Pada 22 Desember kali ini kita merayakan hari ibu yang ke-91 tahun. Sembilan dekade pergulatan peran dan re-definisi ruang bagi perempuan yang tak kunjung tuntas. Hari ibu bukan saja menghadirkan khidmat syukur berkah dari seorang ibu, menyusup juga problematika mendalam pada sebuah peringatan tahunan ini.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan terbesar dan terluas di dunia. Terdiri dari 17.500 lebih pulau, NKRI berisikan beragam adat istiadat, beraneka suku bangsa, banyak bahasa dan lebih dari satu agama serta berbagai kearifan lokal.

Sejarah mencatat perempuan Indonesia terlibat aktif dalam pembangunan bangsa dari masa ke masa. Meskipun pada masa pergerakan anti kolonial pandangan umum adalah perempuan sebagai pemangku keturunan dan laki-laki sebagai tiang keturunan. Konstruksi sosial ini berimbas pada pola pendidikan yang mengutamakan anak laki-laki daripada perempuan.

Tulisan ini merupakan pemikiran dari peneliti PSHK dan Pengajar STHI Jentera, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)

Sepuluh Desember adalah tanggal penting bagi peradaban manusia. Usai Perang Dunia Kedua, dunia porak poranda, jutaan nyawa melayang dan jutaan lainnya terpaksa mengungsi dan tercerabut dari kehidupan sehari-hari mereka.

Apa yang terbayang di benak bila mendengar kata migran? Jawabnya mungkin banyaknya perlakuan tidak adil yang menimpa buruh migran kita.

Satu pertanyaan yang difokuskan adalah “Apakah Anda kesepian? Dan saat Kepala ABC Itra Buttrose ditanya apa yang paling mengejutkan dan mengkhawatirkan dari survei ini, dia menggarisbawahi data terkait rasa sepi. Jadi, seberapa penting rasa kesepian? Apakah sama pentingnya dengan perubahan iklim, ekonomi atau pendidikan? Menurut riset, iya, dan hasil-hasil survei ini berikut menjelaskannya.

“Orang yang diperkosa jangan menyalahkan orang yang memperkosa. Salah perempuannya pakai baju mini dan pulang malam.”

Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api. Periodisasi korupsi di Indonesia secara umum dapat dibagi dua, yaitu periode pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan

Indonesia memiliki keragaman etnis, budaya, bahasa, adat istiadat, dan agama yang mewarnai realitas kehidupan sosial masyarakat. Di satu sisi, keragaman ini bisa menjadi kekuatan identitas dan modal sosial yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa.