Selasa, 01 September 2020
Indonesia, perempuan indonesia, suara perempuan, industri 4.0, pemimpin perempuan
Industri 4.0 yang sedang berlangsung saat ini telah mengubah kehidupan manusia melalui berbagai teknologi internet of things. Digitalisasi teknologi tak dapat dibendung dan begitu cepat memengaruhi berbagai bidang kehidupan. Tidak hanya pengembangan perangkat atau sistem untuk menjalani tranformasi digital, tapi juga sumber daya manusia (SDM).
Menurut UN Women, dalam dunia yang sedang berubah ini, 90 persen pekerjaan di masa depan akan menggunakan keterampilan teknologi, informasi, dan komunikasi. Pekerjaan dengan cara lama akan berganti dengan berbasis teknologi informasi. Tidak dapat dipungkiri perempuan memegang peranan yang signifikan dalam era ini.
Kesetaraan gender masih menjadi isu penting dalam pembangunan. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pandangan bahwa semua orang menerima perlakuan yang setara dan tidak didiskriminasi berdasarkan jenis kelamin mereka. Hal ini diduga masih ditemukannya diskriminasi perempuan dalam berbagai lini kehidupan yang tak hanya terjadi di Indonesia, namun terjadi di berbagai belahan bumi.
UNFPA menyebutkan kesetaraan gender dapat memajukan pembangunan dan mengurangi kemiskinan (UNFPA, 2018). Menurut European Institute for Gender Equality (EIGE), peningkatan kualitas kesetaraan gender berdampak positif baik secara individual mau pun masyarakat luas. Secara ekonomi, kesetaraan gender dapat mendorong peningkatan PDB perkapita dan perluasan lapangan kerja yang dalam jangka panjang akan berdampak pada pengentasan kemiskinan (EIGE, 2017).
Pembangunan Manusia Indonesia menurut kesetaraan gender menunjukkan tren perbaikan. Data BPS tercatat angka IPG Indonesia pada 2018 berada di level 90,99 dari skala 0-100. Indeks tersebut naik 0,03 poin dari tahun sebelumnya. Sebagai informasi, IPG mendekati 100 mengindikasikan semakin kecil kesenjangan pembangunan antara laki-laki dan perempuan.
Membaiknya IDG menunjukkan perempuan Indonesia semakin menunjukkan perannya dalam pembangunan. Ini terbukti sebanyak 17,32 persen keterwakilan perempuan dalam parlemen, sebanyak 47,02 persen dalam kepemimpinan profesional serta 36,70 persen sumbangan pendapatan perempuan.
Meski pun IDG mengalami kenaikan, namun Indeks Pembangunan Manusia perempuan Indonesia 2018 masih berada di level 68,63. Tertinggal dari IPM lelaki yang berada di posisi 75,43. Ini yang membuat IPG Indonesia masih berada di bawah 100.
IPM perempuan rendah salah satunya disebabkan karena faktor pendidikan. Data BPS menunjukkan rata-rata lama sekolah perempuan di 2018 hanya 8,26 artinya rata-rata perempuan Indonesia hanya berpendidikan sampai kelas delapan atau kelas dua SMP.
Sementara lama sekolah laki-laki 8,90 tahun artinya rata-rata laki-laki berpendidikan sampai kelas sembilan atau kelas tiga SMP. Kondisi ini menyebabkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan yang masih jauh di bawah laki-laki. TPAK menggambarkan perbandingan jumlah angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja dan dihitung dari jumlah angkatan kerja dibagi jumlah penduduk 15 tahun ke atas dikali 100. Berdasarkan data Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional) pada Agustus 2018, TPAK perempuan 51,88 lebih rendah dibandingkan laki-laki yang mencapai 82,69.
Kondisi ini menjadikan tantangan yang harus dihadapi perempuan sebagai dampak dari Revolusi Industri 4.0. Melek digital bagi perempuan harus dijadikan prioritas, karena permintaan terhadap tenaga kerja berliterasi digital di Indonesia terbilang sangat tinggi. Perusahaan-perusahaan rintisan yang banyak bermunculan serta semakin beragamnya layanan teknologi digital yang digunakan oleh perusahaan menciptakan kebutuhan akan tenaga kerja yang melek digital.
Hootsuite (We are Social) mengeluarkan data di tahun 2020 bahwa dari 272,1 juta penduduk Indonesia, terdapat 333,2 juta (124%) pengguna telepon mobile (HP); 175,4 juta (64%) pengguna (penetrasi) Internet; dan 160,4 juga (59%) pengguna aktif media sosial. Khusus perempuan sebagai pengguna aktif media sosial instagram (50,8%). Perempuan sebagai pengguna media sosial yang paling banyak di usia 25-34 tahun (14,8%); 18-24 tahun (14,2%); 13-17 tahun (7,1%); 35-44 tahun (5,4%); 45-54 tahun (2,1%); di atas 55 tahun (1,4%).
