Rabu, 09 Agustus 2023
perlindungan negara, perlindungan masyarakat, RUU Masyarakat Hukum Adat, RUU Masyarakat Adat, Masyarakat Adat, hak masyarakat adat
Negara harus bertanggung jawab dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat adat dengan menjamin eksistensi dan melindungi mereka, sebagai bagian dari warga negara Indonesia.
"Masyarakat adat kerap dipandang sebagai obyek karena kepemilikan atas lahan yang dapat dihargai dengan uang. Perlindungan pada hak hidup mereka kerap diabaikan," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema Keberadaan Masyarakat Adat dalam Negara Indonesia, Sampai Dimana? yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (9/8).
Berita Terkait - Lestari Moerdijat: Segera Sahkan RUU Masyarakat Hukum Adat demi Pelestarian Budaya Bangsa
Diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri, S.H, LL.M (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Dr. (H.C.) H. Sulaeman L. Hamzah (Anggota Badan Legislasi DPR RI), Hilmar Farid, Ph.D (Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI) dan Dr. Atang Irawan, S.H., M.Hum (Pakar Hukum Tata Negara) sebagai narasumber. Selain itu hadir Abdon Nababan (Pegiat Masyarakat Adat) dan Siswantini Suryandari (Wartawan Media Indonesia) sebagai penanggap.
Akibatnya, ujar Lestari, masyarakat adat selalu menghadapi konflik agraria, masalah pengakuan oleh negara dan perlindungan atas ragam pelanggaran atas hak-hak dasar mereka. Hingga saat ini, tambah Rerie, sapaan akrab Lestari, pengakuan pada masyarakat adat masih berbasis individual.
Padahal, tegasnya, yang perlu menjadi catatan adalah pengakuan terhadap masyarakat adat mesti dilakukan secara menyeluruh baik komunal maupun individual. Karena, ujar Rerie, yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, masyarakat adat merupakan satu kesatuan entitas dengan kearifan lokal yang melekat.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berpendapat, minimnya pemahaman aparatur dan pengabaian berkelanjutan atas kultur masyarakat adat sama saja dengan membangun pola pembiaran pada keberlangsungan hidup komunitas adat.
Rerie berharap peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional setiap 9 Agustus menjadi refleksi sekaligus 'peringatan' bagi negara untuk segera menghadirkan sebuah produk undang-undang perlindungan yang saat ini masih dalam tahapan legislasi dan merupakan amanah konstitusi.
Baca Juga - RUU Masyarakat Adat Harus Segera Disahkan untuk Lindungi Perempuan Adat
Anggota Badan Legislasi DPR RI, Sulaeman L. Hamzah mengungkapkan sejatinya ada dua hal besar terkait masyarakat adat yaitu telah adanya sejumlah peraturan perundang-undangan terkait masyarakat hukum adat, namun belum menjamin terlaksananya mekanisme perlindungan terhadap masyarakat adat. Menurut Sulaeman, di pelosok selalu saja terjadi peristiwa yang menimpa masyarakat hukum adat. Diakui Sulaeman, upaya untuk mewujudkan hadirnya Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat sudah dilakukan DPR pada periode 2014-2019.
Hingga pada 15 September 2020, tambah Sulaeman, pihaknya juga sudah berupaya mendorong untuk diajukan ke Rapat Paripurna agar segera dibahas pada Badan Musyawarah. Sulaeman berjanji, Fraksi NasDem di DPR akan terus mendorong RUU Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) untuk segera diparipurnakan.
Menurut Sulaeman, banyak tantangan untuk mewujudkan UU MHA salah satunya karena dalam aturan proses pembuatan UU tidak disebutkan batasan waktu pembahasan hingga selesai. Selain itu, tambahnya, upaya pemerintah yang agresif menarik investor untuk berinvestasi di dalam negeri cenderung melahirkan kebijakan yang pro investasi dan kerap bertabrakan dengan kepentingan masyarakat adat. Karena itu, Sulaeman mengajak, semua pihak bergandengan tangan bersama untuk mengambil langkah strategis agar RUU MHA segera disahkan sebagai undang-undang.
Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI, Hilmar Farid mengungkapkan terminologi masyarakat adat dalam konvensi ILO 169 ada dua yaitu indegenous people (penduduk asli) dan tribal people (orang suku). Hilmar memperkirakan, bila RUU MHA kembali dibahas sejumlah pihak akan mempermasalahkan terminologi indegenous yang merupakan orang asli, sebelum datang yang lain. Namun, jelas dia, masyarakat adat di Indonesia merupakan orang asli di wilayah terkait.
Selain itu, ujar Hilmar, ada banyak pengertian yang berbeda dalam sistem hukum dan birokrasi di Indonesia terkait masyarakat adat. Sehingga dalam pembahasan lanjutan RUU MHA, jelas Hilmar, harus dipertimbangkan latar belakang permasalahan tersebut.
