Berita

Epidemiologi Pernikahan Dini

Selasa, 18 Febuari 2020 feed

Menurut United Nations Development Economic and Social Affairs (UNDESA 2010 dalam Kemkes 2015), Indonesia merupakan negara ke-37 dengan prosentase pernikahan usia muda yang tinggi dan merupakan tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja.

Data Riset Kesehan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa, proses pertumbuhan masih berlangsung sampai dengan usia 18 tahun, umur menarche termuda terutama umur 6-12 tahun perlu mendapatkan perhatian khusus untuk tidak menikah.

Umur pertama menikah pada usia 10-14 tahun di Indonesia sudah cukup tinggi yaitu 4,8% dan pada usia 15-19 tahun yaitu 41,9%. Bahkan kelahiran lima tahun terakhir sebelum pengamatan ini dilakukan, sudah terjadi pada 0,3 per 1000 perempuan yang berusia 10-14 tahun, dan 53,9 per 1000 perempuan yang berusia 15-19 tahun.

Umur pertama menikah pada usia sangat muda (10-14 tahun) cenderung lebih tinggi di pedesaan (6,2%), dan pada kelompok perempuan yang tidak bersekolah (9,5%), petani/ nelayan/buruh (6,3%), serta status ekonomi terendah (6,0%).

Di Indonesia, provinsi dengan prosentase perkawinan dini umur 10-14 tahun tertinggi adalah Jawa Tengah (52,1%), Kalimantan Selatan (9%), Jawa Barat (7,5%), Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah masing-masing (7%), dan Banten (6,5%) sedangkan provinsi dengan prosentase kasus perkawinan dini umur 15-19 tahun tertinggi adalah Kalimantan Tengah (52,1%), Jawa Barat (50,2%), Kalimantan Selatan (48,4%), Bangka Belitung (47,9%), dan Sulawesi Tengah (46,3%) (BKKBN 2012).

Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (2014) menyatakan bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan dini adalah faktor pendidikan rendah, faktor kebutuhan ekonomi, faktor kultur nikah muda, pernikahan yang diatur serta seks bebas pada remaja.

Adapun menurut Wiji (2011), pernikahan dini sering disebabkan oleh faktor individu itu sendiri, keluarga dan masyarakat serta lingkungan tempat individu tersebut tinggal. Secara umum, faktor yang mempengaruhi pernikahan dini antara lain faktor individu itu sendiri seperti seks bebas pada remaja, faktor keluarga seperti kebutuhan ekonomi dan pernikahan yang telah diatur, serta faktor lingkungan tempat individu tersebut tinggal misalnya kultur nikah muda (BKKBN 2012)

Salah satu faktor terjadinya pernikahan dini lainnya adalah pendidikan remaja dan pendidikan orang tua. Dalam kehidupan seseorang, dalam menyikapi masalah dan membuat keputusan termasuk hal yang lebih kompleks ataupun kematangan psikososialnya sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang (Sarwono 2007).

Tingkat pendidikan maupun pengetahuan anak yang rendah dapat menyebabkan adanya kecenderungan melakukan pernikahan di usia dini (Alfiyah 2010). Tingkat pendidikan merupakan faktor penting dalam logika berpikir untuk menentukan perilaku menikah di usia muda, perempuan yang berpendidikan rendah pada umumnya menikah dan memiliki anak di usia muda (Notoatmodjo 2007).

Pendidikan orang tua juga memiliki peranan dalam keputusan buat anaknya, karena di dalam lingkungan keluarga, pendidikan anak yang pertama dan utama (Nandang 2009). Juspin (2012) mengemukakan bahwa peran orang tua terhadap kelangsungan pernikahan dini pada dasarnya tidak terlepas dari tingkat pengetahuan orang tua yang dihubungkan pula dengan tingkat pendidikan orang tua. Orang tua juga memiliki peran yang besar untuk penundaan usia perkawinan anak (Alfiyah 2010).

Peran orang tua sangat penting dalam membuat keputusan menikah di usia muda dimana keputusan untuk menikah di usia muda merupakan keputusan yang terkait dengan latar belakang relasi yang terbangun antara orang tua dan anak dengan lingkungan pertemanannya (Desiyanti 2015).

