Senin, 14 Desember 2020
waropen, perempuan, perempuan maritim, negara maritim, budaya maritim
Kemampuan perempuan sering diragukan terutama dalam melakukan kegiatan-kegiatan pada bidang ekonomi atau sosial-budaya di keluarga atau di masyarakat. Salah satu faktor penyebabnya adalah kondisi biologis perempuan terutama dikaitkan dengan fungsi reproduksi. Demikian halnya dalam pengasuhan anak secara universal cenderung disebut sebagai peran eklusif perempuan (Berry, 1999).
Fungsi reproduksi dan tanggung jawab pengasuhan anak sering dianggap sebagai penghambat bagi kegiatan perempuan dibidang lain terutama yang berkaitan di luar rumah. Dalam kenyataannya di masyarakat reproduksi tidak terjadi setiap waktu. Demikian halnya dengan pengasuhan anak dapat dibantu oleh orang lain, misalnya kerabat atau anak-anak yang sudah besar, sehingga mampu melakukan kegiatan-kegiatan di luar rumah.
Perbedaan pandangan berkaitan dengan peranan perempuan dan laki-laki di masyarakat pada umumnya dikaitkan dengan peran gender. Gender merupakan konstruksi dan tatanan sosial mengenai berbagai perbedaan antara jenis kelamin yang mengacu kepada relasi-relasi sosial antara perempuan dan laki-laki atau suatu sifat yang telah ditetapkan secara sosial maupun budaya (Susanti, 2000).
Selanjutnya disebutkan bahwa para gender dibedakan dari peran kodrati, yaitu peran yang didasarkan pada kodrat. Peran gendersebagai peran yang ditetapkan secara budaya terbuka untuk dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan, sementara peran kodrati, adalah peran yang tidak dapat ditukarkan karena sudah demikian diciptakannya, seperti hamil, melahirkan, dan menyusui pada perempuan.
Dengan demikian peran gender tidak bersifat universal, tetapi berubah dan berbeda karena dipengaruhi oleh idiologi, ekonomi, adat, agama, dan sosial budaya, etnik, waktu, tempat serta kemajuan iptek. Kemudian Herskovits (dalam Haviland, 1988) memandang peran gender itu sebagai perkembangan historis kebanyakan tradisi-tradisi khas yang mengatur kehidupan bangsa tertentu
Lebih lanjut (Susanti, 2000) mengemukakan bahwa hal yang wajar, sebab setiap budaya dan komunitas mempunyai berbagai ekspresi yang khas. Perbedaan gender baru menjadi masalah jika perbedaan itu mengakibatkan ketimpangan perlakukan dalam masyarakat serta ketidakadilan dalam hak kesempatan bagi laki-laki dan terutama bagi perempuan.
Peran perempuan dalam budaya maritim di Waropen tidak terlepas dari perempuan itu sendiri di tengah-tengah keluarga masyarakat dan adat yang berlaku di dalam kehidupannya. Demikian halnya dengan peran perempuan Waropen, dimana perempuan Waropen dituntut dapat mengerjakan berbagai pekerjaan untuk menujang kelangsungan hidup keluargannya dan masyarakat sosial lainnya. Di dalam adat istiadat suku Waropen, perempuan bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangan keluarga. Berdasarkan hal tersebut maka ada pembagian kerja yang jelas diantara lakilaki dan perempuan, sesuai dengan adat istiadat yang berlaku di dalam kehidupan mereka.
Masyarakat Waropen menghendaki perempuan sebagai pendukung suami atau laki-laki. Perempuan harus dapat menghasilkan panen (hasil kebun), ikan, bia, dan membudidayakan sagu yang melimpah. Dia juga dituntut mampu mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya, serta melayani keluarganya. Karena fisik yang kuat, seorang perempuan mampu bekerja keras dan dapat memberikan kontribusi makanan yang melimpah kepada pertemuan-pertemuan adat.
