Pustaka Lestari

Sepak Bola Indonesia di Masa Sukarno

Selasa, 30 Juli 2019

“Saja jakin PSSI akan tetap berada di depan dalam melaksanakan program revolusi, bekerdja bersama-sama ormas lainnja guna mewudjudkan tiga kerangka revolusi kita.” (Kompas, 6 Agustus 1965). Pesan ini disampaikan dalam “Derapkan Langkah PSSI” oleh Sukarno, Presiden Indonesia, Pemimpin Besar Revolusi, Pelindung PSSI dalam amanat tertulisnya saat Lustrum ke-7 PSSI di Istana Negara.

Sepak bola adalah olahraga yang memiliki daya tarik global. Tidak ada bentuk budaya populer lain yang dapat menimbulkan gairah kebersamaan dalam perjalanan sejarah olahraga dunia kecuali sepak bola. Daya tarik lintas budaya sepak bola meluas dari Eropa dan Amerika Selatan ke Australia, Afrika, Asia bahkan Amerika Serikat. Penyebaran sepak bola yang melintas batas hingga ke belahan penjuru dunia telah memungkinkan suatu budaya di sebuah negara yang berbeda untuk mengkonstruksikan bentuk identitas tertentu melalui praktik dan interpretasi atas permainan (Guilianotti, 2006).

Sepak bola adalah wadah di mana orang dari berbagai latar-belakang etnis bertemu. Terkadang pertandingan sepak bola berakhir dengan pertengkaran antar orang yang berbeda latar belakang dan suporter. Walaupun demikian, sepak bola tetap menjadi meeting point yang mendapat perhatian oleh masyarakat (Colombijn, 2010). Sepak bola menjadi kultur di berbagai negara dan mampu menyedot perhatian massa dan dapat menghadirkan suguhan olahraga yang tidak hanya bernilai olahraga saja.

Bagaimana dengan persepakbolaan di Indonesia saat era Sukarno? Saat itu, wacana dan upaya negara yang hendak menjadikan sepak bola sebagai sarana untuk menumbuhkan dan merepresentasikan nasionalisme. Situasi politik Indonesia yang baru saja memproklamirkan kemerdekaan membuat dunia sepak bola, baik pemain, suporter, pengelola dan juga bagi para pemimpin negara, menjadi sarana penguatan nasionalisme dan nilai-nilai kebangsaan. Sepak bola tidak hanya dipandang melalui semboyan “men sana in corpore sano” maupun sebatas olahraga untuk olahraga. Melalui sepak bola pula, nama bangsa dan negara Indonesia dapat dikenang oleh dunia internasional dengan prestasi olahraganya.

Kepopuleran sepak bola bisa membuat orang menjadi fanatis. Bill Murray mengatakan bahwa sepak bola selalu mengandung emosi dan fanatisme. Sifat fanatisme sepak bola adalah unik karena orang yang berada di dalamnya rela untuk membela tim kesayangannya dengan pengorbanan yang tidak kecil, baik tenaga dan dana (Iskandar, 2006).

Hal ini sejalan dengan prinsip nasionalisme yang diutarakan oleh Sartono Kartodirdjo (1993) bahwa nasionalisme harus memiliki wujud prestasi yang sangat diperlukan untuk menjadi sumber inspirasi dan kebanggaan bagi warga negara bangsa. Dalam komunikasi politik, konsep tentang nasionalisme perlu diterjemahkan dengan simbol-simbol sehingga imaji yang lebih kongkrit akan lebih mudah dapat dipopulerkan ke masyarakat.

Nasionalisme mengacu pada konsep yang diutarakan oleh Anthony D. Smith (2003) yakni sebagai doktrin dan gerakan ideologis sehingga anggota bangsa tersebut bertekad membentuk bangsa yang aktual dan potensial.

Sepak bola yang merupakan simbol dari eksistensi bangsa dalam kejuaraan maupun pertandingan internasional dapat dijadikan sebagai salah satu wujud dari nasionalisme sehingga nasionalisme seperti kata Slamet Muljana (1993) tidak akan hilang begitu saja setelah negara bangsa telah mencapai kemerdekaan dari kolonialisme.