Jannah (2012) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa para orang tua yang menikahkan anaknya pada usia muda mengganggap bahwa dengan menikahkan anaknya, maka beban ekonomi keluarga akan berkurang satu. Faktor ini berhubungan dengan rendahnya status ekonomi keluarga. Anggapan bahwa jika seorang remaja putri sudah menikah, maka akan tanggung jawabnya akan dialihkan kepada suaminya. Bahkan para orang tua yang menikahkan anaknya di usia dini juga berharap jika anaknya sudah menikah akan dapat membantu meningkatkan kehidupan orang tuanya

Faktor lain yang mempengaruhi pernikahan dini pada remaja putri ialah faktor biososial yang meliputi umur menstruasi pertama. Menstruasi pertama merupakan salah satu tanda bahwa seorang gadis berada pada masa pubertas. Penelitian Zai (2012) menemukan bahwa umur menstruasi pertama yang semakin cepat akan mempercepat seorang remaja memasuki pernikahan. Dengan demikian, pernikahan dini rawan terjadi pada remaja dengan umur menstruasi pertama yang cepat.

Faktor lain yang juga mempengaruhi kejadian pernikahan dini adalah faktor lingkungan. Hasyim dalam Jannah (2012) menyebutkan bahwa dalam konteks Indonesia pernikahan lebih condong diartikan sebagai kewajiban sosial dari pada manifestasi kehendak bebas setiap individu. Suhadi (2012) menjelaskan bahwa dalam masyarakat yang pola hubungannya bersifat tradisional, pernikahan dipersepsikan sebagai suatu “keharusan sosial” yang merupakan bagian dari warisan tradisi dan dianggap sakral. Cara pandang tradisional terhadap perkawinan sebagai kewajiban sosial, tampaknya memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap fenomena pernikahan dini yang terjadi di Indonesia

Pernikahan dini di lingkungan remaja cenderung berdampak negatif baik dari segi sosial ekonomi, mental/psikologis, fisik, terutama bagi kesehatan reproduksi sang remaja tersebut (Nad 2014). Dampak dari pernikahan usia dini kesehatan reproduksi salah satunya yaitu perempuan usia 15-19 tahun memiliki kemungkinan dua kali lebih besar meninggal saat melahirkan dibandingkan yang berusia 20-25 tahun, sedangkan usia di bawah 15 tahun kemungkinan meninggal bisa lima kali. Perempuan muda yang sedang hamil, berdasarkan penelitian akan mengalami beberapa hal, seperti akan mengalami pendarahan, keguguran, dan persalinan yang lama atau sulit (Nad 2014). Oleh karena itu, pernikahan dini memiliki banyak dampak negatif yang sangat penting untuk diketahui baik oleh remaja maupun orang tua (Desiyanti 2015)

Perkawinan usia anak mengakhiri masa remaja anak perempuan, yang seharusnya menjadi masa bagi perkembangan fisik, emosional dan sosial mereka. Masa remaja ini juga sangat penting bagi mereka karena ini adalah masa dimana mereka dapat mempersiapkan diri untuk memasuki masa dewasa. Praktik perkawinan usia anak seringkali menimbulkan dampak buruk terhadap status kesehatan, pendidikan, ekonomi, keamanan anak perempuan dan anak-anak mereka, serta menimbulkan dampak yang merugikan bagi masyarakat (Statistik 2016)

Kondisi yang fatal dan mengancam jiwa akan dialami oleh 14,2 juta anak perempuan di seluruh dunia yang menjadi pengantin anak setiap tahunnya selama periode 2011-2020. Perkawinan usia anak menyebabkan kehamilan dan persalinan dini, yang berhubungan dengan angka kematian yang tinggi dan keadaan tidak normal bagi ibu karena tubuh anak perempuan belum sepenuhnya matang untuk melahirkan.

Anak perempuan usia 10-14 tahun memiliki risiko lima kali lebih besar untuk meninggal dalam kasus kehamilan dan persalinan daripada perempuan usia 20-24 tahun, dan secara global kematian yang disebabkan oleh kehamilan merupakan penyebab utama kematian anak perempuan usia 15-19 tahun (Statistik 2016)

Anak perempuan menghadapi risiko tingkat komplikasi yang terkait dengan persalinan yang jauh lebih tinggi, seperti fistula obstetri, infeksi, perdarahan hebat, anemia dan eklampsia. Terdapat kajian yang menunjukkan bahwa perkawinan usia anak di Indonesia berhubungan dengan buruknya kesehatan reproduksi dan kurangnya kesadaran anak perempuan terhadap risiko persalinan dini (Statistik 2016).