Berita Lainnya - Lestari Moerdijat Dorong RUU Masyarakat Hukum Adat Segera Disahkan
Menurut Hilmar, saat ini banyak undang-undang yang menempatkan masyarakat adat sebagai obyek, sehingga selalu saja dalam pelaksanaan undang-undang yang ada masyarakat adat menjadi korban. Kehadiran UU MHA kelak, tambah Hilmar, sejatinya bertujuan menempatkan masyarakat adat sebagai subyek dalam proses pembangunan. Diakui Hilmar, saat ini sudah ada 65 kabupaten di Indonesia memiliki aturan yang melindungi masyarakat adat di wilayahnya.
Sementara, ungkap Hilmar, pihak Ditjen Kebudayaan di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Kemenko PMK) membetuk tim untuk melayani advokasi masyarakat adat. Sejauh ini, tambah dia, pihaknya telah menangani sejumlah kasus terkait perselisihan atau sengketa yang melibatkan masyarakat adat.
Pakar Hukum Tata Negara, Atang Irawan berpendapat formulasi pengaturan masyarakat hukum adat mencakup dua hal yaitu pengakuan dan penghormatan masyarakat hukum adat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Banyaknya lembaga yang terkait dengan masyarakat hukum adat, menurut Atang, menjadi titik krusial dalam proses pembuatan aturan terkait masyarakat hukum adat.
Menurut Atang, pada UUD 1945, Pasal 18A (2) mengamanatkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya yang diatur dalam undang-undang. Sedangkan pada Pasal 18A (1) negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Ketentuan pada Pasal 18b ayat (2) itu, menurut Atang, dapat dipahami bahwa UUD 1945 lebih mengutamakan hukum yang tertulis daripada tidak tertulis. Maknanya, tambah dia, bahwa pengakuan terhadap hukum adat yang masih hidup dalam masyarakat di suatu daerah harus dilakukan dengan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan (tertulis).
Pemberitaan Terkait - Perlindungan Masyarakat dan Perempuan Adat Melalui Undang-Undang yang Spesifik Harus Diwujudkan
Pegiat Masyarakat Adat, Abdon Nababan berpendapat aturan yang ada saat ini bila dilihat lebih mendasar tidak menempatkan masyarakat adat sebagai subyek. Padahal, jelas Abdon, masyarakat adat juga memiliki hak sebagai warga negara.
Saat ini, ujar Abdon, yang diperlukan itu adalah pengaturan eksistensi masyarakat adat terkait hak yang dimilikinya. Karena, jelasnya, secara substansi pengakuan masyarakat sebagai bagian dari warga negara Indonesia itu sudah final yang dinyatakan di konstitusi kita. "Tetapi bagaimana hal itu menjadi suatu yang konkret, itu yang harus diwujudkan," ujarnya. Abdon percaya, RUU MHA bisa segera diwujudkan sebagai undang-undang bila menggunakan konsep dan pembahasan omnibus law, seperti yang dilakukan pemerintah pada sektor ekonomi.
Jurnalis Media Indonesia, Siswantini Suryandari berpendapat selama ini kita lupa bahwa masyarakat adat adalah bagian dari warga negara Indonesia, yang seharusnya tidak boleh dianaktirikan. Dengan sikap seperti itu, ujar Siswantini, masyarakat adat seringkali tertinggal dalam banyak hal. Baik dari sisi akses pendidikan, kesehatan dan sejumlah kebutuhan dasar lainnya.
Akibatnya, tegas Siswantini, masyarakat adat selalu saja menjadi pihak yang tertinggal, bahkan seringkali tidak berdaya dan hak-haknya dirampas. Berdasarkan kondisi itu, tegas dia, hak-hak masyarakat adat harus terpenuhi, agar masyarakat adat tidak selalu berada di belakang dalam proses pembangunan.
Lihat Juga - Wakil Ketua MPR: Negara Harus Jamin Eksistensi dan Lindungi Hak Masyarakat Adat
Di akhir diskusi, wartawan senior, Saur Hutabarat menyayangkan bahwa Direktorat Jenderal Kebudayaan tidak masuk dalam Surpres yang dikeluarkan Sekertariat Negara dalam rangka pembahasan RUU MHA. Selain itu, Saur juga gembira dengan optimisme yang ditunjukkan Abdon Nababan yang percaya bahwa UU MHA bisa diwujudkan pada periode ke-2 Pemerintahan Joko Widodo ini, bila menggunakan skema omnibus law.
Namun, tambah Saur, bila pembahasan RUU MHA itu tidak kunjung usai, membentuk lembaga khusus yang menangani masyarakat adat bisa dilakukan, sehingga banyak masalah yang dihadapi masyarakat adat bisa segera diselesaikan. *