Rabu, 04 September 2024
tenaga kerja, BPJS, jaminan sosial, pekerja rumah tangga, Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU PPRT
Sejumlah aturan dan data yang tidak valid menyebabkan bantuan sosial (bansos) yang merupakan salah satu mekanisme pengentasan kemiskinan tidak menyentuh pekerja rumah tangga (PRT).
"Pekerja rumah tangga termasuk dalam kategori pekerja tanpa kontrak kerja dengan lingkup dan waktu kerja yang tidak menentu seringkali dinilai tidak layak menerima bansos sebagai pekerja," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema Bedah RUU PPRT: Mengatasi Ketidakadilan Akses PRT Terhadap Bansos yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (4/9).
Berita Terkait - Aturan yang Belum Jelas Kerap Halangi PRT Mendapat Bantuan Sosial
Diskusi yang dimoderatori Anggiasari Puji Aryatie (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Sri Wulan, S.E., M.M. (Anggota Komisi VIII DPR RI), Dra. Mira Riyati Kurniasih,M.Si (Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial, Kementerian Sosial RI), Dr. Adyawarman (Asisten Deputi Penanggulangan Kemiskinan, Sekretariat Wakil Presiden RI), dan Yuni Sri Rahayu (Serikat Pekerja Rumah Tangga, Sapulidi) sebagai narasumber. Selain itu hadir pula Mike Verawati (Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, PRT adalah kelompok masyarakat yang kerap terabaikan haknya sebagai penerima bansos, karena terhalang sejumlah peraturan yang ada. Mengutip laporan dari JALA PRT, Rerie sapaan akrab Lestari berpendapat, hal itu terjadi karena ketiadaan pengakuan kepada individu sebagai pekerja di rumah tangga berupa regulasi atau dari pemberi kerja.
Pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tambah Rerie, PRT tidak diakui sebagai pekerja secara formal. Akibatnya, tegas Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, para PRT kesulitan mengakses berbagai bantuan atau jaminan sosial.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu sangat berharap pengakuan PRT sebagai pekerja formal dapat diwujudkan dengan segera dituntaskannya pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi undang-undang.
Anggota Komisi VIII DPR RI, Sri Wulan berpendapat PRT kerap masuk dalam kelompok rentan yang sangat mudah terdampak bila terjadi gejolak perekonomian. Hal itu diperparah, tambah Sri Wulan, dengan seringnya PRT mendapatkan upah yang tidak layak dan waktu bekerja yang tidak terbatas.
Sri Wulan berpendapat sejumlah faktor menyebabkan PRT tidak mendapat bansos antara lain karena adanya hambatan birokrasi dan administrasi, kurangnya informasi, serta adanya diskriminasi terhadap profesi PRT. Menurut dia, upaya meningkatkan sosialisasi terkait hak dan kewajiban para PRT harus dilakukan sejak tingkat RT di setiap daerah. Selain itu, jelas Sri Wulan, upaya mewujudkan undang-undang perlindungan PRT harus konsisten dilakukan oleh para pemangku kepentingan, agar hak dan kewajiban para pekerja yang masuk kelompok rentan ini dapat dipenuhi.
Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial, Kementerian Sosial RI, Mira Riyati Kurniasih mengungkapkan bahwa penyaluran bansos itu berdasarkan UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dua undang-undang tersebut, jelas Mira, mengatur teknis penyaluran hingga siapa yang berhak mengusulkan penerima bansos. Diakui Mira, PRT termasuk kelompok pekerja rentan yang memerlukan kemudahan akses kesehatan, infrastruktur, air bersih dan ekonomi.
Peran pemerintah daerah (pemda), jelas Mira, sangat penting dalam mengusulkan warganya yang layak mendapat bansos. Karena, jelas dia, pemda dinilai memahami kondisi sosial setiap warganya. "Jadi Kemensos hanya melakukan penetapan penerima bansos berdasarkan usulan dari pemda. Pemerintah daerah harus tegas dan obyektif dalam menentukan siapa saja warganya yang berhak dapat bansos," ujar Mira.
Asisten Deputi Penanggulangan Kemiskinan, Sekretariat Wakil Presiden RI, Adyawarman mengungkapkan kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor sehingga memerlukan program perlindungan sosial yang adaptif untuk mengatasinya. Diakui Adyawarman, penurunan angka kemiskinan saat ini semakin lambat. Saat ini, ungkap dia, angka kemiskinan di Indonesia tercatat 9,03% atau 25,2 juta jiwa dan kemiskinan ekstrem tercatat 0,83% atau 2,33 juta jiwa.
Menurut Adyawarman, bila ada goncangan ekonomi yang disebabkan berbagai hal, bantuan sosial tidak hanya diberikan kepada kelompok yang miskin, tetapi juga kelompok yang rentan agar tidak jatuh miskin. Bila melihat program perlindungan sosial yang ada, jelas Adyawarman, itu terdapat pada sejumlah kementerian dan lembaga, antara lain seperti Kemensos, Kementerian Tenaga Kerja dan pemerintah daerah dalam berbagai bentuk bantuan dan subsidi.
Sementara itu, tegas dia, anggaran bansos yang dikelola Kemensos hanya Rp75, 6 triliun dari total Rp496, 8 triliun anggaran perlindungan sosial yang disediakan pemerintah. Menurut Adyawarman saat ini sejumlah daerah sudah menerbitkan peraturan dan anggaran perlindungan bagi pekerja yang masuk kelompok rentan, namun belum menegaskan posisi PRT secara jelas. Sehingga, tegas dia, pemerintah pusat perlu segera mengadvokasi pemda untuk memastikan PRT sebagai kelompok pekerja yang rentan dan berhak atas jaminan kecelakaan kerja dan kesehatan, sebagai bagian dari sistem perlindungan kerja.
Aktivis Serikat Pekerja Rumah Tangga, Sapulidi, Yuni Sri Rahayu menceritakan pengalamannya. Pada masa pandemi di Jakarta saja, jelas Sri, PRT kesulitan mengakses bansos. Hal itu, tambah Sri, karena kurang akomodatifnya birokrasi di pemerintah daerah. Menurut dia, akses untuk PRT terhadap bansos seharusnya sangat terbuka. Kenyataannya, tambah dia, warga kebanyakan pun yang seharusnya dapat bansos malah tidak dapat. Yang sudah tercatat pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) saja, jelas Sri, bisa diputus penyaluran bansosnya. Sri menilai data penerima bansos saat ini tidak valid. Dia mengusulkan agar saat pendataan penerima bansos, pemda didampingi oleh pihak Kemensos.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati berpendapat bantuan sosial yang diberikan pemerintah cukup beragam, tetapi terserak dan tidak terintegrasi sehingga kerap tidak tepat sasaran. Sulitnya PRT mengakses bansos, ungkap Mike, karena mereka kebanyakan datang dari berbagai daerah, sehingga pemerintah daerah tempat PRT bekerja kerap terkendala dalam mendata. Apalagi, ujar dia, PRT atau pemberi kerja tidak lapor sehingga pemerintah daerah sulit mendapat data yang akurat terkait penerima bantuan sosial di wilayahnya.
Baca Juga - Akses Perlindungan Jaminan Sosial PRT Masih Rentan
Mike sangat berharap peran aktif pemberi kerja dalam memberikan informasi yang akurat kepada RT atau RW setempat bila mempekerjakan PRT, sebagai bagian upaya mempermudah akses penyaluran bansos bagi PRT yang bekerja di rumahnya. Selain itu, tegas Mike, negara juga harus hadir dalam upaya memberikan perlindungan yang menyeluruh bagi setiap warganya, termasuk para PRT. *