Berita

Omnibus Law dari Perspektif Anggota Badan Legislatif DPR

Rabu, 19 Febuari 2020 feed

Tulisan berikut merupakan salah satu pemikiran dari Anggota Badan Legislatif DPR dalam sebuah acara di Balai Sidang UI, Kamis, 6 Februari 2020.

Omnibus law merupakan metode atau konsep pembuatan peraturan yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan besar. Ketika peraturan itu diundangkan berkonsekuensi mencabut beberapa aturan yang telah berlaku sebelumnya, baik untuk sebagian maupun secara keseluruhan.

Penerapan omnibus law ini lazimnya dikenal di negara yang menganut sistem commond law seperti Amerika Serikat, Filiphina, Australia, dan Inggris serta beberapa negara lain.

Dalam konsep omnibus law memungkinkan terbentuknya rancangan undang-undang terpadu (omnibus bill) yang berisi perubahan bahkan penggabungan beberapa undang-undang sekaligus.  Usulan omnibus biasanya di sampaikan oleh pemerintah kepada parlemen untuk mendapatkan persetujuan dalam pengambilan keputusan.

Dari 50 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk dalam prolegnas (Proglam Legislasi Nasional) ada 4 (empat) omnibus law yakni; (1) RUU Tentang Ibu Kota Negara, (2) RUU Tentang Keafarmasian, (3) RUU Tentang Cipta Lapangan Kerja, dan (4) RUU Tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan Untuk Penguatan Perekonomian

DPR dalam menyikapi suatu Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden (Pemerintah) seperti usulan omnibuslaw harus senantiasa memperhatikan beberapa hal antara lain; Pertama, RUU Omnibus Law tersebut harus berpedoman pada Pancasila sebagai landasan Filosofis (staatfundamentalnorm). Kedua, RUU Omnibus Law tersebut harus berpedoman pada Konstitusi Negara yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional yuridis. Ketiga, RUU Omnibus Law tersebut harus berpedoman pada Peraturan PerundangUndangan yang terkait dengan kaedah serta norma pembentukan peraturan perundang-undangan.

Proses Pembentukan Undang-Undang (Law-Making Process): (1) Inisiatif Pengajuan Rancangan Undang-Undang Omnibuslaw diusulkan Oleh Presiden (Pemerintah) atau DPR; (2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan bersama-sama antara Presiden dan DPR; (3 Persetujuan Rancangan Undang-Undang dilakukan di tingkat II Paripurna untuk disahkan; (4) Pengesahan Rancangan Undang-Undang Menjadi Undang-Undang; (5) Pengundangan Dalam Lembaran Negara

Kelebihan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja: (1) Pembahasannya bersifat multisektoral dan menggabungkan banyak undang-undang sehingga waktu pembahasan yang diperlukan lebih cepat dibandingkan dengan mengubah undang-undang tesebut satu persatu;

(2) Omnibus law cocok diterapkan di negara yang regulasinya saling tumpang tindih, hyper regulasi, & disharmoni. Tujuan penerapan Omnibus Law adalah untuk menjawab dua hal sekaligus yaitu efisiensi hukum dan harmonisasi hukum;

(3) Karena menggabungkan banyak undang-undang untuk dibahas dari satu RUU, maka Efesiensi Anggaran Negara Dalam Proses Penyusunan Undang-Undang dapat tercapai;

(4) Omnibus law Cipta Lapangan Kerja harus menciptakan instrumen kemudahan berusaha tidak hanya menguntungkan investor, baik asing maupun dalam negeri, namun juga para wirausaha yang baru tumbuh, yang sesuai dengan arus perkembangan generasi baru yang lebih memilih menjadi wiraswasta mandiri (startup)

Kekurangan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja: Pertama, Bila diterapkan di indonesia dikhawatirkan tidak sejalan dengan sistem hukum indonesia yang menganut civil law system, mengingat konsep omnibus law lebih dikenal penerapannya di negara yang menganut common law system.

Kedua, dengan sifat pembahasan yang cepat dan merambah banyak sector Omnibus Law dikhawatirkan akan mengenyampingkan pedoman tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang demokratis yaitu memungkinkan mempersempit keterbukaan dan partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang.

Ketiga, Memungkinkan dipangkasnya kewenangan DPR sebagai pembentuk UU yang demokratis serta hasil dari pembahasan tersebut rentan mengalami uji materi (judicial review) karena sifatnya yang cenderung tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam proses pembentukan dan sangat singkat.

Kesimpulannya: Pertama, dengan adanya tumpang tindih peraturan, hyperegulasi, dan disharmonisasi regulasi selama ini membuktikan bahwa indonesia sesungguhnya memang membutuhkan terobosan baru dalam penyederhanaan dan pengharmonisasian yang efektif melalui konsepsi Omnibus law

Kedua, Penerapan konsep omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia harus dilakukan secara cermat dan hati-hati dengan memperhatikan prinsip sebagai berikut; (1) sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi; (2) sesuai dengan peraturan perundangan yang mengatur tentang penyusunan regulasi; (3) tetap menghormati kewenangan masing-masing lembaga yang terlibat dalam penyusunan regulasi.

Saran yang diberikan: (1) Dalam menyusun Omnibuslaw yang di dalamnya mencakup banyak undang-undang, diharapkan baik pemerintah maupun DPR memberikan jangka waktu pembahasan yang rasional untuk semua pihak dapat turut serta menelaah, mengkaji, dan berkontribusi dalam penyusunannya.

(2) Dalam melakukan penyusunan dan pembahasan RUU Omnibuslaw ini, harus dilibatkan unsur masyarakat sipil dan seluruh pemangku kepentingan sebagai bentuk pemenuhan hak masyarakat dalam menyusun kebijakan publik.

(3) RUU Omnibus law cipta lapangan kerja ini diharapkan dapat mempertegas peran pemerintah dalam penguasaan sumber daya ekonomi nasional bagi kepentingan hajat hidup masyarakat Indonesia