Berita

Transformasi Pengelolaan Museum Butuh Perubahan Mindset Pemangku Kepentingan

 

Transformasi digital dalam pengelolaan museum harus diawali dengan mengubah mindset para pemangku kebijakan dan masyarakat, dengan didukung komitmen pendanaan, kemampuan berinovasi dan keyakinan spritual yang kuat. 

"Upaya transformasi di bidang budaya khususnya pengelolaan museum ini harus menjadi gerakan bersama. Pembangunan kebudayaan bukan hanya secara fisik semata, tetapi juga harus lewat dukungan berbagai riset kebudayaan dan pendanaan yang berkelanjutan," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat dalam Diskusi Kerja Budaya Transformasi Digital, Reka Budaya, dan Museum Kita di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (9/9). 

Hadir dalam diskusi itu, P Kumoro Kartopati (Senior Advisor IoT Lab PT Jasa Marga (Persero) Tbk), Hilmar Faridz, Phd (Direktur Jenderal Kebudayan, Kemendikbudristek), Idham B Setiadi, Phd (KPB CakraDaya), S Dian Andriyanto (Redaktur Utama Tempo. Co) sebagai narasumber. 

Menurut Lestari, transformasi pengelolaan museum dengan memanfaatkan teknologi digital bisa menjadi kunci transformasi fungsi museum yang semula hanya menjadi tempat menyimpan benda budaya menjadi ruang-ruang yang mampu memberi pengalaman budaya kepada para pengunjungnya. 

Rerie, sapaan akrab Lestari menilai transformasi digital mampu mempersatukan kelompok yang mengedepankan aspek konservasi dan kelompok yang mengedepankan pemanfaatan secara ekonomi dalam pengelolaan museum. 

Saat ini, ujar Rerie, transformasi digital di bidang kebudayaan sudah banyak mendapat perhatian dari masyarakat dan dikaji para akademisi lewat berbagai tulisan ilmiah. "Sebuah situasi yang mendukung transformasi digital di bidang kebudayaan seperti pengelolaan museum," ujarnya. 

Menurut Rerie, yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu kunci untuk mengawali proses transformasi adalah mengubah mindset atau cara berpikir para pemangku kepentingan dan masyarakat. 

Sehingga, tambah dia, para pengelola museum dan objek-objek cagar budaya mampu memahami langkah-langkah pengembangan kebudayaan. 

Rerie berpendapat di masa kini museum yang berhasil bukan hanya sebagai tempat memajang atau memamerkan benda-benda budaya, tetapi juga harus memberikan pengalaman bagi pengunjung sehingga menciptakan pendapatan bagi pengelolanya. 

Apalagi, ujar Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, saat ini populasi Indonesia 60%-nya  adalah generasi Z, yang sejak lahir sudah mengenal budaya digital dan mengeksplor setiap pengalaman. 

Kondisi tersebut, jelas Rerie, menjadi tantangan sekaligus peluang bagi para pemangku kepentingan dalam pengelolaan museum dan pengembangan sektor kebudayaan secara umum. 

"Harus segera dibuka ruang untuk proses belajar dalam menghadapi transformasi digital dalam pengelolaan museum, agar masyarakat dan para pemangku kepentingan mampu beradaptasi dan bertahan dalam menghadapi berbagai perubahan yang terjadi," pungkasnya.*