Pustaka Lestari

Memaknai Nilai-Nilai Keindonesiaan

Rabu, 28 Agustus 2019

KeIndonesiaan merupakan suatu perjalanan yang sangat dinamis dan sudah melalui berbagai tahapan, yang awalnya menjadikannya kenyataan politik, menjadikannya kenyataan hukum, dan sekarang sedang bergulat untuk meneguhkan Indonesia ini sebagai kenyataan kultural.

Indonesia bertolak dari sebuah gagasan dari perjuangan melawan ketidakadilan kolonialisme itu, sehingga diperoleh sebuah rumusan. Jadi KeIndonesiaan itu muncul di dalam kancah perdebatan itu. Awalnya tentu berupa gagasan, sampai kemudian gagasan ini menguat kemudian menjadi kenyataan politik dengan adanya gerakan kemerdekaan nasional, terus kemudian menjadi kenyataan hukum, ketika Indonesia merdeka menjadi republik dengan segala perangkatnya. Dan sekarang kita berjuang agar Indonesia juga menjadi kenyataan kultural. Jadi ada kenyataan politik, kenyataan hukum, dan kenyataan kultural.

Kenyataan kultural ini adanya di dalam diri masing-masing orang dan juga kolektif sehingga lebih berat untuk mencapainya. KeIndonesiaan itu adalah satu perjalanan yang sangat dinamis dan kita sudah melalui tahap-tahap awalnya menjadikannya kenyataan politik, menjadikannya kenyataan hukum, dan sekarang sedang bergulat untuk meneguhkan, Indonesia ini sebagai kenyataan kultural.

Konkretnya adalah masyarakat Indonesia yang ada sekarang ini. Itu terlihat dari komitmen masing-masing unsur di dalam masyarakat terhadap KeIndonesiaan. Dan ini tentu tidak statis, sangat dinamis, kadang orang sangat mengasosiasikan dirinya dengan Indonesia, simbol-simbol kebangsaan, dan tapi kadang-kadang surut juga. Dinamika yang perlu terus kita ikuti, istilahnya orang bilang merawat kebangsaan. Karena kalau dibiarkan ada kemungkinan rasa kebangsaan melemah, menurun, kemudian tidak peduli lagi. Dan sudah menjadi tugas kita sebagai penyelenggara negara untuk memastikan bahwa ini tidak padam.

Teknologi digital sekarang ini mengubah cara orang berkomunikasi dan berelasi satu sama lain secara drastis. Teknologi digital tidak serta merta memfasilitasi hubungan sesama manusia tetapi juga mengubah hubungan itu secara kualitatif. Sekarang ini, orang lebih suka berkomunikasi via telepon genggam daripada berbicara secara langsung kepada orang yang ada di sebelahnya. Dan juga soal kecepatan informasi, pergeseran informasi sekarang rasanya cepat sekali.

Dengan media seperti sekarang, perhatian tentunya terpecah. Ada kecenderungan orang menjadi kosmopolitan, merasa menjadi warga dunia. Yang ada di hadapannya dia itulah yg disodorkan oleh media-media dari seluruh dunia itu. Sehingga pikiran tentang KeIndonesiaan itu jauh rasanya. Itu tantangan besar. Kenapa? karena simbol-simbol (KeIndonesiaan) yang dulu bisa memobilisasi perhatian dan sentimen orang, sekarang kehilangan pesona. Bendera, lagu kebangsaan, lagu-lagu nasional, sudah sulit untuk mengharapkan orang akan termobilisasi hanya dari simbol-simbol itu. Itu tantangan paling besar.

Jadi sekarang kita berhadapan dengan suatu keadaan yang begitu cair. Kita berada di tengah-tengah kancah itu dan terus berusaha menegakkan. Jadi memang tantangan terbesarnya kenyataan yang berubah. Tapi dari sisi kita, berarti kita pun juga harus mengubah cara pikir kita. Tidak bisa pakai cara-cara lama mengharapkan hasil yang sama seperti dulu. Tantangan terbesarnya adalah pada diri kita sendiri, kemampuan untuk mengubah cara kita mengembangkan nilai-nilai kebangsaan di dalam periode sekarang. Itu tantangan terbesarnya.

