Rabu, 15 Maret 2023
lestari moerdijat, kekerasan seksual, UU TPKS
Lahirnya Undang-Undang No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) harus dibarengi dengan komitmen yang kuat dari Pemerintah untuk melahirkan sejumlah aturan pelaksanannya, agar upaya negara melindungi setiap warga negara dari ancaman tindak kekerasan seksual segera terwujud.
Sudah hampir setahun sejak UU TPKS disahkan, efektivitas UU itu untuk menjadi payung perlindungan korban kekerasan seksual belum memadai dalam mencegah sekaligus memutus rantai kekerasan seksual," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Efektivitas UU TPKS Meredam Kekerasan Seksual yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (15/3).
Diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri, S.H, LL.M (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu dihadiri Ir. Agus Wiryanto, M.Si (Analis Kebijakan Ahli Madya Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak /PHP KemenPPPA), Dr. Ihat Subihat, S.H., M.H (Akademisi - Hakim Pengadilan Tinggi Bandung), dan Dian Sasmita, M.H (Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia / KPAI) sebagai narasumber.
Selain itu hadir Bahrul Fuad (Komisioner Komnas Perempuan) dan Rina Prasarani (Ketua II, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia / HWDI) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, efektivitas UU TPKS mesti diletakkan dalam koridor kemampuan hukum untuk menyelesaikan berbagai persoalan terkait kekerasan seksual yang terjadi di negeri ini.
Saat ini, menurut Rerie sapaan akrab Lestari, meski sudah ada UU TPKS belum efektif meredam tindak kekerasan seksual di masyarakat. Bahkan, belakangan ini terjadi tindak kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.
Setidaknya, tambah Rerie, belum efektifnya UU TPKS saat ini disebabkan belum adanya aturan pelaksanaan, pemahaman aparat hukum terkait UU TPKS masih kurang dan sejumlah fasilitas penanganan korban juga belum efektif.
Pada kesempatan itu, Rerie yang merupakan legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, mengajak para pakar dan masyarakat yang telah memperjuangkan lahirnya UU TPKS ikut mendorong lahirnya sejumlah aturan turunannya agar UU TPKS bisa segera diaplikasikan.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu prihatin pascalahirnya UU TPKS, sejumlah kasus tindak kekerasan seksual malah diselesaikan di luar pengadilan yang berujung damai dan merugikan korban.
Karena itu, tegas Rerie, yang harus dipastikan saat ini adalah optimalisasi perlindungan yang menjangkau komunitas rentan kekerasan seksual dan memberi kepastian hukum bagi seluruh warga negara.
Analis Kebijakan Ahli Madya Deputi PHP Kementerian PPPA, Agus Wiryanto mengungkapkan amanah UU No12/2022 tentang TPKS adalah agar ada aturan turunan dalam bentuk tiga Peraturan Pemerintah (PP) dan empat Peraturan Presiden (Perpres).
Hingga saat ini, jelas Agus, Pemerintah tengah memproses sejumlah aturan pelaksanaan tersebut dan diperkirakan akan tuntas pada Juni 2023.
Pemerintah, jelas Agus, juga memahami mendesaknya aturan pelaksanaan UU No.12/2022 tentang TPKS hadir, melihat semakin maraknya kasus kekerasan seksual saat ini.
Komisioner KPAI Dian Sasmita mengungkapkan di saat status darurat kekerasan seksual sudah dicanangkan, kasus TPKS terhadap anak malah naik di Indonesia.
Dian juga berpendapat agar hak pemulihan terhadap anak korban tindak kekerasan seksual tidak hanya diberikan pada saat kasus berlangsung, tetapi yang terpenting hak pemulihan anak juga diberikan pascakasus kekerasan seksual terjadi.
Dian berharap dalam sejumlah pasal UU TPKS dan aturan turunan tersebut harus mampu memastikan hak penanganan, pemulihan dan hak atas perlindungan bagi anak korban tindak kekerasan seksual.