Anak perempuan yang telah menikah cenderung memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah. Hal ini disebabkan perkawinan dan pendidikan dianggap bertentangan ketika anak perempuan yang menikah menghadapi keterbatasan mobilitas, kehamilan dan tanggung jawab terhadap perawatan anak.

Menurut salah satu laporan, anak perempuan di Indonesia mengakhiri pendidikan mereka setelah mereka menikah, namun keputusan untuk menikah dan mengakhiri pendidikan juga dapat diakibatkan kurangnya kesempatan kerja. Terdapat sekolah di Indonesia yang menolak anak perempuan yang telah menikah untuk bersekolah.

Anak perempuan dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah lebih tidak siap untuk memasuki masa dewasa dan memberikan kontribusi, baik terhadap keluarga mereka maupun masyarakat. Mereka memiliki lebih sedikit suara dalam pengambilan keputusan dalam rumah tangga dan kurang mampu mengadvokasi diri mereka sendiri atau anak-anak mereka. Mereka juga kurang mampu untuk memperoleh penghasilan dan memberikan kontribusi finansial bagi keluarga. Hal-hal tersebut dapat meningkatkan angka kemiskinan (Statistik 2016).

Perkawinan pada usia muda membebani anak perempuan dengan tanggung jawab menjadi seorang istri, pasangan seks, dan ibu, peran-peran yang seharusnya dilakukan orang dewasa, yang belum siap untuk dilakukan oleh anak perempuan. Perkawinan ini juga menimbulkan beban psikologis dan emosional yang hebat bagi mereka.

Selain itu juga terdapat kesenjangan usia, dimana anak perempuan jauh lebih muda dari pasangan mereka. Berbagai kajian menunjukkan bahwa anak perempuan yang menikah pada usia dini memiliki risiko tinggi untuk mengalami kecemasan, depresi, atau memiliki pikiran untuk bunuh diri, sebagian dapat disebabkan mereka tidak memiliki status, kekuasaan, dukungan, dan kontrol atas kehidupan mereka sendiri.

Selain itu mereka juga kurang mampu untuk menegosiasikan hubungan seks aman, sehingga meningkatkan kerentanan mereka terhadap infeksi menular seksual seperti HIV. Kajian lain juga menunjukkan bahwa pengantin anak memiliki peluang lebih besar untuk mengalami kekerasan fisik, seksual, psikologis, dan emosional, serta isolasi sosial, yang merupakan akibat dari kurangnya status dan kekuasaan mereka di dalam rumah tangga mereka. Pengantin muda lebih sering mengalami kekerasan.

Di Indonesia, kekerasan dalam rumah tangga dianggap wajar oleh sebagian besar orang muda 41 persen anak perempuan usia 15-19 tahun percaya bahwa suami dapat dibenarkan dalam memukul istrinya karena berbagai alasan termasuk ketika istri memberikan argumen yang bertentangan (Statistik 2016)

Perkawinan usia anak memiliki dampak antargenerasi. Bayi yang dilahirkan oleh anak perempuan yang menikah pada usia anak memiliki risiko kematian lebih tinggi, dan kemungkinannya dua kali lebih besar untuk meninggal sebelum usia 1 tahun dibandingkan dengan anak-anak yang dilahirkan oleh seorang ibu yang telah berusia dua puluh tahunan. Bayi yang dilahirkan oleh pengantin anak juga memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk lahir prematur, dengan berat badan lahir rendah, dan kekurangan gizi.

Hal ini berhubungan langsung perempuan menikah yang pada saat kehamilan dan persalinan masih berusia sangat muda, ketika mereka sendiri memiliki tingkat kekurangan gizi yang lebih tinggi dan tubuh mereka belum tumbuh sempurna. Ketika anak perempuan masih dalam proses pertumbuhan, kebutuhan gizi 10 pada tubuhnya akan bersaing dengan kebutuhan gizi pada janinnya (Statistik 2016)

Menurut kajian di antara 5 negara berpenghasilan rendah dan menengah, terdapat 20-30 persen peningkatan risiko kelahiran prematur dan berat bayi lahir rendah di antara anakanak ketika ibu mereka berusia kurang dari 20 tahun. Anak-anak yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang berusia kurang dari 19 tahun memiliki 30-40 persen peningkatan risiko hambatan pertumbuhan (stunting) selama 2 tahun dan kegagalan untuk menyelesaikan sekolah menengah.

