Selasa, 22 Januari 2019
perspektif
Hutan sebagai paru-paru dunia makin memiliki peran penting untuk menahan laju perubahan iklim yang dampaknya kian hari kian terasa. Di Indonesia saja, Bank Dunia mencatat rata-rata laju deforestasi dalam 25 tahun terakhir mencapai 1,1 juta hektar per tahun. Angka tersebut sekitar lima belas kali luas wilayah DKI Jakarta. Dengan kondisi seperti ini, seperti dilansir theconversation.com, perubahan iklim menjadi tantangan paling serius yang dihadapi bumi, karena mengatasinya menuntut perubahan yang paling fundamental tentang bagaimana manusia membangun dan meneruskan kebudayaan. Salah satu perubahan yang paling sulit dilakukan adalah meninggalkan ketergantungan pada bahan bakar fosil, yang menjadi sumber gas rumah kaca.
Dengan kondisi ini, pengelolaan hutan yang berkelanjutan menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Karena, konservasi hutan yang baik dan terus-menerus akan memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan sehingga semua bentuk ekosistem kehidupan yang ada di dalamnya dan terkait dengannya, termasuk generasi saat ini dan akan datang. Hal ini tidak hanya untuk melestarikan hutan alam yang tersisa, tapi juga mengembalikan dan meningkatkan kembali fungsi hutan yang telah kritis.
Di Indonesia, walau Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis (RHL) telah berjalan lebih dari empat dekade terakhir, laju perbaikan lingkungan tidak sebanding dengan degradasinya. Rehabilitasi hutan dan lahan kritis merupakan praktik penanaman kembali dan perawatan pada kawasan hutan yang mengalami penurunan fungsi ekologis, serta penghijauan dengan tanaman buah atau tanaman perkebunan di tanah milik masyarakat.
Peran pemerintah daerah pun menjadi krusial dalam penyelamatan hutan, terutama dalam menyeimbangkan usaha konservasi hutan dengan kegiatan ekonomi masyarakat yang menetap di sekitar wilayah hutan.
Di Mandailing Natal, pemerintah daerah bekerja sama Balai Konservasi di bawah Kementerian Lingkungan hidup dan Hutan (KLHK), mengadakan pelatihan untuk mengubah pola berkebun karet masyarakat agar lebih ramah lingkungan. Selama ini, masyarakat cenderung merambah hutan jika merasa pohon-pohon karet yang mereka tanam sudah tidak menghasilkan getah yang cukup untuk dijual. Melalui sejumlah pelatihan, masyarakat diajak mengubah pola sadap yang menjadikan pohon karet tetap memproduksi getah meski sudah berumur belasan bahkan puluhan tahun. Berkat program ini, secara perlahan, tingkat perambahan hutan di Mandailing Natal berkurang, karena masyarakat sadar, ada alternatif lain untuk menjaga tingkat pendapatan mereka tanpa harus masuk ke hutan.
Di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, wilayah yang 98 ribu hektar lahannya dinyatakan kritis, dilakukan kerangka analisis Governance Systems Analysis (GSA), untuk mendiagnosis hubungan antara tata kelola dan hasil pengelolaan SDA. Hasil analisis menyatakan jika reformasi tata kelola hutan dilakukan menyeluruh, secara tidak langsung itu akan mengurangi konsentrasi gas rumah kaca, atau menghasilkan penyesuaian individu.
Program-program yang dilakukan pemerintah daerah ini diharapkan menjadi contoh respons transformatif terhadap perubahan iklim yang bertujuan untuk mengatasi hambatan di tingkat kelembagaan dan perilaku masyarakat. Mendorong pergeseran yang mendasar sekaligus meningkatkan kesehatan hutan agar mampu menjalankan fungsinya sebagai penyerap karbon dengan ketangguhan ekosistem lahan yang dapat bertahan lama.
Artikel terkait:
https://id.wikipedia.org/wiki/Hutan_konservasi
https://ekonomi.kompas.com/read/2017/12/19/200000126/menteri-siti-sebut-realisasi-hutan-sosial-sudah-1-3-juta-hektar
https://nasional.kontan.co.id/news/klhk-libatkan-semua-pihak-menjaga-konservasi-hutan