Hadirnya Revolusi Industri 4.0 seharusnya dapat dimanfaatkan dan dikelola dengan baik oleh kaum perempuan karena memiliki prospek yang menjanjikan bagi posisi perempuan sebagai bagian dari peradaban dunia. Meskipun masih ada sejumlah tantangan dalam menarik tenaga kerja profesional perempuan untuk bekerja di dunia industri.
Menurut studi dari UNESCO pada 2015, rendahnya tingkat partisipasi pekerja perempuan di bidang industri terutama disebabkan oleh persepsi lingkungan kerja di industri merupakan domain pekerja laki-laki, yang melibatkan pekerjaan fisik dan tidak menarik bagi pekerja perempuan. Selain itu, masih banyak lulusan perempuan yang memperoleh gelar terkait industri sains, teknologi, engineering, dan matemathics memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk mengejar karier di industri dibandingkan laki-laki. Di sinilah dibutuhkan peran perguruan tinggi dalam menggali potensi kaum perempuan agar menjadi lulusan yang kuat dan mampu menghadapi persaingan di Era Revolusi Industri 4.0
Padahal revolusi industri keempat ke arah ekonomi digital dan teknologi membuat industri science, technology, engineering, dan mathematics (STEM) memiliki prospek yang menjanjikan. Khusus untuk pekerjaan di industri STEM ini, tercatat hanya sekitar 30% pekerja perempuan. Walaupun jumlah persentase pekerjaan perempuan di industri STEM ini tergolong kecil, berdasarkan penelitian Lembaga Statistik UNESCO, angka tersebut masih lebih tinggi dari rata-rata negara di Asia Tenggara yaitu sebesar 23%. Peringkat ini menempatkan Indonesia berada di depan negara-negara tetangga seperti Singapura, Laos, dan Kamboja dalam rasio perempuan terhadap pekerja laki-laki di industri STEM.
Studi Microsoft mengungkapkan hanya 20% di dunia yang bekerja di industri STEM. Padahal, pada dasarnya perempuan mampu bekerja di industri STEM ini. Riset Accenture juga mengungkapkan 40% perempuan ada di jalur fast track artinya menempati posisi manajemen dalam waktu lima tahun.
Steven Barraclough, Minister-Counsellor for Economic, Investment, and Infrastructure, Australian Embassy, mengatakan partisipasi perempuan di industri STEM Australia ini masih di bawah 50%. Australia juga menyesuaikan dengan kondisi untuk meningkatkan partisipasi perempuan di industri STEM ini.
Dukungan pemerintah sangat diperlukan, terutama memastikan akses pendidikan bagi perempuan dan menyiapkan sarana/ prasarana yang dibutuhkan. Di samping itu, diperlukan juga peran perguruan tinggi dalam menggali potensi kaum perempuan agar menjadi lulusan yang kuat dan mampu menghadapi persaingan di Era Revolusi Industri 4.0.
Tugas dan peran perempuan memang kadang lebih berat dibanding laki-laki, apalagi kalau dikaitkan dengan pendidikan dan pembentukan karakter dan moral anak-anak mereka. Peran ibu (perempuan) lebih berat, meski sudah memasuki era industri 4.0, perempuan tidak bisa meninggalkan peran dan kodratnya sebagi seorang perempuan, ibu, istri, bahkan peran di lingkungan sosial masyarakat.
Untuk itu, dibutuhkan kepercayaan diri yang tinggi dalam menggali potensi kaum perempuan agar menjadi wanita karier yang kuat dan mampu menghadapi persaingan di era revolusi industri 4.0.
Menurut penelitian Women in Business terbaru dari Grant Thornton International yang dipublikasikan bertepatan dengan Hari Wanita Sedunia (8/3/2019), persentase bisnis secara global dengan setidaknya satu wanita dalam manajemen senior telah meningkat menjadi 87%, naik 12% sepanjang 2018.
Secara keseluruhan, wanita sekarang memegang 29% posisi kepemimpinan senior secara global. Meskipun angka ini hanya naik 10% sejak 15 tahun terakhir, setengah dari peningkatan ini (5%) ternyata dicapai dalam setahun terakhir saja. Laporan ini juga menyebutkan bahwa tindakan yang paling sering dilakukan untuk mendorong keragaman gender di antara bisnis global adalah memastikan peluang pengembangan karier yang setara, yaitu sebesar 34%.
Walaupun jumlah wanita dalam tingkat kepemimpinan senior telah meningkat pesat, masih terdapat kesenjangan kesetaraan gender di level kepemimpinan tertinggi yang signifikan. Hanya 15% bisnis di dunia yang memiliki wanita dengan jabatan CEO atau direktur pelaksana. Posisi senior yang paling banyak diduduki wanita adalah direktur sumber daya manusia, yaitu sebesar 43%.
Agar peningkatan representasi perempuan di posisi senior terus berlanjut, diperlukan peran dari pemimpin senior khususnya pemimpin senior pria dengan tindakan yang lebih terencana untuk membuka kesempatan bagi wanita memberikan kontribusinya di posisi pimpinan senior. *)