Selanjutnya, ada kemungkinan bahwa dampak dari perkawinan usia anak yang dialami oleh anak perempuan juga akan dialami oleh anak-anak mereka, dengan kecilnya kesempatan untuk mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi, besarnya kemungkinan untuk tetap miskin, dan lebih rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (Statistik 2016).

Perkawinan usia anak tidak hanya mendasari, tetapi juga mendorong ketidaksetaraan gender dalam masyarakat. Perkawinan usia anak dapat menyebabkan siklus kemiskinan yang berkelanjutan, peningkatan buta huruf, kesehatan yang buruk kepada generasi yang akan datang, dan merampas produktivitas masyarakat yang lebih luas baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Meskipun kajian-kajian untuk mengetahui dampak perkawinan usia anak terhadap masyarakat sangat sedikit, tetapi perhatian terhadap topik tersebut terus berkembang. Kajian yang dilakukan oleh The World Bank memperkirakan bahwa perkawinan usia anak di beberapa negara di sub-Sahara Afrika memberikan kontribusi terhadap seperlima pelajar perempuan yang putus sekolah menengah. Kajian tersebut menghitung bahwa setiap penundaan satu perkawinan dapat berpotensi untuk meningkatkan kemungkinan melek huruf dan menyelesaikan sekolah menengah beberapa persen.

Kajian tersebut menyimpulkan bahwa investasi pada anak perempuan sampai mereka menyelesaikan tingkat pendidikan selanjutnya akan menghasilkan pendapatan seumur hidup dari kelompok anak perempuan saat ini yang setara dengan 68 persen produk domestik bruto tahunan.

Kajian lain yang dilakukan oleh UNICEF di Nepal menyatakan bahwa hilangnya kesempatan bersekolah sebagai akibat dari perkawinan usia anak adalah sebesar 3,87 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kajian-kajian dengan temuan yang sama telah dilakukan di Bangladesh dan di negara-negara lain, dan lebih banyak riset sedang dilakukan untuk lebih memahami kerugian ekonomi dari perkawinan usia anak (Statistik 2016).

Millenium Development Goals (MDGs), yang merupakan komitmen masyarakat internasional untuk memenuhi kebutuhan orang-orang termiskin di dunia melalui delapan tujuan umum, berakhir pada tahun 2015. Tujuan khusus bagi remaja perempuan tidak ada di dalam MDGs dan menurut beberapa kelompok advokasi, kelemahan ini secara langsung menghalangi pencapaian enam dari delapan tujuan tersebut.

Akan tetapi, selama dekade terakhir, telah ada pengakuan dan dukungan yang semakin kuat untuk menghapus perkawinan usia anak sebagai isu penting yang mendasari ketidaksetaraan gender dan kemiskinan global. Agenda pembangunan pasca 2015 secara khusus telah mulai menangani perkawinan usia anak, dini, dan paksa. Laporan yang dikeluarkan oleh Sekretaris Jenderal PBB pada bulan Desember 2014, menyatakan bahwa “praktik perkawinan usia anak, dini, dan paksa harus diakhiri di mana saja.”

Beberapa organisasi di seluruh dunia telah mendesak negara-negara anggota PBB untuk menangani perkawinan usia anak secara komprehensif dan strategis. Indikator sasaran untuk menangani perkawinan usia anak berada di bawah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan nomor 5 yang ditujukan untuk mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan (Statistik 2016).

Kajian tentang pembiayaan eksploratif yang dilakukan oleh UNICEF mengkaji dampak perkawinan usia anak dan remaja terhadap perekonomian Indonesia dengan memperkirakan dampak penundaan perkawinan anak perempuan terhadap pasar tenaga kerja. Kajian tersebut menjelaskan kelompok anak perempuan menikah usia 15-19 tahun selama 36 tahun ke depan.

Dengan menggunakan perkiraan konservatif, kajian tersebut menunjukkan bahwa penundaan usia perkawinan anak perempuan sampai 20 tahun dapat meningkatkan 1,70 persen PDB pada tahun 2014. Hasil ini menunjukkan bahwa investasi pada anak perempuan memiliki dampak besar terhadap perekonomian Indonesia selama masa produktif mereka dan penundaan perkawinan mendukung potensi ini.

Hasilnya menunjukkan bahwa kurangnya investasi dalam penundaan perkawinan bagi remaja perempuan dan hilangnya kesempatan pendidikan dan hilangnya penghasilan seumur hidup yang diakibatkannya akan terus menimbulkan dampak negatif yang kuat terhadap perekonomian Indonesia (Statistik 2016).