Sepak bola merupakan sebuah bentuk “institusi” besar yang dapat membentuk serta merekatkan identitas nasional di seluruh dunia. Sepak bola selama abad ke-19 sampai abad ke-20 tersebar luas seiring dengan perkembangan negara-negara di Eropa dan Amerika Latin menegosiasikan batasbatas wilayah negaranya.

Salah satu contoh sepak bola dilihat melalui sisi politik adalah bagaimana eksistensi sepak bola sebuah negara yang dapat diakui atau tidak sebagai bagian dari keanggotaan sebuah organisasi resmi internasional berkaitan dengan kedaulatan negara itu sendiri. FIFA (Federation Internationale de Football Association) sebagai organisasi tertinggi sepak bola internasional pada awalnya mengakui keanggotaan sebuah organisasi sepak bola tiap negara berdasarkan apakah negara tersebut mendapat pengakuan kedaulatan dari negara-negara lainnya atau telah diterima dalam pergaulan internasional dan bahkan melalui PBB. Sisi sosial sepak bola berkaitan erat dengan muatan nilai-nilai kultural, sosial maupun identitas yang melekat dalam sepak bola itu sendiri.

Induk organisasi olahraga untuk kalangan bumiputera yang berdiri pertama kali di Indonesia saat era kolonial adalah PSSI. Induk organisasi tertinggi yang menaungi sepak bola ini didirikan tanggal 29 April 1930 di Yogyakarta dengan ketuanya adalah Ir. Suratin. Sepak bola saat itu telah mengakar dan menjadi permainan yang merakyat, sehingga perkembangan sepak bola di berbagai daarah Indonesia juga berjalan pesat. Selain tujuh kota (Surabaya, Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Solo, Madiun dan Magelang) yang memiliki klub sepak bola sebagai pendiri, daerahdaerah lainnya di Indonesia juga tidak kalah dalam mengembangkan, membentuk klub dan memainkan sepak bola.

Meningkatnya anggota PSSI yang mencapai 40 kota yang tersebar di Jawa, Makasar, Medan dan Padang pada tahun 1942 menujukkan minat yang tinggi terhadap cabang olahraga ini. Wawasan kebangsaan kemudian digerakkan oleh PSSI seiring dengan pembinaan sepak bola yang akhirnya turut mendorong perkembangan olahraga yang lainnya seperti tenis, atletik, bulutangkis (70 Tahun PSSI, 2000).

Pada tahun 1947, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Wikana menyampaikan pidato kenegaraan tentang gerakan olahraga. Menurutnya, gerakan olahraga tidak bisa dipisahkan dari gerakan kebangsaan dan adalah kewajiban bagi masyarakat untuk memperhatikan gerakan olahraga sebagai suatu bagian kebulatan tekad perjuangan (Tjakram, no. 10, 2 Februari 1947).

Di saat Indonesia telah menjadi sebuah negara, tujuan perjuangan bangsa adalah menegakkan negara Republik Indonesia menjadi negara yang besar. Olahraga menjadi perhatian dan urusan negara sebagai representasi dari pihak negara. Keolahragaan yang menjadi tujuan para penggemar dan atlitnya dilihat dari sudut kenegaraan adalah jalan untuk menegakkan negara. Menurut Wikana, hasil olahraga tidak bisa dilihat dari hasil pertandingan saja; olahraga adalah pembangunan “op lange termijn” bagi perjalanan bangsa dan negara.Olahraga harus dikembangkan secara merata dan menjadi kebiasaan (Tjakram, no. 11, 9 Februari 1947).

Olahraga tidak hanya sebagai tontonan dan harus dialakukan oleh masyarakat sebagai bentuk dukungan terhadap negara dalam mengembangkan visi olahraga yang menjadi perhatian negara.

Olahraga merupakan salah satu sektor yang menjadi perhatian dari pemerintah untuk dikembangkan secara serius di era kemerdekaan. Olahraga memiliki potensi yang cukup besar untuk mengenalkan dan membanggakan Indonesia sebagai bangsa yang masih baru. Keberhasilan dalam dunia olahraga akan membuat bangga sekaligus mengangkat citra bangsa Indonesia di mata dunia. Keberhasilan dalam pembinaan olahraga serta prestasi yang berhasil diraih menjadi magnet penarik perhatian bagi bangsa-bangsa lainnya dalam memandang Indonesia. Olahraga yang dikemas dalam bentuk kompetisi, menjadi sarana yang tepat untuk menarik perhatian dunia.

