Pustaka Lestari

Dapatkah Startup Menjadi Koperasi?

Kamis, 10 Oktober 2019

Wakil Presiden Jusuf Kalla baru-baru ini menyatakan, bahwa konsep bisnis yang dikembangkan oleh startup atau perusahaan rintisan sesuai dengan konsep koperasi yang diinginkan oleh Bapak Koperasi Indonesia, Bung Hatta. Alasannya, para perusahaan rintisan itu berkembang sebagai kumpulan orang bukan sebagai kumpulan modal layaknya sebuah perusahaan konvensional.

Menarik ungkapan Wapres JK yang mensejajarkan  startup sebagai koperasi.  Untuk memahami hal tersebut, sebaiknya kita mengetahui terlebih dulu apa itu start up dan koperasi. Dengan begitu, menghindari salah baca dan interpretasi.

Jika perusahaan rintisan sudah dapat mencapai nilai ekonomi/valuasi sebesar USD1 miliar, maka perusahaan disebut sebagai Unicorn. Di Indonesia ada  4 unicorn yaitu Gojek, Traveloka, Bukalapak dan Tokopedia.  Jika unicorn terus berkembang hingga valuasinya mencapai USD10 miliar  disebut Decacorn, dan jika terus berkembang hingga valuasinya menjadi USD 100 disebut Hectocorn. Dewasa ini Gojek  dengan valuasi  mencapai USD10  miliar sudah berhak menyandang predikat Decacorn.

Startup adalah perusahaan rintisan yang berbasiskan teknologi komputer, internet, website. Dikendalikan segelintir anak-anak muda berkemampuan tehnologi tinggi dan mampu menjalankan berbagai tugas sekaligus. Dengan tehnologi digital ditambah dengan modal yang cukup (baik dari investor maupun modal sendiri) perusahaan ini bisa berkembang dengan pesat.

Menurut Direktur Industri, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Teguh Sambodo,  saat ini Indonesia memiliki 992 startup. Sebanyak 35,48 % diantaranya merupakan e-commerce dengan jumlah 352 perusahaan. Kemudian ada fintech 5,34% dengan 45 perusahaan. Lalu, startup game  porsinya 5,54% dengan jumlah 55 perusahaan. Sisanya, 53,63% bergerak di bidang lainnya dengan total jumlah 532 perusahaan.

Ada “sifat bawaan” startup ini yang tidak bisa dihindari, yang disebut  dengan istilah disruptive (mengganggu). Hal ini terjadi akibat adanya temuan-temuan baru yang “mengganggu” produk lama, sehingga temuan baru ini disebut disruptive innovation (inovasi disruptif). Dengan  adanya temuan, produk atau layanan baru, maka produk atau layanan lama jadi “terganggu”, ditinggalkan pelanggannya. Demikianlah dengan adanya taksi online, taksi konvensional jadi kurang laku,  dengan  munculnya kamera digital, kamera manual banyak ditinggalkan orang, demikian pula dengan maraknya media online, media konvensionalpun kurang peminat/pelanggannya, dan seterusnya.

Berdasar penjelasan tersebut, koperasi tidak hanya berhenti pada “kumpulan orang” (association of persons). Kumpulan/asosiasi ini harus  bersifat otonom dan secara sukarela menyatukan diri untuk memenuhi kebutuhan  mereka  yang sama dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya melalui pengelolaan perusahaan yang dimiliki bersama serta dikendalikan secara demokratis. Dalam menjalankan kegiatan-kegiatannya, koperasi juga harus berpegang teguh pada nilai-nilainya seperti:menolong diri sendiri, tanggungjawab sendiri,  demokrasi, persamaan, keadilan dan kesetiakawanan.

Nilai-nilai ini kemudian dijabarkan ke dalam 7 prinsip untuk menjadi pedoman dalam melaksanakan kegiatan koerasi sehari-hari: (1).Keanggotaan sukarela dan terbuka, (2). Pengendalian oleh anggota secara demokratis, (3). Partisipasi anggota dalam ekonomi, (4). Otonomi dan independen, (5).Pendidikan-Pelatihan-Informasi, (6). Kerjasama antar koperasi dan (7). Peduli pada masyarakat/lingkungan.  Ketiga unsur koperasi tersebut, yaitu Definisi, Nilai-nilai dan Prinsip-prinsip disebut Jatidiri Koperasi atau bahasa aslinya ICA Cooperative Identity Statement disingkat ICIS atau Pernyataan ICA tentang Identitas Koperasi..

Sejauh mana startup-startup tersebut telah dapat memenuhi kriteria hingga bisa disebut sebagai koperasi? Dilihat dari segi “kumpulan orang” yang terdiri dari para pelaku usaha  sebagai mitra bisnis startup, jumlahnya memang  cukup besar dan potensial  untuk dikembangkan sebagai koperasi besar. Tetapi  hanya dengan “perkumpulan orang” saja belum bisa disebut sebagai koperasi.

Padahal dalam kenyataannya pemilik  startup dan unicorn-uicorn tersebut adalah segelintir orang saja, yang berhak menentukan kebijakan perusahaan tanpa harus berunding dengan mitra bisnis. Hubungan antara pemiliki perusahaan dengan mitra bisnis   adalah   hubungan patron-klien (patron-client)   yang merupakan aliansi dua kelompok komunitas yang tidak sederajat, baik dari segi status, kekuasaan, maupun penghasilan.

Untuk bisa disebut sebagai koperasi, “kumpulan orang” ini dalam upayanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan sosialnya juga harus menjadi pemilik bersama perusahaan. Sehingga selain sebagai  mitra bisnis dan sebagai pelanggan, juga sebagai pemilik yang sekaligus berhak mengendalikan perusahaannya.

Ketika startup/unicorn menjadi koperasi, tidak ada lagi istilah patron-klien, pemilik dan pelanggan/mitra bisnis.  Kedua komunitas lebur menjadi anggota koperasi, yang memiliki hak dan kewajiban yang sama, yang semua kebijakannya ditentukan dalam forum Rapat Anggota, sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam koperasi.