Senin, 27 Juli 2020
perspektif, apa dan bagaimana
Ahmad Baedowi Direktur Eksekutif Yayasan Sukma
ADA mainan baru bagi para praktisi dan pemerhati pendidikan Adi Indonesia. Namanya ialah Program Organisasi Penggerak (POP) yang diinisiasi Kemendikbud. Kontroversi soal POP mencuat ketika organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, diikuti organisasi guru yang juga terbesar, PGRI, mengundurkan diri dari rencana keterlibatan mereka dalam POP.
Beberapa alasan pengunduran diri tiga organisasi itu, di antaranya (1) proses seleksi yang kurang transparan; (2) kurang sensitif karena memberikan bantuan kepada dua organisasi kependidikan di bawah pengelolaan perusahaan besar; (3) asas kepatutan penerima yang bisa jadi tak semuanya memiliki pengalaman mengelola lembaga pendidikan murni di masyarakat; dan (4) tak menjadikan sekolah negeri yang baik sebagai organisasi penggerak. Artinya, ada niat tak terkatakan dari Kemendikbud untuk memosisikan semua sekolah negeri tak layak menjadi penggerak, tapi cukup sebagai objek uji coba dari para pelaksana POP.
Keempat masalah di atas bisa jadi bermula dari kurangnya kajian yang komprehensif pada dua hal, yakni analisis terhadap aspek legal sebuah kebijakan publik dan riset tentang substansi program yang seharusnya bersandar pada tugas pokok dan fungsi Kemendikbud.
POP Cacat Hukum?
Salah satu masalah besar di negeri ini, dalam hal pengambilan keputusan, jarang memperhatikan detail perundangundangan yang sudah ada. POP sebagai argumen untuk menumbuhkan lebih banyak keterlibatan masyarakat dalam meningkatkan kualitas pendidikan, menurut saya, juga mengalami masalah yang sama. Beberapa anggota Komisi X DPR RI bahkan menyinyalir bahwa program POP belum sepenuhnya memiliki payung hukum karena menurut mereka pembahasan rencana ini masih minim dan belum ada pendalaman yang berarti. Sebagai sebuah konsep yang cukup penting bagi upaya reformasi bidang pendidikan di Tanah Air, POP boleh dibilang gagal menerjemahkan makna peran serta masyarakat dalam lingkup pendidikan, terutama jika dikaitkan dengan miskinnya sosialisasi berbasis legal formal.
Padahal, kalau saja payung hukum POP bermula dari analisis UU Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989, dalam Pasal 47 ayat 1 dijelaskan bahwa masyarakat sebagai mitra pemerintah berkesempatan yang seluasluasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Klausul ini sebenarnya sudah bagus karena frasa ‘mitra pemerintah’ mengindikasikan aspek penting peran serta masyarakat sejajar dengan peran negara dalam melaksanakan operasional pendidikan nasional. Namun, ketika UU ini kemudian direvisi dengan UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, posisi peran serta masyarakat mengalami perubahan yang cukup fundamental.
Hilangnya frasa ‘mitra pemerintah’ dan digantikan dengan kalimat yang lebih spesifik seperti tertera dalam Pasal 54 ayat 1 UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 dijelaskan bahwa peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. Dalam konteks kebijakan POP, dasar ini sebenarnya bisa digunakan sebagai payung hukum dalam rangka menentukan kelompok dan organisasi yang bisa menjadi pelaksana POP.
Selain kelemahan dalam membentuk rasio-legis bagi POP, Kemendikbud juga gamang dalam menentukan kriteria peserta yang layak disebut sebagai Organisasi Penggerak. Proses pendaftaran daring yang sangat berorientasi formal membuat setiap Organisasi Penggerak yang mendaftar tak mengetahui mereka sedang bersaing dengan siapa dan bagaimana desain program harus diimplementasikan secara baik. Kemendikbud sama sekali tak membuat benchmark yang bisa dipegang untuk menetapkan kriteria secara substantif.
Pentingnya Partisipasi
Alih-alih melakukan kajian substantif, Kemendikbud malah menggunakan jasa pihak kedua berupa lembaga riset yang tak memiliki pengalaman menyelenggarakan program belajar mengajar dan kependidikan.
Secara konseptual, tujuan POP sebagai sarana meningkatkan peran serta dan partisipasi masyarakat memang cukup ideal. Bahkan, dari aspek pemberdayaan masyarakat, POP bisa jadi merupakan semacam revolusi diam-diam dari pemerintah untuk memberikan kembali beban tanggung jawab pendidikan kepada masyarakat.
Namun, setelah Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung Sekolah Dasar, pemerintah secara terstruktur dan perlahan, tapi pasti mulai mengambil alih kepemilikan sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi milik pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratis, serta sentralistis. Inilah titik awal dari keterpurukan sistem pendidikan, karena pemerintah secara jemawa memaksakan kehendaknya membangun sistem ketergantungan yang mengubah secara total mentalitas masyarakat untuk selalu meminta kepada pemerintah.
