Kamis, 24 Januari 2019
suara perempuan
Tempat kerja adalah salah satu tempat yang paling berisiko bagi perempuan untuk mengalami pelecehan seksual. Kasus yang belum lama ini mencuat di publik adalah apa yang menimpa Baiq Nuril, seorang guru di Lombok yang kerap menerima percakapan telpon mesum dari kepala sekolahnya H.Muslim. Baiq merekam percakapan itu sebagai bukti bahwa ia kerap mengalami pelecehan dari atasannya. Ketika seorang rekan menyebarkan rekaman elektronik tersebut, Muslim justru melaporkan Baiq ke polisi dengan tuduhan mentransmisikan rekaman elektronik berisi konten pornografi.
Kasus lainnya yang juga ramai diberitakan adalah apa yang diduga menimpa Rizky Amelia mantan karyawan BPJS. Rizki menyatakan dirinya telah mengalami perkosaan dan pelecehan seksual selama dua tahun dari atasannya, Syafri Adnan Baharuddin. Rizky pernah menjadi asisten pribadi Syafri yang menjabat Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan (kini nonaktif). Meskipun telah menunjukkan bukti-bukti tertulis pesan Syafri yang mengandung pelecehan terhadapnya, Rizky justru diskors dan diminta mengundurkan diri oleh pihak perusahaan karena dianggap telah mencemarkan nama baik institusi.
Kedua kasus ini kembali membuka percakapan di ranah publik mengenai pelecehan seksual yang kerap terjadi tempat kerja dan sayangnya jarang terungkap. Dengan melihat apa yang dialami oleh Baiq dan Rizky, sangat wajar jika banyak korban pelecehan seksual akan memilih diam. Pilihan melapor ternyata kerap menempatkan korban pada situasi yang tidak menguntungkan, karena budaya menyalahkan korban ternyata masih sangat kental pada masyarakat kita.
Sulit untuk mendapatkan data lengkap mengenai kasus-kasus pelecehan seksual di tempat kerja. Penelitian Perempuan Mahardhika (2015) mengungkapkan 56,5 persen dari 773 buruh perempuan di Indonesia menjadi korban pelecehan seksual. Sementara survey Majalah Cosmopolitan (2015) menyebutkan 1 dari 3 perempuan pernah mengalami tindakan pelecehan seksual di tempat kerja dengan rata-rata usia para korban ialah 18 hingga 34 tahun.
Berbagai bentuk pelecehan seksual di tempat kerja kerap terjadi baik dalam bentuk verbal atau kata-kata, sentuhan yang tidak diinginkan, sampai pemaksaan berhubungan badan. Hal ini biasanya terjadi karena adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban, dimana korban khawatir perkembangan kariernya bisa terhambat, bahkan bisa kehilangan pekerjaan bila dia menolak dan melawan pelaku.
Survei dari CareerBuilder menyatakan, 12 persen pekerja yang mengatakan bahwa mereka pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, 72 persen belum melaporkannya. Bahkan lebih dari setengah (54 persen) tidak menghadapi pelaku. Bagaimanapun, diam bukanlah pilihan yang baik untuk jangka panjang. Pelaku akan terus melakukan perbuatan yang sama kepada korban karena tidak mendapatkan sanksi apapun atas perbuatannya. Pelaku juga biasanya akan mencari korban-korban berikutnya. Lama kelamaan bisa terjadi budaya atau normalisasi pelecehan seksual di lingkungan kerja tersebut dimana pelaku bebas melakukan pelecehan seksual dan para korbannya merasa tak berdaya.
Jika Anda ataupun orang di sekitar Anda mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, pastikan untuk bertindak dan tidak diam. Melapor kepada pihak HRD, atasan yang lebih tinggi, atau organisasi seperti serikat pekerja adalah beberapa langkah yang dapat dilakukan. Pastikan untuk menyimpan bukti-bukti pelecehan jika ada, untuk memperkuat laporan Anda. Jika Anda menyaksikan rekan di sekitar Anda mengalami pelecehan seksual, pastikan untuk memberikan dukungan moril kepadanya dengan bersedia bersaksi mendukungnya atau menegur pelaku bila memungkinkan.
Siapapun Anda, perempuan dan laki-laki, Anda bisa dan wajib ikut serta dalam upaya penghapusan pelecehan seksual di tempat kerja. *
Artikel terkait:
http://mediaindonesia.com/read/detail/198087-soal-kasus-baiq-nuril-fahri-ma-tidak-boleh-buta
https://news.detik.com/kolom/d-4322559/kasus-baiq-nuril-dan-kacaunya-hukum-kita
https://www.idntimes.com/opinion/social/priscilla-6/opini-kekerasan-seksual-pada-perempuan-salah-siapa-c1c2