Berita

Perlu Kebijakan Antisipatif Sikapi Perkembangan Kecerdasan Buatan

 

Perlu kebijakan antisipatif dan adaptif sebagai panduan etis dan legal dalam menyikapi perkembangan teknologi di era pemanfaatan kecerdasan buatan saat ini. 

"Dunia semakin cerdas dengan teknologi berkembang cepat, bila tidak disikapi secara bijaksana akan jadi ancaman," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Sikap dan Kebijakan Indonesia tentang Kecerdasan Buatan, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (21/6). 

Diskusi yang dimoderatori Luthfi Assyaukanie, Ph.D (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu, menghadirkan Teguh Arifiadi, S.H., M.H (Plt. Direktur Tata Kelola Aplikasi Informatika, Kemenkominfo RI), Prof. Dr. Ir. Bambang Riyanto Trilaksono, M.Sc, (Founder Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial/KORIKA - Guru Besar Institut Teknologi Bandung), Dr. Sri Safitri (Head of Education Ecosystem PT.Telkom) dan Dr. dr. Bayu Prawira Hie, MBA (Executive Director Intellectual Business Community) sebagai narasumber. Selain itu, hadir pula Muhammad Farhan (Anggota Komisi I DPR RI) sebagai penanggap. 

Menurut Lestari, penyikapan terhadap kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) sangat dipengaruhi bagaimana kita menempatkan perkembangan teknologi dalam aspek kemanusiaan itu sendiri. 

Karena, Rerie sapaan akrab Lestari berpendapat, salah satu kekhawatiran adalah semakin manusia bergantung pada teknologi, manusia akan semakin kehilangan nilai. Selain itu, manusia berpotensi tidak dapat mengontrol dirinya, tunduk pada alat yang diciptakan.

Kekhawatiran lain, tambah Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, kecerdasan buatan dengan ragam aplikasi cerdas dapat mengganti peran pekerja di berbagai sektor, termasuk pendidikan.

Sehingga, tegas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, keberadaan teknologi modern dengan ragam tawarannya, menuntut kita untuk berpikir tentang masa depan manusia, khususnya masa depan generasi penerus bangsa. Sehingga, tambah Rerie, jika kita tidak melakukan persiapan dan antisipasi perkembangan AI dengan sejumlah kebijakan yang tepat, kemudahan yang kita dapatkan berpotensi akan berubah menjadi bencana. 

Founder Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA), Bambang Riyanto Trilaksono mengungkapkan pada awalnya AI adalah cara manusia membuat komputer lebih cerdas, sehingga dapat mengatasi masalah sesuai dengan yang dipikirkan manusia. Penerapan AI, diakui Bambang, bisa memberi dampak yang luas. Di Amerika Serikat dan Tiongkok pemanfaatan AI mampu berdampak pada peningkatan GDP signifikan pada kedua negara itu. Karena, ujar Bambang, pemanfaatan AI di sejumlah negara sudah diterapkan di banyak sektor seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, perbankan, ritel, media, ekonomi hingga politik. Di sisi lain, tambah dia, bias dari AI merupakan tantangan tersendiri. Bila AI berada di tangan orang yang tidak bertanggung jawab, ujar Bambang, potensi bias AI akan semakin besar. Diakui Bambang berdasarkan sejumlah survei yang dilakukan dampak positif penerapan AI sekitar 79%, ternyata masih lebih besar jika dibandingkan dengan dampak negatifnya. Diakui Bambang, AI merupakan teknologi yang paling berdampak sehingga harus diwaspadai dampak negatif yang ditimbulkan AI. 

Badan dunia UNESCO bahkan sejak dini sudah mengingatkan agar AI dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemajuan peradaban manusia. Bambang mengungkapkan, pihaknya bersama sejumlah lembaga sedang berupaya menyusun strategi nasional dalam pengembangan AI, melalui pendekatan etika, infrastruktur, edukasi dan riset serta teknologi. 

Executive Director Intellectual Business Community, Bayu Prawira Hie berpendapat AI adalah masa depan yang sangat menjanjikan. Menurut Bayu, deep learning merupakan dasar generatif dari AI. Perkembangan yang cepat dan sistemik itu, tambahnya, didorong oleh ketersediaan sejumlah aplikasi AI yang bisa dimanfaatkan secara gratis oleh masyarakat luas. 

Catatan World Economic Forum, dampak pemanfaatan AI di sejumlah sektor hingga lima tahun mendatang berpotensi menghilangkan 14 juta jenis pekerjaan di dunia. Bayu mengungkapkan, untuk menyikapi kondisi tersebut kita harus mampu mendapatkan manfaat dari AI dan menghindari risikonya. Caranya, tambah dia, mendidik semakin banyak orang secara khusus dalam pemanfaatan AI dan membuat regulasi yang bisa dieksekusi dengan baik. 

Pelaksana Tugas Direktur Tata Kelola Aplikasi Informatika, Kemenkominfo RI, Teguh Arifiadi mengungkapkan kondisi yang dihadapi pemerintah saat ini konsep teknologi AI sudah konvergen, namun regulasi yang ada belum konvergen dalam mengantisipasi dampak penerapan AI. Pemerintah, ujar Teguh, mendekati kebijakan terkait AI dengan sejumlah penerapan regulasi terkait infrastruktur, digital platform dan konten. Teguh berpendapat dalam penerapan regulasi pada pemanfaatan AI pihaknya juga mendorong agar kedaulatan data harus dijaga. Diakuinya, regulasi yang ada saat ini cukup mampu mencegah dan menindak pelanggaran dalam penyalahgunaan AI. 

Anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Farhan berpendapat AI mengalami perkembangan yang luar biasa dari dunia digital. Sehingga, ujar Farhan, harus segera diantisipasi dampak hukum yang ditimbulkan dari perkembangan tersebut. Farhan menilai kecepatan ketersediaan kebijakan terkait AI tidak mampu mengejar kecepatan perkembangan teknologi yang terjadi. Apalagi, tambah dia, dalam memproduksi regulasi seringkali pihak legislator menghadapi dilema, seperti yang terjadi pada proses pembuatan UU ITE. "Apakah akan mengedepankan keterbukaan atau aspek perlindungan?" ujarnya. 

Pada kesempatan itu, wartawan senior, Saur Hutabarat berpendapat perkembangan AI atau kecerdasan buatan tidak dapat dibendung. Generasi AI pun, tambahnya, akan terus tumbuh. Karena itu, ujar Saur, dibutuhkan hukum yang lebih terbuka menyikapi perkembangan yang terjadi. Sehingga kecerdasan anak bangsa pun harus tumbuh, termasuk kecerdasan pemerintah dan hakim, dalam memproduksi hukum dan sejumlah kebijakan.*