Masyarakat Waropen dikenal sebagai masyarakat yang masih hidup dalam kesederhanaan dengan kebudayaannya yang asli. Hampir semua kebutuhan dan peralatan yang digunakan dibuat secara alami dari bahan yang ada di sekitar mereka. Matapencaharian hidup dapat dikatakan sebagian masih bergantung pada alam.
Bila dikaitkan dengan keadaan lingkungan dan budaya maritim di Waropen, wilayah Waropen merupakan wilayah yang memiliki sumberdaya perairan yang beraneka ragam, terdiri atas berpuluh-puluh sungai besar dan kecil yang penuh dengan ikan, udang, kepiting dan bahan pangan lainnya, sehingga mempengaruhi segala bentuk mata pencaharian mereka (Sanggenafa, 1993).
Pada masa lalu kehidupan masyarakat Waropen banyak berkaitan dengan air (sungai dan laut). Masyarakat Waropen mengenal budaya maritim yang dikaitkan dengan sistem pengetahuan, mengenai waktu, mempunyai konsepsi yang sangat jelas, karena pengetahuan ini berhubungan erat dengan kegiatan pencaharian (sami) dan pelayaran lokal. Tentang pengetahuan seperti ini, penduduk setempat mengenal secara baik tentang ratama dan wado. Ratama dalam pengetahuan tentang waktu diartikan dengan musim angin timur. Dalam situasi seperti ini lautan disekitar menjadi tenang. Awal dari keadaan ini selalu ditandai dengan munculnya burung raga (gheea) dari hutan pedalaman ke daerah pantai.
Pada saat seperti ini, dianggap paling baik untuk melakukan kegiatan sami, seperti menangkap ikan di laut atau sungai, mengumpulkan kerang dan kepiting, berburu dan sebagainya. Selain itu justru dinanti-nantikan oleh penduduk setempat terutama orang-orang tua untuk melakukan perjalanan jauh dengan menggunakan gha somandhu ke daerah-daerah lain, malah berlayar sampai ke Kabupaten Manokwari. Menurut perhitungan (penanggalan) penduduk setempat, ratama ini berlangsung antara bulan April sampai dengan bulan Juli.
Wado dalam pengetahuan tentang waktu diartikan dengan musim angin barat. Dalam situasi seperti ini, laut disekitar berombak. Awal dari musim ini ditandai dengan masuknya ghea dari pantai ke hutan pedalaman. Menurut penanggalan penduduk setempat, wado berlangsung antara bulan Agustus sampai dengan bulan Maret. Pada saat seperti itu, dianggap tidak tepat untuk melakukan sami maupun perjalanan ke daerah-daerah lain. Malah ditunggu-tunggu oleh orang-orang tua dirantau untuk melakukan perjalanan kembali.
Dengan wado ini, kegiatan ekonomi lebih banyak dialihkan kepada menokok sagu, berburu dan kegiatan-kegiatan di rumah. Selain pengetahuan tentang waktu di atas, penduduk setempat juga mengetahui dengan teliti dan jelas tentang perubahan-perubahan pasang surut air di laut maupun di kali. Dan pengetahuan berhubungan erat dengan kegiatan sami
Pengetahuan tentang bintang (Uma) berkaitan erat dengan kegiatan sami, penggunaan pengetahuan ini dengan melihat kepada bintang-bintang seperti gugusan/rasi bintang pari (sawa dan samamai), gugusan/rasi bintang kecil (ighowiritara), bintang malam (iombaibai) dan bintang pagi (sapari). Untuk menentukan musim, diperhatikan gugusan bintang sawa dan sasamaiserta rasi bintang ghowiritara. Apabila gugusan bintang sawa dan sasamai muncul {sawai sara) biasanya ini dianggap sebagai waktu yang paling tepat untuk melakukan kegiatan sami maupun pelayaran lokal.
