selama 70 tahun lebih negeri ini merdeka, ketersediaan infrastruktur pun relatif lebih terpusat di Pulau Jawa.
Orientasi pembangunan infrastruktur yang Jawa-sentris itu jelas menciptakan kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa. Kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa itu, jika dibiarkan, selain akan menghambat pertumbuhan ekonomi, dapat memicu perasaan ketidakadilan di antara sesama anak bangsa.
Visi Presiden Joko Widodo untuk membangun infrastruktur hingga ke seluruh wilayah Tanah Air, bukan hanya di Jawa, jelas akan mengurangi kesenjangan dan mencegah munculnya sentimen ketidakadilan tersebut.
Selain itu, dengan pembangunan infrastruktur yang merata di seluruh wilayah Nusantara, konektivitas dan/atau keterhubungan antarwilayah menjadi lebih meningkat. Keterhubungan dan konektivitas antarwilayah itu pada gilirannya akan menyatukan seluruh daerah di Tanah Air sehingga meningkatkan semangat persatuan dan kesatuan.
Karena itu, sekali lagi, membangun infrastruktur tidak lagi sekadar perlu, tetapi telah menjadi urgensi. Pemerintahan Joko Widodo tidak perlu ragu untuk meneruskan dan mewujudkan visi pembangunan infrastruktur yang belum pernah dicapai dalam sejarah.
Pada akhirnya rakyatlah yang akan menilai apakah pembangunan infrastruktur itu merupakan proyek gagah-gagahan atau kerja, kerja, dan kerja nyata bagi Indonesia.
Sumber: http://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/1517-infrastruktur-yang-menyatu