Pustaka Lestari

Ada apa dengan Sistem Keolahragaan Nasional?

Rabu, 04 November 2020 hidup sehat, olahraga, sistem olahraga nasional

 

Selama kurun waktu 15 tahun lebih setelah Undang-Undang No. 5 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) disahkan dan diundangkan, semangat implementasi UU SKN diharapkan dapat memaksimalkan dan menyesuaikan dengan tujuan keolahragaan nasional, yaitu : (a) memelihara dan meningkatkan kesehatan dan kebugaran, prestasi, kualitas manusia; (b) menanamkan nilai moral dan akhlak mulia, sportivitas, disiplin; (c) mempererat dan membina persatuan dan kesatuan bangsa; memperkukuh ketahanan nasional; serta (d) mengangkat harkat, martabat, dan kehormatan bangsa.

Walaupun demikian untuk melengkapi dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman, maka UU SKN perlu memberikan ruang baru terhadap hal-hal yang menjadi perhatian berbagai pihak kepentingan dan pemangku kebijakan yang peduli dengan olahraga lokal, nasional, regional, dan internasional.

Kondisi saat ini Badan Standardisasi dan Akreditasi Nasional Keolahragaan (BSANK) secara fungsional berada di bawah Kemenpora. Penunjukan BSANK dalam UU SKN sebagai lembaga berwenang untuk melakukan sertifikasi dan akreditasi di bidang keolahragaan. Sehingga diperlukan harmonisasi pengaturan tentang kelembagaan pelaksana akreditasi dan sertifikasi. Kemudian diperlukan suatu sistem validasi berupa dokumentasi akreditasi maupun sertifikat atlet. Sistem ini diharapkan dapat mengakses seluruh fasilitas yang berimplikasi pada kesejahteraan atlet dan pelatih.

Selain itu perlunya penguatan lembaga Badan Olahraga Profesional Indonesia yang selanjutnya disingkat BOPI adalah badan yang berwenang melakukan pembinaan, pengembangan, pengawasan dan pengendalian terhadap setiap kegiatan olahraga profesional Indonesia.

Istilah “penyandang cacat” sebaiknya disesuaikan dengan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Kemudian diakomodasi dan penegasan bahwa Komite Paralympic Nasional (NPC) sebagai lembaga yang mengelola olahraga penyandang disabilitas fisik.  Juga pentingnya pengakuan dan peningkatan peran Special Olympics Indonesia (SOINa) dalam mengelola olahraga penyandang disabilitas intelektual. Organisasi penyandang disabilitas seperti Special Olympics Indonesia (SOIna) yang mengurusi olahraga penyandang disabilitas intelektual juga belum terakomodasi dan terfasilitasi dengan baik karena belum diakui dan bukan bagian dari KONI Daerah atau NPC Daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Dengan realita tingginya angka penyandang Disabilitas Intelektual di Indonesia, maka diperlukan satu wadah yang tepat untuk mendukung upaya-upaya yang dilakukan dalam proses memandirikan penyandang Disabilitas Intelektual. Penyandang Disabilitas Intelektual adalah mereka yang dinilai oleh psikolog menderita kelemahan dalam berpikir dan belajar, serta kesulitan dalam berbicara dan mengeluarkan pendapat. Bila diukur melalui tes IQ, rata-rata nilai mereka berada di bawah angka 70. namun sebagai masyarakat, mereka memiliki hak untuk hidup secara layak, bersosialisasi dan mengembangkan potensi dirinya. Melalui program olahraga khusus ini, diharapkan mereka mampu memenuhi fungsi sosialnya, dapat mandiri dan menjadi warga masyarakat yang dihargai.

Selain itu juga adanya pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana olahraga bagi penyandang disabilitas. Kemudian para atlet juga diharapkan dapat diberikan kesetaraan antara atlet umum dan atlet penyandang disabilitas. Dengan kesamaan hak ini diharapkan semua pihak menyadari bahwa olahraga tidak hanya hobi tapi profesi sehingga masyarakat terbangun kesehatan dan profesionalitasnya

Kondisi saat ini Pemerintah sebagai regulator juga sebagai pelaksana UU SKN. Oleh karena itu perlunya pembagian fungsi dan wewenang yang jelas antara Pemerintah sebagai regulator dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) sebagai pelaksana walaupun sudah ada Perpres No. 95 Tahun 2017. Kemudian adanya rangkap jabatan dalam pengurus KONI terutama KONI di daerah. Selain itu, perlu pengaturan koordinasi antara KONI dan Komite Olimpiade Indonesia (KOI), baik dalam UU maupun peraturan pelaksana.