Dalam perjalanannya, munculnya ide KeIndonesiaan itu sendiri, ketika Bung Karno merumuskan Pancasila. Beliau beberapa kali mengatakan saya ini tidak menemukan, tetapi saya ini menggali dari pengalaman konkret orang-orang Indonesia ketika berusaha memperjuangkan dirinya menjadi merdeka dan saya kira itu memperlihatkan bahwa bangunan Indonesia modern sekarang ini sebetulnya tiang-tiang pendukungnya itu tetaplah kearifan-kearifan lokal itu. Walaupun tidak diekspresikan secara khusus, bahwa ada Sunda, ada Jawa, dan lain sebagainya. Bukan itu, tetapi nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat kita. Tentunya, fakta sejarah itu sendiri kemudian membuat kita memang tidak mungkin mengabaikannya begitu saja. Dan itu khas sekali di dalam masyarakat bekas jajahan.

Kecenderungan untuk, khususnya kalangan intelektual (pada masa itu) untuk berbeda dengan generasi sebelumnya, cara dia berbicara, bahasa yang digunakan, pemikirannya juga berbeda dari generasi sebelumnya. Tapi yang sesuatu yang “baru” itu, juga belum berhasil dirumuskan, sehingga kemudian (mendorong) suatu situasi limbung pada tahun 1930an yang disebut polemik kebudayaan.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, Purbacaraka, Sanusi Pane, pijakan harus pada tradisi. Sutan Takdir Alisahbana mengatakan bangsa Indonesia harus modern sehingga kita ini tidak ada hubungannya dengan Sriwijaya dan Majapahit. Berdebat mereka. Tetapi (esensinya) bukan perbedaan pendapatnya, tapi paling penting adalah kesadaran penuh, bahwa kita tidak mungkin meninggalkan sejarah. Karena itu semacam pemberi arah bagi kita. Tapi pada saat bersamaan kita juga tidak mungkin tertahan di dalam tradisi itu. Kita harus menjadi modern. Generasi sebelumnya dalam kaitannya dengan kearifan lokal itu pada dasarnya mengatakan Indonesia harus menjadi negeri yang modern dengan caranya sendiri. Dengan caranya sendiri inilah tradisi berperan.

Tentu mengambil yang terbaik dari tradisi, mengambil hal-hal yang baik dari tradisi sebagai pijakannya untuk berjalan. Masalahnya sejarah lokal kita memperlihatkan bahwa tradisi yang sering dibicarakan juga tidak sederhana. Ada banyak problem didalamnya, ada pertentangan, ada konflik. Kita tahu bahwa ada sebagian dari tradisi juga hidup di dalam masyarakat yang sangat timpang. Si penguasanya itu seolah mempunyai kekuasaan yang tak terbatas. Dengan nilai yang muncul dari masyarakat seperti ini, sulit kita bayangkan untuk bisa berperan baik di masa sekarang. Karena akarnya yang juga tidak adil.

Disamping kita punya keyakinan dan kesadaran bahwa haruslah berpijak apa yang kita punya, haruslah berpijak pada tradisi sejarah dan seterusnya. Pada saat bersamaan juga harus kritis terhadap sejarah dan tradisi yang dia miliki. Jadi bukan sesuatu yang bisa kita pinjam dari masa lalu untuk diterapkan di masa sekarang. Tapi kita secara aktif harus menginterogasi masa lalu itu, tradisi itu, dan melihatnya dari perspektif kekinian.

