Selasa, 12 Febuari 2019
berita
Kita baru saja memperingati Hari Pers Nasional pada 9 Mei lalu. Tanggal ini ditetapkan pemerintah sebagai Hari Pers Nasional karena merupakan tanggal berdirinya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Setelah era reformasi, sejumlah pihak mengkritisi pemilihan tanggal ini yang dianggap sebagai warisan orde baru dan tidak lagi relevan dengan situasi kebebasan pers kita pascareformasi. Terlepas dari pro dan kontra tersebut, tetap penting bagi kita untuk memperingati hari Pers Nasional sebagai saat reflektif bagi semua pemangku kepentingan di dalam industri dan ekosistem penerbitan media kita.
Peran pers saat ini justru kian bertambah penting di era digital ini, dimana data informasi membanjiri kita setiap waktu dari berbagai sumber. Sayangnya, banyak sekali informasi ini yang keliru, tidak bisa diverifikasi, bahkan memang sengaja dipelintir untuk kepentingan politik tertentu. Dalam era digital ini,kerap terjadi informasi beredar dengan sangat cepat di media sosial tanpa ada upaya verifikasi sama sekali. Masyarakat kita pada umumnya masih belum bisa membedakan berbagai jenis konten yang beredar membanjiri keseharian yang jenis dan mutunya pun sangat beragam, mulai dari mitos, desas-desus, gosip, klaim, opini yang bermutu, karya jurnalistik hingga karya ilmiah. Rendahnya mutu kurikulum, akses terhadap buku yang masih sulit, ekosistem buku yang belum lengkap, membuat masyarakat kita secara umum masih jauh dari kemampuan berpikir kritis. Hal ini membuat hoax alias berita bohong dengan mudah beredar dan menyebar.
Pada era di mana setiap orang dan setiap lembaga bisa memproduksi konten, peran pers justru menjadi jauh lebih penting lagi daripada sebelumnya. Pers mesti bekerja beberapa kali lebih keras untuk membangun kredibilitas mereka sebagai sumber informasi yang bermutu dan bisa diandalkan. Ini bukan perkara mudah karena memproduksi informasi jurnalistik yang berkualitas membutuhkan biaya yang juga tidak murah. Sementara di sisi lain, perusahaan pers mesti bersaing secara bisnis dengan begitu banyak produksi konten lainnya yang membanjiri pasar.
Akhirnya alih-alih membangun informasi yang bertanggung jawab, banyak pula perusahaan media saat ini sibuk menjual sensasi kepada publik dengan harapan hal tersebut dapat menopang bisnis mereka. Framing atau pembingkaian peristiwa yang dilakukan kerap dilakukan atas pertimbangan bisnis jangka pendek ini dan bukan idealisme jurnalisme.
Dalam mengejar sensasi ini, kita kerap menemui media dengan brand-brand ternama justru kerap terjebak pemberitaan dengan judul dan framing ala ‘koran kuning’. Pemberitaan dengan angle seksual—dalam hal ini perempuan adalah salah satu yang paling sering dijual. Masih kerap kita temui misalnya embel-embel ‘cantik’ kepada pemberitaan terkait perempuan, tak peduli apakah itu perempuan berprestasi (contoh : diplomat, penulis, dll) atau perempuan korban (pemerkosaan, pembunuhan, dll). Atribusi ‘cantik’ sering sekali dilekatkan kepada perempuan dalam pemberitaan, yang menggiring publik untuk tetap saja sibuk mengobjektifikasi perempuan dan teralih dari inti persoalan. Ini barulah satu contoh kecil tentang bagaimana pers kita masih terjebak dalam pola-pola usang dalam menjual sensasi yang menjadikan mereka juga sulit bersaing dalam situasi marak konten seperti saat ini.
Selintas berjualan dengan gaya sensasional bisa menguntungkan. Namun dalam jangka panjang sebetulnya itu akan menghancurkan sendi-sendi jurnalisme nasional dan brand dari perusahaan itu sendiri. Masyarakat kita membutuhkan pers yang justru lebih bermutu lagi karya jurnalistiknya sebagai referensi kebenaran yang akan sangat berguna dalam mengambil keputusan-keputusan penting. Lebih dari pada sebelumnya, peran pers nasional menjadi amat penting dalam perjalanan menuju masyarakat Indonesia yang lebih dewasa dan mampu berdaya kritis. *
Artikel terkait :
https://www.cnbcindonesia.com/news/20190209135101-4-54641/sejarah-hari-pers-nasional-dari-padang-hingga-surabaya
https://www.idntimes.com/news/indonesia/rosa-folia/minat-baca-rendah-bikin-hoax-kian-menjamur/full
http://www.neraca.co.id/article/80808/pers-yang-bertanggung-jawab