Karena, tambah Dian, pada kasus kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan pendidikan misalnya, pelaku kekerasan yang merupakan tenaga pengajar tidak mendapat sanksi dan anak yang menjadi korban belum mendapat hak pemulihannya.
Selain itu, ungkapnya, proses hukum terkait kasus kekerasan terhadap anak seringkali terhenti, karena penyidik malah membebani keluarga korban untuk mencari bukti.
Dian mendorong agar aturan turunan UU TPKS juga memberi jaminan yang tegas terkait kasus anak sebagai pelaku kekerasan.
Hakim Pengadilan Tinggi Bandung Ihat Subihat mengungkapkan di Pengadilan Tinggi Bandung, Jawa Barat sudah menggunakan UU No.12/2022 dalam kasus pemerkosaan 13 santri dan pelakunya dijatuhi vonis pidana mati.
Menurut Ihat, efektivitas UU TPKS sangat tergantung pada sejumlah faktor seperti antara lain keberanian korban melapor. Seringkali terjadi korban takut melapor karena takut dituntut balik, takut nama baik tercemar. Sehingga, jelas Ihat, untuk meningkatkan efektivitas UU TPKS harus dicarikan sejumlah cara yang mampu menekan sejumlah ketakutan tersebut.
Menanggapi hal itu, Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad berpendapat meski di Pengadilan Tinggi Bandung sudah menggunakan UU No.12/2022 tentang TPKS dalam menangani kasus TPKS di wilayahnya, tetapi secara umum aparat penegak hukum belum berani menggunakan UU TPKS dalam kasus kekerasan seksual yang dihadapi.
Karena, tambah Bahrul, sosialisasi UU TPKS masih sangat kurang sehingga masyarakat dan korban kekerasan seksual tidak memahami apakah yang dialaminya merupakan tindak kekerasan seksual atau bukan. "Sosialisasi itu sangat penting," ujar Bahrul.
Pada Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2023 terungkap 3.442 kasus kekerasan yang dilaporkan ke Komnas Perempuan. Dari laporan itu sebesar 60% kasus merupakan kekerasan domestik, 37% kasus kekerasan publik dan sisanya kekerasan di ranah negara.
Pada kasus kekerasan di ranah domestik, menurut Bahrul, yang terbesar adalah kekerasan seksual dalam pacaran. Kondisi itu, ujar dia, menyiratkan literasi anak perempuan terkait kekerasan seksual sangat rendah.
Ketua II HWDI Rina Prasarani menilai penyandang disabilitas memiliki kerentanan berganda dalam ancaman tindak kekerasan seksual.
Upaya perlindungan dari tindak kekerasan seksual, menurut Rina, dimulai dari tahapan pencegahan dan proses tersebut harus diawali dengan edukasi masyarakat, serta penyandang disabilitas.
Rina menilai, sosialisasi UU TPKS sangat penting karena sosialisasi itu merupakan bagian dari edukasi kepada masyarakat. Bila terjadi tindak kekerasan, masyarakat yang sudah memahami bisa melaporkan kepada penegak hukum.
Meski begitu, tegasnya, dalam proses sosialisasi kepada penyandang disabilitas harus dilakukan sesuai aksebilitas dan kebutuhan dari setiap penyandang disabiltas.
Di akhir diskusi, wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat dalam konteks penerapan UU TPKS sasaran sosialisasi bukan pada tingkat warga, tetapi pada para penegak hukum terutama jajaran kepolisian di tingkat polsek.
Selain itu, ujar Saur, perlu dipertimbangkan dengan serius agar polisi perempuan yang menangani laporan kasus kekerasan seksual. Saur berharap target Pemerintah menyelesaikan aturan turunan UU TPKS pada Juni 2023 bisa tercapai.
Menurut dia, pencegahan yang terbaik adalah memproduksi efek jera dari sanksi atas kasus tindak kekerasan seksual. Sebaliknya, upaya damai dalam kasus kekerasan seksual akan berdampak buruk terhadap upaya pencegahan.