Sebetulnya nilai-nilai dari masa lalu memberikan antara lain yang disebut landasan etis. Landasan etis ini sederhananya begini. Satu norma, nilai, atau perangkat nilai yang tidak lagi didiskusikan. Ya tidak ada diskusi mengapa, logis atau tidak, sosiologis atau tidak ada urusan, sudah diterima sebagai norma yang baik untuk dipegang. Jadi seperti itulah yang bisa dipetik dari sejarah. Jadi sekali lagi, soal sejarah dan segala macam, kita harus berani.

Justru sebaliknya bukan menghindari perdebatan tentang itu, tetapi justru harus berani, masuk melihat dan kemudian menarik nilainya. Terkait Arung Palaka dengan VOC, jangan lupa bahwa Bone, berada di bawah kekuasaan Makassar waktu itu. Hubungan itu juga tidak berjalan dengan baik. Ini yang saya kira, peristiwa sejarah seperti ini yang perlu kita pelajari dan maknai secara lebih kritis dan kemudian mencari rumusan-rumusan yang memang tepat untuk hari ini.

Sekarang orang melihat secara jelas keterbatasan dari rezim global yang modern seperti finansial dan ekonomi yang krisis, permasalahan sosial, permasalahan politik, dan perang di beberapa wilayah yang berpengaruh secara global. Ini waktunya kita untuk mulai berpikir ulang. Semboyan kita untuk kembali ke tradisi, yang dulu mungkin orang berlomba-lomba untuk menjadi modern, sekarang justru dengan adanya jelas keterbatasan dari prinsip global yang modern ini menjadi bermakna kembali dan resonansi gemanya itu di dunia itu besar.

Indonesia dapat menawarkan solusi. Masyarakat kita penuh dengan modal sosial dan modal kultural. Nah, tentu (mempertahankan dan mengembangkan) ini tidak mudah karena tantangan di dalam juga begitu banyak. Khususnya yang terkait terhadap keragaman dan ancaman terhadap toleransi.

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, apabila (makna) konstitusi kita pegang betul-betul di dalam setiap perumusan hukum undang-undang, mungkin tidak akan terjadi silang-sengkarut seperti sekarang. Anak-anak harusnya mendalami arti Bhineka Tunggal Ika, harus diajarkan Bhineka Tunggal Ika dalam praktek, tanpa harus menghafal macam-macam, sehingga anak-anak bisa merasakan bahwa persatuan di dalam kebhinekaan ternyata sangat luar biasa kuat.

Di bidang kebudayaan ada dua hal penting yang sedang diupayakan, pertama, mendokumentasikan semua ekspresi lokal yang ada sekarang secara sistematis. Kedua, menyediakan sistem akses informasi yang mudah untuk masyarakat terhadap kebudayaan yang sudah didokumentasikan tersebut. Selain itu kita juga mencoba peningkatan kualitas sarana prasarana yang sudah ada, seperti museum dan taman budaya. Untuk para pelaku budaya, kita juga sekarang membawa seniman-seniman baru, kontemporer, anak-anak muda kreatif ke arah cagar budaya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah mengarahkan optimalisasi cagar budaya, museum, taman budaya untuk menjadi sumber informasi dan pembelajaran serta mendukung program penguatan pendidikan karakter.

Untuk generasi milenial, memang harus menggunakan cara yang berbeda dari generasi-generasi sebelumnya. Generasi milineal perlu diberikan ruang untuk berinteraksi dengan berbagai macam hal yang dapat dilakukan di sekolah, seperti mengajak anak-anak membuat dokumentasi video (mengenai topik pelajaran ) dan dari sana kita diskusi sekaligus belajar memahami generasi milineal. Konsep belajar bersama ternyata yang menarik buat mereka bahwa untuk menemukan sisi yang tidak kita lihat (sebagai) pengajar, misalnya dari kisah kepahlawanan.

General knowledge seperti yang dulu ditanamkan kepada anak-anak generasi terdahulu, pada dasarnya sudah tidak perlu ditekankan secara kaku lagi karena akses informasi dalam berbagai media sudah terbuka lebar. Generasi milineal perlu dikembangkan sesuai dengan minatnya terhadap suatu hal.