Bahkan, jika dilihat dari aspek tujuan, POP berpotensi membuat sebuah kesadaran baru bagi masyarakat agar manajemen pendidikan harus dikelola berdasarkan kebutuhan sekolah sebagai bentuk otonomi manajemen pendidikan pada tingkat kepala sekolah dan guru yang dibantu masyarakat. Selain itu, Undang-Undang Sisdiknas memiliki maksud menghapuskan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola pemerintah dan yang dikelola masyarakat.
Masyarakat sebagai klien sekaligus konsumen bidang pendidikan dalam kedua undang-undang belum sepenuhnya dijamin dan diberdayakan pemerintah. Konsep komite sekolah yang sejauh ini ada, sayangnya tidak diteruskan sebuah program yang berkesinambungan. Misalnya, pelatihan yang memungkinkan komunitas sekolah berkontribusi secara ajek dan jelas dalam ikut mengawal proses pembelajaran di sekolah. Padahal, seyogiyanya masyarakat memiliki legitimasi dan hak untuk ikut terlibat dalam proses manajemen sekolah (Dunn: 1998).
Pentingnya mengembalikan peran masyarakat agar bertanggung jawab terhadap persoalan pendidikan di tingkat lokal melalui sebuah program pemberdayaan yang terstruktur dan sistematis, merupakan tuntutan yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh pemerintah sebelum POP dilaksanakan. Jika masyarakat paham tentang penahapan perencanaan pendidikan, mengetahui arah dan tujuan sekolah, mengerti meski sedikit tentang indikator kinerja, baik yang berkaitan dengan siswa maupun guru, dan paham tentang arah pengembangan kurikulum, sekolah pasti akan baik.
Pengetahuan dasar dan keterampilan tersebut ialah hanya beberapa saja di antara program yang harus dilatihkan kepada masyarakat kita (Boyd and Claycomb: 1994). Bahkan, ujung dari keterampilan tersebut akan membawa masyarakat kita cerdas dalam merencanakan pembiayaan pendidikan sehingga masyarakat tak melulu curiga karena mereka selain dilibatkan, juga paham dan mengerti hal-hal teknis di atas.
Bentuk pemberdayaan terhadap masyarakat paling tidak mencakup program pemberdayaan orangtua (parent empowerment) dan kemitraan masyarakat, serta sekolah (partnership/communal parents and teachers collaborate equitably). Dalam banyak penelitian tentang peran serta masyarakat dalam pendidikan, bentuk kedua berupa kemitraan sekolah dan masyarakat yang sederajat (equal partnership) merupakan strategi yang paling efektif dan memberi pengaruh besar kepada hasil belajar siswa (Bauch and Goldring: 1998).
Dari program pemberdayaan ini, akan muncul kesimpulan apakah, misalnya, POP bisa melibatkan secara sekaligus sekolah negeri yang baik dengan organisasi terpilih dalam sebuah kerangka kemitraan yang sejajar. Ini akan menjadi semacam riset awal memetakan kebutuhan sekolah-sekolah yang akan menerima manfaat dari POP secara terbuka dan transparan karena ada pelibatan sekolah negeri.
Konsensus dalam bidang pendidikan sangat diperlukan dalam rangka mengetahui harapan (expectations) masyarakat terhadap suatu isu dan menyepakati (consensus) bagaimana melakukannya dengan tidak lupa memberi peran (tasks) mereka untuk terlibat secara langsung dalam memecahkan masalah tersebut. Apa yang menjadi janji-janji birokrat dalam menangani isu tersebut dapat dievaluasi dan dimonitor secara bersama. Tinggal lagi tugas dan peran para politikus dan birokrat untuk menunjukkan sumber daya (resources) yang memungkinkan sebuah isu dapat diselesaikan secara bersama-sama (Charles Perrow: 1979).
Diperlukan politik pendidikan yang elegan dari Kemendikbud dalam menangani dan mendiskusikan sekaligus menganalisis proses penetapan kebijakan POP, dan menempatkannya di dalam wilayah publik (public space) yang sangat terbuka untuk didebat dan dipersoalkan. Isu-isu yang bersifat normatif dan teknis pendidikan, serta kemampuan menangani persoalan tersebut pada semua level, yakni sekolah, masyarakat, eksekutif dan legislatif, akan membuat program POP bisa diterima asalkan memiliki dasar hukum yang kukuh dan kajian yang komprehensif.
Mengacu kesimpulan Norton (1996) dan Sergiovanni (1992), dalam politik pendidikan terdapat paling tidak empat sumber nilai yang dianggap sangat fundamental dan berhubungan dalam pengambilan kebijakan di bidang pendidikan, yakni soal pilihan (choice), kualitas (quality), efisiensi (efficiency), dan kesetaraan (equity). Semoga kebijakan POP bisa menempatkan keempat nilai tersebut dalam bingkai dialog dan evaluasi yang akan dilakukan tiga minggu ke depan.
*) Opini ini dipubliskasikan di Media Indonesia 27 Juli 2020