Perlu adanya pengaturan yang tegas dan tidak multitafsir dalam hal larangan rangkap jabatan pengurus KONI maupun Cabang Olahraga dengan Jabatan Publik. Jika memang dengan alasan efisiensi program dan anggaran membuat banyak daerah melanggar larangan rangkap jabatan tersebut maka perlu dipertimbangkan untuk merevisi aturan larangan tersebut. Namun apabila memang pemerintah merasa ingin tetap mempertahankan.

Selanjutnya agar fungsi dan peran pemerintah lebih jelas sebagai pelaksana kebijakan membina olahraga prestasi dan pengelola anggaran serta penyedia prasarana dan sarana olahraga maka perlu dibentuk semacam “Sport Council” atau badan pembina olahraga nasional sebagai Government Organization. Menteri Olahraga sekaligus sebagai ex officio Ketua Umum “Sport Council”.

Secara garis besar status organisasi olahraga di dunia ada 4 bentuk yaitu : (1) NOC sebagai satu-satunya organisasi olahraga berstatus Non Government Organization (NGO), contoh : Amerika Serikat dengan USOC (United Statted Olympic Committee); (2) NOC sebagai satu-satunya organisasi olahraga berstatus Government Organization (GO) dimana Menteri Olahraga secara ex officio menjabat menjadi Presiden NOC, contoh : China; (3) Terdapat dua organisasi olahraga, yaitu National Sport Council (NSC) sebagai GO, dan Menteri Olahraga secara ex officio menjabat menjadi Presiden NSC, serta NOC sebagai NGO Independen, contoh : Inggris, Australia, Malaysia dan Singapura; (4) Pada awalnya merupakan dua NGO yang terpisah yaitu : National Sport Committee dan National Olymp…

Dalam UU SKN 2005 terdapat “kemampuan pendanaan” pada definisi “pembina olahraga” yang sebaiknya dihapuskan karena “kemampuan pendanaan” berbeda dengan “kemampuan manajerial”. Salah satu contohnya, tentang pengalokasian pendanaan yang belum maksimal oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Kemampuan daerah dalam menyediakan dana olahraga dan hibah yang tidak dapat dilakukan secara terus menerus dapat menghambat pembinaan dan pengembangan keolahragaan di daerah.

Bahwa kedudukan organisasi olahraga sebagai salah satu penerima hibah belum memiliki kejelasan, Hal tersebut berimplikasi kepada adanya kehatian-hatian bagi pemerintah daerah dalam memberikan hibah kepada organisasi olahraga. Organisasi olahraga juga belum mampu untuk melaksanakan ketentuan money follows program

Kemudian perlunya melakukan pengkajian ulang besaran anggaran olahraga. Termasuk juga tentang pengaturan peran pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pendanaan olahraga. Hal ini juga termasuk Pasal 78 sampai dengan Pasal 80 UU SKN yang tidak dapat diimplementasikan karena tidak adanya regulasi ataupun panduan yang secara teknis menjabarkan perintah UU SKN tentang industri olahraga.

Selain itu, ada juga keinginan untuk melakukan penguatan kelembagaan Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI) dalam UU SKN sebagai lembaga yang mengelola olahraga rekreasi. Penjelasan Pasal 19 ayat (1): “olahraga rekreasi merupakan kegiatan olahraga waktu luang” apabila dikaitkan dengan definisi olahraga rekreasi dalam Pasal 1 angka 12, telah menimbulkan persepsi negatif bahwa olahraga rekreasi tidak dilaksanakan secara teratur, sistematis dan berkelanjutan seperti ruang lingkup lainnya yaitu olahraga pendidikan dan olahraga prestasi. Hal ini berimplikasi pada perbedaan perlakuan dari Pemerintah dan pemerintah daerah terhadap pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi.

Adanya disharmoni tanggung jawab dan kewenangan penyelenggaraan olahraga rekreasi dalam UU SKN dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi hanya merupakan kewenangan Pemda kabupaten dan/atau kota. Pasal 32 ayat (1) PP No. 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan hanya memberikan kewajiban kepada pemda dan masyarakat untuk membangun prasarana dan sarana olahraga rekreasi, memfasilitasi pembentukan sanggar olahraga dan perkumpulan olahraga serta memfasilitasi festival dan perlombaan olahraga rekreasi.

Dalam penyesuaian dengan undang-undang sistem Pendidikan nasional dalam penyelenggaraan pada lingkup olahraga Pendidikan. UU SKN belum mengakomodasi indikator sarana dan prasarana serta indikator wadah pendukung prestasi pada olahraga Pendidikan seperti ketersediaan kelas olahraga. Secara khusus sekolah khusus olahraga juga belum tersedia mulai dari pendidikan dini yang berjenjang hingga pendidikan tinggi.