Dalam setiap tahun, banyak sekali agenda-agenda yang diadakan berkaitan dengan olahraga, dan dalam ajang tersebut melibatkan olahragawan-olahragawan dari berbagai negara. Misalnya dalam olimpiade, Asian Games, dan lain sebagainya yang dalam kompetisinya banyak diikuti negaranegara besar, sehingga setiap negara peserta kompetisi selalu menginginkan untuk menjadi yang terbaik. Seandainya Indonesia mampu berprestasi dalam ajang olahraga tingkat internasional seperti olimpiade ataupun asian games, tentu hal tersebut akan menjadi catatan positif Indonesia di mata dunia, terutama dalam bidang olahraga. Selain itu, prestasi yang diukir akan menumbuhkan rasa kebanggaan terhadap bangsa yang mana hal tersebut akan sangat bermanfaat dalam membangun dan rasa cinta terhadap bangsa negara (Rahman, 2012).

Sukarno memandang bahwa olahragawan adalah wakil-wakil bangsa dan negara dalam ajang pertandingan dan perlombaan. Setelah Indonesia dikeluarkan dari keanggotaan Komite Olimpiade Internasional, Sukarno semakin jelas mendeklarasikan olahraga tidak bisa terpisah dengan politik. Komite Olimpiade Internasional pernah menyatakan bahwa “sports are sports, do not mix sport with politics” dan Sukarno dengan tegas menyatakan itu tidak benar.

Perilaku orang beserta institusinya yang mengucapkan kata tersebut tidak mencerminkan tentang hal tersebut karena telah melarang negara komunis (Republik Rakyat China dan Vietnam) ikut bergabung dalam kejuaraan olimpiade dan juga mengeluarkan Indonesia dari keanggotan Komite Olimpiade Internasional. Sukarno mengusulkan dan menanggapinya dengan mengatakan “sports has something to do with politics!, Indonesia proposes now to mix sports with politics.”

Di tengah-tengah krisis tahun 1957 Sukarno mengambil langkah-langkah pertama menuju suatu bentuk pemerintahan yang olehnya dinamakan demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin didominasi kepribadian Sukarno, walaupun prakarsa dan pelaksanaannya diambil bersama-sama dengan pimpinan angkatan bersenjata. Sukarno dapat berpidato membuat khalayak ramai terpesona dan menawarkan sesuatu yang diyakini kepada bangsa Indonesia, sesuatu yang diharapkan banyak orang akan memberi martabat serta kebanggaan akan sebuah masyarakat dan negara (Ricklefs, 2007).

Pada tanggal 17 Agustus 1959, semua perjuangan bangsa di segala aspek kehidupan sosial diharuskan dan bahkan wajib untuk mengikuti anjuran Manipol dan jiwa USDEK antara lain UndangUndang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Nasional. Untuk membakar semangat nasionalisme dan membangun karakter bangsa, Sukarno sering sekali mengakatan “don’t leave history”. Jargon-jargon itu juga masuk dalam wilayah olahraga dan sepak bola.

Sepak bola dan Manipol di era Sukarno memiliki hubungan yang saling melengkapi dalam satu tujuan. Manipol yang bertemakan revolusi sebagai tema tunggal dapat memberikan jalan untuk menempatkan sepak bola sebagai salah satu alat untuk mewujudkan hal itu karena sepak bola juga merupakan perjuangan tentang nilai-nilai. Tidak hanya olahraga untuk olahraga saja, sepak bola syarat dengan perjuangan nilai dan pengharuman nama bangsa dalam kancah dunia internasional.Sukarno yang ahli dalam propaganda dan agitasi hendak menjadikan sepak bola sebagai salah satu alat untuk membentuk suatu karakter bangsa dalam proses national building. Prestasi sepak bola ketika era Sukarno pun dapat dibanggakan oleh negara dan rakyat Indonesia. Semangat sosialisme yang dipandang sebagai suatu cara untuk memperjuangkan harga diri dari penindasan masuk pula dalam sepak bola.