Selasa, 05 Maret 2019
perspektif
Pekerja rumahan, istilah bagi mereka yang bekerja pada home industry, sampai sekarang masih masuk kategori pekerja yang rentan terhadap pemutusan hubungan kerja dan hak-hak mereka belum terlindungi dengan baik.
Menurut International Labour Organization (ILO), pekerja rumahan adalah pekerja yang bekerja di rumahnya atau di tempat lain pilihannya, selain tempat kerja pemberi kerja untuk mendapatkan upah yang menghasilkan suatu produk atau jasa ditetapkan oleh pemberi kerja, terlepas dari siapa yang menyediakan peralatan, bahan atau input lain yang digunakan.
Seperti dikutip dari kompas.com, di Indonesia nasib pekerja rumahan yang hingga saat ini belum menentu disebabkan oleh belum adanya peraturan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) untuk mengatur hak dan kewajiban mereka secara komprehensif. Ahli Hukum Ketenagakerjaan Juanda Pangaribuan mengatakan pemerintah melalui Kemenaker bisa memperbaiki kondisi ini dengan mengeluarkan peraturan tentang pekerja rumahan sehingga mereka dipayungi aturan yang memberi jaminan kondisi kerja yang jelas dan lebih baik. Karena dengan adanya aturan itu, pengusaha rumahan mengakui bahwa orang-orang yang mereka pekerjakan adalah pekerja.
Juanda menjelaskan, setiap orang yang melakukan sebuah pekerjaan sebagai pekerja maka hak-haknya akan muncul secara otomatis. Antara lain berupa jaminan sosial, jaminan kesehatan, dan perlindungan terhadap kecelakaan kerja. Sayangnya, kondisi dan realita berbanding terbalik. Saat ini masih banyak pekerja rumahan yang menerima upah di bawah Upah Minimal Regional UMR), dan dengan alasan bisnis sedang tidak baik, upah tersebut bisa saja diterima tidak tepat waktu atau bahkan dicicil. Jika Permenaker soal pekerja rumahan diterbitkan, praktik-praktik yang merugikan ini tentu dapat dikurangi bahkan teratasi sama sekali. Dengan kata lain, siapapun yang menggunakan pekerja rumahan dan tidak memenuhi hak dan kewajibannya dapat dikenai sanksi dan hukuman karena cara mereka menjalankan usaha telah bertentangan dengan prinsip hukum ketenagakerjaan.
Saat ini, lanjut Juanda, perlindungan hukum nyaris tidak ada kepada pekerja rumahan. Tidak ada perusahaan atau pengusaha yang menyertakan mereka secara aktif dalam perlindungan kerja. Kalau Permenaker tidak lahir, maka praktik pekerja rumahan akan terus seperti yang ada sekarang dan mungkin bisa menjadi lebih parah. Misalnya, kegiatan manufaktur pabrikan bisa dengan leluasa dilakukan di rumah-rumah, karena keuntungannya jauh lebih besar, karena pengusaha tidak perlu membayar listrik dan air, bahkan tidak perlu bayar upah lembur pekerja mereka.
Meski peraturan perlindungan pekerja rumahan belum diterbitkan, pengusaha rumahan tetap bisa berperan memperbaiki keadaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan pekerjanya. Hal ini bisa dimulai dengan mengumpulkan data tentang pekerja rumahan mereka. Selanjutnya mereka bisa mengidentifikasi pekerja rumahan sebagai pekerja. Jangan lupa untuk memberikan perlindungan sosial yang layak, setidaknya dengan mendaftarkan mereka BPJS kesehatan, sehingga mereka lebih nyaman bekerja karena mendapatkan hak terhadap akses ke fasilitas kesehatan yang layak, dan hal-hal yang berhubungan dengan kecelakaan kerja dapat ditangani secara professional dan sesegera mungkin. Pastikan juga lingkungan kerja menerapkan kesetaraan gender dan non-diskriminatif, dengan tidak membedakan perlakukan antara pekerja perempuan dan laki-laki.
Artikel terkait:
http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/PPKN/article/view/53463
https://www.rmol.co/read/2015/06/05/205260/Inilah-Prinsip-Perlindungan-Hukum-Usaha-Kecil-Menengah-
https://ekonomi.kompas.com/read/2016/09/14/161410326/ini.kebijakan.pemerintah.untuk.kembangkan.industri.kecil.menengah.