Pelaksanaan penelitian belum mengarah pada penggalian akar masalah keolahragaan nasional sehingga hasilnya tidak dapat dijadikan referensi perbaikan sistem keolahragaan nasional. Hasil penelitian di Perguruan Tinggi masih bersifat kebutuhan praktis dan parsial untuk memenuhi kredit poin kenaikan pangkat dan jabatan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah belum dapat memfasilitasi pengembangan IPTEK keolahragaan dan perguruan tinggi serta lembaga Pengembangan IPTEK Keolahragaan dapat berkontribusi aktif untuk bidang keolahragaan. Belum optimalnya pengembangan IPTEK mempengaruhi kemajuan prestasi olahraga nasional.

IPTEK Keolahragaan atau Sport Science merupakan hal yang sangat penting untuk terus dikembangkan, karena pada dasarnya Atlet berprestasi merupakan sesuatu yang diciptakan atau diprogram dengan penuh perencanaan. Sebagai contoh negara Australia membentuk tim untuk mengembalikan prestasi mereka dengan berbasis Sports Sains, yang kelak merupakan awal dari berdirinya Australia Institute of Sports Science (AIS) dengan tujuan untuk mengembalikan reputasi olahraga Australia di level Internasional dengan memfasilitasi elit atlet, sehingga prestasi mereka meningkat

Dapat dilihat pada Olimpiade Tahun 1976, Australia menempati peringkat 32 dengan perolehan medali hanya 1 medali perak dan 4 medali perunggu. Namun, pada Olimpiade Tahun 2004 mereka mendapatkan peringkat 4, dengan perolehan medali sebanyak 17 medali emas, 16 medali perak, dan 16 medali perunggu. Hal ini menjadi bukti bahwa penerapan sport science berperan penting dalam peningkatan prestasi olaharaga. Sehingga Indonesia perlu menerapkan sport science apabila Indonesia menginginkan peningkatan prestasi

Bentuk jaminan hari tua kepada olahragawan yang berprestasi dan/atau berjasa dalam memajukan olahraga sebagaimana telah diatur tersebut, belum mencerminkan jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan dasar dan belum memberikan kepastian hukum bagi olahragawan berprestasi. Tidak adanya aturan yang mengatur mengenai kesamaan besaran pemberian penghargaan menyebabkan pemerintah daerah memberikan penghargaan yang berbeda-beda. Hal ini didasari karena potensi dan kemampuan daerah berbeda yang menimbulkan terjadinya perpindahan atlet yang memberikan bonus lebih besar.

Perlu diberi rumusan yang jelas mengenai batas pensiun atlet untuk menjamin program pemberian Jaminan Hari Tua untuk atlet tersebut. Program peremajaan atlet perlu terus-terusan dijalankan untuk menjamin regenerasi atlet supaya atlet yang mencapai usia pensiun sudah dapat fokus mempersiapkan masa pensiunnya karena sudah ada atlet muda yang siap menggantikannya.

Mengingat keterbatasan kemampuan negara, perlu untuk dipertimbangkan pemberian penghargaan diprioritaskan untuk atlet berprestasi tingkat Olimpiade, maupun Asian Games terlebih dahulu, karena mereka telah mengharumkan nama Indonesia di mata dunia. Selain itu, para atlet perlu diberikan bimbingan karir supaya pelaku olahraga mendapatkan pilihan melanjutkan karir setelah pensiun di dunia olahraga.

Untuk mencegah perpindahan Atlet antar daerah dalam even nasional dikarenakan alasan pemberian bonus atau penghargaan tiap daerah berbeda, memang perlu ditanamkan pola pikir atau mindset bahwa pengabdian di bidang olahraga tidaklah melulu mengenai materi, namun juga untuk pengembangan kapasitas dan kemampuan tiap atlet serta untuk pengembangan prestasi tiap-tiap daerah secara umum dan secara khusus untuk pengembangan prestasi olahraga nasional. Sehingga, perlu dibuat standarisasi bonus atau penghargaan terhadap atlet agar perpindahan atlet tidak dilatar belakangi oleh materi semata dan juga perlu dibuat peraturan yang mengatur pembinaan atlet daerah.

Penyelesaian masalah melalui jalur arbitrase, dinilai belum efektif menyelesaikan sengketa keolahragaan yang salah satunya permasalahan dualisme kepengurusan organisasi olahraga. Hal ini karena pada faktanya terdapat dua lembaga yang memiliki kesamaan fungsi arbitrase yakni BAORI (Badan Arbitrase Olahraga Republik Indonesia) dan BAKI (Badan Arbitrase Keolahragaan Indonesia).  *)

*Diolah dari berbagai sumber oleh tim Wakil Ketua MPR RI