Sebaliknya, apabila sawa dan sasamai berada dalam posisi menurun (sawai suni), merupakan waktu yang tidak cocok/tepat untuk melakukan kegiatan sami maupun pelayaran lokal, karena pada saat itu bertiup angin kencang (wado). Untuk pelayaran lokal pada waktu malam hari diperhatikan bintang ombaiba dan bintang sapari. Bintang ombaiba merupakan pedoman arah barat, sedangkan bintang sapari merupakan pedoman arah timur (Refasi dkk, 1982)
Pengetahuan tentang angin (ghama) bermanfaat untuk kepentingan pelayaran lokal dan kegiatan sami. Pengetahuan terhadap angin berhubungan erat dengan pasang surut air laut/kali, perbedaan siang dan malam serta perbintangan. Sejenis angin setempat adalah angin timur, (raghama), angin barat (mararo) serta angin lokal, yakni angin darat (fefe) dan angin laut (ghanasai). Untukkepentingan pelayaran lokal, digunakan angin timur (raghama). Sebaliknya pada saat bertiupnya angin barat (mararo) digunakan untuk kembali dari rantau. Untuk kepentingan menangkap ikan, digunakan angin darat (fefe) sebagai pengantar ke laut, dan sebaliknya angin laut (ghanasai) untuk pulangnya (Refasi, dkk, 1982).
Dalam aktivitas mata pencaharian hidup, untuk memudahkan perempuan Waropen pergi ke dusun sagu dan mencari ikan di laut atau sungai dan mengumpulkan kerang, mereka juga sangat membutuhkan alat transportasi berupa perahu. Membuat perahu merupakan keterampilan yang dimiliki oleh kaum pria tertentu. Ada dua macam perahu yang dibuat, yaitu perahu bercadik {gha) dan perahu tidak bercadik atau perahu sampan (sawodo). Bahan pembuat perahu ini diperoleh dari hutan setempat, yang terdiri dari jenis-jenis kayu finang (binano), kayu merah dan kayu minyak (sigha). Hasil yang diperoleh selain untuk dipakai, juga dijual. Sering dipakai pula sebagai alat pembayaran mas kawin (kayu merah atau maigheano).
Meramu sagu merupakan kegiatan terpenting dalam kehidupan orang Waropen sehingga untuk melakukan kegiatan tersebut ada aturan-aturan yang harus ditaati, baik yang berkaitan dengan kegiatan menokok maupun dalam hal membudidayakannya. Pantangan-pantangan tersebut misalnya bagi seorang wanita yang sedang menstruasi tidak diperbolehkan ikut dalam kegiatan menokok sagu, karena akan berdampak buruk jika hal tersebut dilanggar. Disamping itu juga dalam hal menebang pohon sagu, jika batang yang ditebang jatuh ke arah luar hutan sagu maka pada saat pemotongan pelepah yang pertama harus segera ditarik ke dalam hutan dengan tujuan agar pati yang ada tidak lari keluar.
Aturan lain seperti dalam kegiatan membudidayakan pohon sagu dimana bagi orang yang menanam pohon sagu, orang tersebut harus bersih, tidak boleh bersetubuh dengan isterinya atau suaminya, saat menanam harus berada pada arah yang berlawanan dengan sinar matahari untuk menghindari bayangannya masuk ke dalam lubang. Jika hal itu terjadi maka si penanam akan sakit. Setelah menanam orang tersebut tidak boleh mandi bahkan hasil panennya yang pertamapun si penanam tidak boleh memakannya. Aturan-aturan tersebut harus tetap ditaati untuk suatu keberhasilan.
Peran perempuan kaitannya dengan budaya maritim, perempuan Waropen mengikuti sistem pengetahuan waktu (wado), bintang (uma), angin (ghama), pengetahuan-pengetahuan tersebut bermanfaat untuk kepentingan pelayaran lokal dan kegiatan sami (kegiatan pencaharian). Melalui peran perempuan Waropen dalam budaya maritim, termuat nilai-nilai sosial-budaya yang berguna dalam kehidupan, yaitu nilai religius, gotong royong atau kerjasama, kemandirian, disiplin, kerja keras, kreatif, dan peduli lingkungan.