Minggu, 03 Febuari 2019
suara kebangsaan
Sejak era reformasi, tahun baru imlek diperingati secara meriah di Indonesia. Pemerintah juga menetapkannya sebagai hari libur nasional. Hal ini merupakan suatu langkah maju kita sebagai bangsa, setelah selama masa pemerintahan orde baru kelompok masyarakat Tionghoa tidak dapat merayakan imlek secara terbuka.
Namun dua tahun terakhir ini gejala intoleransi cenderung meningkat. Salah satunya karena sering sekali sentimen ras dan agama digunakan sebagai senjata pada pertarungan politik, antara lain yang kita saksikan pada panggung politik pilkada Gubernur DKI Jakarta 2017 lalu. Anies Baswedan bahkan mempergunakan kata ‘pribumi’ di dalam pidato pertamanya sebagai gubernur DKI Jakarta, dan banyak pihak menghubungkannya dengan kemenangannya atas gubernur sebelumnya Basuki Tjahaya Purnama yang keturunan Tionghoa.
Tahun baru Imlek ke 2570 memiliki simbol babi, yang artinya penampakan binatang ini akan marak selama musim perayaan. Padahal di sisi lain, babi adalah binatang yang dianggap kotor dan dijauhi oleh umat Islam. Bagaimanapun gambar babi yang muncul sebagai dekorasi biasanya dalam bentuk yang lucu dan menggemaskan, sehingga tidak menimbulkan perasaan jijik dan penolakan. Namun berdasarkan pemberitaan BBC (1 Februari 2019), sejumlah pihak mulai melancarkan protes seputar perayaan tahun baru Imlek kali ini.
Forum Muslim Bogor organisasi Islam konservatif di Jawa Barat telah mengeluarkan surat edaran yang menuntut pembatalan perayaan. Mereka menyatakannya sebagai ‘tidak pantas’ bagi kalangan Muslim karena bisa ‘mengganggu keimanan Islam.’ Langkah mereka ini diikuti kelompok-kelompok lain seperti Pemuda Pancasila (PP) dan Persatuan Forum Komunikasi Pemuda Melayu (FPKPM).
Meskipun demikian Menteri Agama Republik Indonesia, Lukman Hakim Syaifuddin telah mengundang seluruh pihak untuk menghormati tradisi dan peringatan Imlek tahun ini, bagaimana pun persepsi yang mungkin muncul seputar perayaan ini. Pernyataan ini tentu penting secara politis, karena ini juga mewakili sikap pemerintah.
Di tengah situasi meningkatnya intoleransi seperti saat ini, dukungan atas kebebasan merayakan Imlek tahun ini menjadi kian mendesak. Apa yang terjadi pada saat Pilkada DKI Jakarta 2017 yaitu kentalnya penggunaan sentimen ras dan agama menjadi preseden buruk dalam sejarah bangsa Indonesia perihal keberagaman. Padahal masih banyak juga luka bangsa ini yang belum rampung terkait isu etnis seperti yang terjadi pada kerusuhan dan perkosaan 1998 menjelang reformasi.
Tahun baru imlek ini merupakan salah satu momentum yang bisa dimanfaatkan oleh setiap warga Indonesia, apapun latar belakang agama dan suku mereka untuk mulai melakukan sesuatu dalam mendukung keberagaman di Indonesia. Dalam skala kecil, kita bisa ikut mengucapkan selamat, menjalin tali persahabatan dengan mengantarkan makanan, ikut serta dalam perayaan bersama dan menyebarkan pesan keberagaman tersebut melalui media sosial. Hal-hal sederhana itu dapat dilakukan bila kita percaya bahwa setiap kita adalah agen perubahan dan bisa mempengaruhi setidaknya lingkaran terkecil di sekitar kita.
Keimanan –apapun agama dan kepercayaan kita—tidak akan luntur hanya karena ikut merayakan hari besar agama lain. Pikiran seperti itu sesungguhnya terlalu dangkal dan memandang rendah diri serta keyakinan kita sendiri yang telah kita pupuk sekian lama dengan berbagai cara. Justru sebaliknya, setiap agama justru menganjurkan pemeluknya untuk mampu menghargai orang lain yang berbeda. Orang yang bisa hidup bahagia bersama dengan orang-orang lain yang berbeda, sesungguhnya tengah menjalankan salah satu bentuk anjuran dari ajaran agamanya sendiri.
Tahun baru babi, atau apapun itu tidak akan berpengaruh buruk apapun kepada iman umat Muslim atau umat lainnya. Perayaan tahun baru imlek kali ini justru harus menjadi momentum penting bagi perayaan keberagaman umat beragama di Indonesia. ***
Artikel terkait:
https://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_Baru_Imlek
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-47106851
https://tirto.id/rasisme-terhadap-etnis-tionghoa-dari-masa-ke-masa-bZQN