Selasa, 27 Oktober 2020
seminar kebangsaan, nilai kebangsaan, Muesum
Museum harus hadir sebagai institusi yang mampu mempertahankan entitas budaya dan sejarah bangsa untuk menjawab realita dan tantangan kebangsaan saat ini.
"Ada 11.000 jurnal ilmiah di dunia yang mengungkap peran museum terhadap kesadaran sejarah dan budaya bagi masyarakatnya. Jadi secara ilmiah sudah diakui peran museum sangat penting untuk meningkatkan kesadaran sejarah dan budaya sebuah negara," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat menjadi pembicara kunci pada Focus Group Discussion (FGD) bertema Posisi Museum dalam Merawat Nilai Kebangsaan, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 dan Yayasan Mitra Museum Jakarta serta Museum Sejarah di kawasan Kota Tua, Jakarta, Selasa (27/10).
Diskusi yang dipandu Luthfi Assyaukanie, Ph.D (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu, menghadirkan Putra Nababan (Anggota Komisi X DPR RI), Letjen (Purn) Agus Widjojo (Gubernur Lemhanas), Amir Sidharta (Pendiri Yayasan Mitra Museum Jakarta), Nathania B. Zhong (Yasasan Anak Indonesia Bersatu - Yayasan Mitra Museum Jakarta) sebagai narasumber.
Selain itu, juga hadir Dr. Atang Irawan, S.H., M.H (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI) memberikan pengantar perspektif ketatanegaraan dan sejumlah jurnalis, akademisi, serta praktisi dalam pengelolaan museum.
Menurut Lestari, museum berperan sangat penting bagi edukasi para pengunjung yang ingin mengetahui sejarah bangsa Indonesia, yang diujungnya diharapkan mampu meningkatkan nilai-nilai kebangsaan warga negara.
Peran museum, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, tidak lagi seperti dibayangkan banyak orang sekadar tempat penyimpanan benda-benda antik, kuno, dan bersejarah, serta arsip-arsip tentang masa silam.
Museum yang berisi koleksi perjuangan bangsa Indonesia, menurut Rerie, juga berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan kebangsaan, khususnya tentang wawasan nusantara dan pembangunan kembali karakter bangsa.
"Dengan peran seperti itu museum memiliki peran strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," ujar Legislator Partai NasDem itu.
Menurut Rerie, museum dapat memainkan peran ke arah peningkatan kehidupan bangsa dan negara yang lebih cerdas, dengan kepribadian dan karakter lebih tangguh, sehingga dapat memiliki ketahanan nasional dan pandangan dunia komprehensif serta utuh tentang wawasan kebangsaan.
Museum, jelas Rerie, juga dapat dijadikan sumber pembelajaran yang dirancang untuk membantu peserta didik dalam memahami teori secara mendalam melalui pemanfaatan media audio visual berupa benda-benda peninggalan sejarah, arsip atau berbentuk tayangan audio visual tentang peristiwa-peristiwa sejarah seperti film dokumenter sejarah.
Tantangan ke depan, menurut Rerie, harus diupayakan museum-museum yang ada di Indonesia mampu menarik perhatian masyarakat dengan bebagai inovasi, sehingga fungsi museum yang mampu meningkatkan kepedulian terhadap budaya dan sejarah bangsa dapat dimaksimalkan.
Agar berhasil membentuk museum yang menarik, menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, harus ada manajeman yang profesional dan investasi infrastruktur yang memadai terhadap museum.
"Pengelolaan museum dalam bentuk Badan Layanan Umum mungkin bisa mendorong pengelolaan museum yang lebih profesional," ujar Nadiem.
Gubernur Lemhanas Agus Widjojo berpendapat agar pengelolaan museum lebih berkelanjutan jangan hanya berharap pembiayaannya dari penjualan tiket semata. Kreativitas dalam pembuatan cinderamata dan buah tangan, menurut Agus, bisa menjadi sumber pembiayaan dalam pengelolaan museum.
"Selain pendanaan, tantangan terbesar dalam pengelolaan museum adalah menciptakan konten yang kreatif sehingga museum selalu menarik bagi masyarakat," ujar Agus.
Pada kesempatan yang sama, pendiri Yayasan Mitra Museum Jakarta, Amir Sidharta menyoroti peran museum untuk memaknai rangkaian sejarah sebuah bangsa.
Pada peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda misalnya, jelas Amir, dipahami secara sederhana sebagai
menyuarakan persatuan dalam satu Tanah Air, satu bangsa dan satu bahasa sebaiknya ditinjau kembali sebagai upaya mengedepankan semangat antikolonialisme, yang didasarkan pada rasa hormat akan kekayaan budaya kita, yaitu keberagaman.
"Semangat ini yang bisa dijalankan oleh museum-museum Indonesia di ambang abad ke 21," ujar Amir.
Pada akhirnya, tegas Amir, kita kembali pada gagasan permuseuman yang bertujuan untuk menyingkap persamaan dan kerja sama budaya-budaya, ketimbang superioritas nasionalistik/etnosentrik yang seringkali malah membentuk ekslusivitas yang sempit.
Amir menilai, museum lahir di dunia sebagai bagian dari perangkat kolonialisme dan imperialisme. Tetapi, tegasnya, bangsa kita yang sudah susah payah memerdekakan diri sebaiknya tidak terperangkap dalam gaya kolonial baru dalam kemasan patriotisme.
"Kita boleh bangga atas keindahan batik kita misalnya, namun alangkah baiknya jika kita mengingatkan bahwa perkembangan batik kita, didukung perdagangan dan interaksi antar budaya internasional," ujarnya.
Pada akhirnya, tegas Amir, kita kembali ke makna museum, yang akar katanya 'muse' adalah untuk memberikan inspirasi, bukan meneruskan pembelokan fungsi untuk menjadi alat propaganda kepentingan golongan tertentu saja.*