Jum'at, 15 Febuari 2019
suara perempuan
Salah satu problem yang dihadapi perempuan dalam dunia profesional adalah kelangkaan perempuan yang belajar dan bekerja di bidang sains, atau yang lebih luas lagi STEM (sains, teknologi, engineering atau ilmu teknik, dan matematika). Untuk memahami fenomena ini, The American Association of University Women mengeluarkan laporan studi yang bertajuk “Why So Few?” yang meneliti tentang mengapa lebih sedikit perempuan yang bekerja di bidang STEM. Silicon Valley, misalnya, mempekerjakan lebih banyak laki-laki daripada perempuan di pekerjaan yang berkaitan dengan teknologi. Studi juga menguatkan gambaran ini, bahwa hanya seperlima PhD jurusan fisika yang berjenis kelamin perempuan.
Di Indonesia pun tak jauh berbeda. Ketimpangan gender dalam sains masih menjadi masalah. Jumlah perempuan peneliti di Indonesia, menurut dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hayati ITB, seperti dikutip BeriTagar, baru 30 persen dari total peneliti di Indonesia. Yang mengejutkan, angka tersebut lebih bagus dibandingkan Jepang yang jumlah peneliti perempuan hanya 15 persen dari jumlah total peneliti, dan hanya 2 persen dalam bidang teknik. Padahal perwujudan kesetaraan gender dalam sains sangat diperlukan untuk memperkaya sudut pandang terhadap masalah yang diteliti.
Peneliti Christianne Corbett dari lembaga tersebut, seperti dikutip Voice of America, mengatakan di hampir semua negara, kecuali Islandia dan Thailand, lebih banyak anak laki-laki yang memperoleh nilai Matematika sangat tinggi dibanding dengan anak perempuan. Menurut Direktur Eksekutif Bayer Amerika Serikat, Rebecca Lucore, penelitian sejenis yang dilakukan perusahaan Campos untuk perusahaan Bayer di Amerika Serikat juga menemukan hasil yang hampir sama. Penelitian yang dilakukan atas lebih dari 1000 perempuan dan anggota minoritas dari American Chemical Society mengungkapkan 70 persen mengaku tidak banyak perempuan dan kelompok minoritas bekerja di bidang-bidang STEM.
Menurut penelitian, faktor budaya dan lingkungan menyebabkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam bidang STEM. Ketertarikan pada sains sendiri dimulai pada usia dini–disebutkan sebelum usia 11 tahun. Karena itu perlu diadakan program yang benar-benar menghadirkan sains kepada anak-anak di sekolah dasar. Hal ini penting dilakukan karena memperluas dan membangun tenaga kerja dalam bidang sains dan teknik akan memperbaiki inovasi, produktivitas, dan daya saing sebuah negara.
Belum ada bukti sahih yang menunjukkan bawaan biologis menyebabkan sedikitnya perempuan dalam pekerjaan di bidang STEM. Tapi sebagian besar psikolog percaya pada gagasan umum bahwa tingkat hormon pada masa sebelum kelahiran dan awal pasca kelahiran seperti testosteron dan androgen (keduanya dimiliki laki-laki mempengaruhi psikologi manusia, demikian dikutip The Conversation Indonesia. Studi-studi mengenai ini menunjukkan bahwa paparan hormon androgen di masa pembentukan memiliki efek maskulin terhadap preferensi dan perilaku anak, termasuk juga kemungkinan memberikan efek pada kemampuan spasial serta tingkat respons terhadap informasi perilaku tertentu. Laki-laki cenderung lebih baik pada sebagian besar tes kemampuan spasial, terutama tes yang secara mental memutar objek tiga dimensi. Sementara keterampilan ini merupakan hal yang penting di bidang STEM.
Saat menentukan bidang pekerjaan, seseorang biasanya memilih berdasarkan minat dan kemampuan mereka. Penelitian juga menunjukkan secara umum perempuan lebih tertarik pada orang, sementara laki-laki tertarik pada benda. Selama pekerjaan-pekerjaan di bidang STEM lebih berkenaan dengan benda ketimbang orang, maka laki-laki pun disebutkan lebih tertarik kepada pekerjaan tersebut, dibandingkan perempuan. Perempuan juga menempatkan prioritas lebih tinggi untuk bekerja dengan dan membantu orang lain. Sementara itu, pekerjaan di bidang STEM pada umumnya tidak menyediakan banyak kesempatan untuk memenuhi kebutuhan ini. Perlu mempertimbangkan pola pergaulan dan stereotip gender. Ketika lahir, anak belum berkembang karena itu orangtua dan masyarakat mengajarkan berbagai kode-kode sosial yang membentuk kepribadian dan keterampilan. Sosialisasi yang konvensional berpotensi membuat anak-anak memilih karier yang juga konvensional.
Di Indonesia, keengganan perempuan memilih pekerjaan di bidang sains karena berbenturan dengan urusan domestik. Karena itu dukungan dari keluarga dan sahabat menjadi salah satu motivasi terbaik bagi perempuan untuk menjalankan karier di bidang sains. Dukungan pun bisa dilakukan dengan memberikan komitmen yang membantu perempuan. Misalnya, memberikan waktu kerja yang fleksibel untuk perempuan, menyediakan fasilitas yang membantu perempuan untuk memenuhi kewajiban sebagai seorang perempuan seperti nursery room di kantor-kantor.
Penelitian mengungkapkan perempuan umumnya harus memenuhi standar yang lebih tinggi untuk mendapatkan pekerjaan dan pengakuan di bidang yang maskulin dan didominasi laki-laki. Kabar yang menggembirakan, baru-baru ini ditemukan perempuan lebih berpeluang direkrut di institusi penelitian bidang STEM di Amerika Serikat. Kandidat pencari kerja berjenis kelamin perempuan yang berkualifikasi lebih berpeluang diwawancarai dan menerima tawaran pekerjaan dibandingkan kandidat laki-laki.
Dalam setiap hal selalu ada tumpang-tindih antara perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Baik penelitian sains yang fokus pada orientasi bawaan atau pengasuhan tidak bisa sepenuhnya menjelaskan mengapa jumlah perempuan lebih sedikit dalam bidang STEM, demikian pula tak ada bukti sangat valid bahwa kemampuan dan minat yang berkaitan dengan teknologi berasal dari biologi. Karena itu perlu sikap yang seimbang dan terbuka untuk bisa menerima kemungkinan baik pengaruh biologis maupun sosial terhadap minat dan karier di bidang STEM agar lebih banyak diisi oleh perempuan.
Artikel terkait :
https://tirto.id/yang-langka-di-dunia-kerja-sains-dan-teknologi-perempuan-cFns
http://theconversation.com/gender-dalam-sains-di-indonesia-mengapa-kesenjangan-penting-diturunkan-106414
https://tekno.kompas.com/read/2015/04/21/16573077/Kenapa.Perempuan.Harus.Berperan.dalam.Teknologi.