Berita

Tata Kelola Vaksinasi Covid-19 Harus Cermat Cegah Terhambatnya Program Vaksinasi Nasional

 

Tata kelola vaksinasi nasional harus diterapkan secara cermat dan terukur, mencegah terhambatnya vaksinasi Covid-19 di tanah air.

"Kita semua menyadari vaksin memiliki masa pakai yang terbatas. Di sisi lain masyarakat di tanah air belum sepenuhnya menerima program vaksinasi Covid-19 ini, sehingga perlu pengaturan yang terukur dalam pengaplikasian vaksin secara nasional," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulisnya, Selasa (25/5).

Indonesia kedatangan lagi vaksin Covid-19 tahap ke-13, sebanyak 8 juta dosis vaksin Sinovac dalam bentuk bahan baku (bulk) di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) Cengkareng, Banten, Selasa (25/5). Dengan penambahan  tersebut, total vaksin Covid-19 yang dimiliki Indonesia saat ini mencapai 83,9 juta dosis vaksin.

Menurut Lestari, jumlah tersebut belum sepenuhnya aman, mengingat target masyarakat yang akan divaksinasi direncanakan 181,55 juta orang. 

Dengan memperhitungkan bahwa satu orang membutuhkan dua dosis vaksin serta memperhatikan panduan Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk menyiapkan 15 persen vaksin cadangan, pemerintah memperkirakan total vaksin yang diperlukan sekitar 426 juta dosis.

Meski begitu, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, penambahan pasokan vaksin Covid-19 secara reguler dari berbagai produsen vaksin dengan prosedur pengawasan yang ketat oleh pemerintah merupakan langkah yang patut diapresiasi, di tengah kebutuhan vaksin Covid-19 dunia yang sangat tinggi di setiap negara.

Menurut Rerie, yang tidak kalah penting dalam proses vaksinasi Covid-19 secara nasional ini adalah kesiapan dari masyarakat dan para pelaksana vaksinasi tersebut.

Karena, jelas anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, ketidaksiapan masyarakat dan para pelaksana vaksinasi Covid-19 itu berpotensi menghambat proses vaksinasi dan kegagalan pencapaian target.

Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada akhir Maret lalu mencatatkan persentase warga DKI Jakarta yang menolak vaksinasi Covid-19 paling tinggi di Indonesia, yakni 33%. Disusul Jawa Timur dengan 32%, lalu Banten 31%. Sementara persentase terendah penolakan untuk divaksin ditemukan di Jawa Tengah, yakni 20%.

Belum lagi, jelas Rerie, mulai terjadi penyimpangan para pelaksana vaksinasi di lapangan yang berpotensi menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap program vaksinasi nasional yang digelar pemerintah.

Menurut Rerie, pengadaan vaksin harus sejalan dengan upaya untuk mempersiapkan masyarakat dan petugas pelaksana vaksinasi agar program tersebut berjalan sesuai rencana.

Untuk mewujudkan hal itu, Rerie berpendapat, langkah sosialisasi terkait vaksinasi harus masif dan peningkatan kepatuhan terhadap regulasi dari para pelaksana vaksinasi di lapangan harus secara konsisten dilakukan.

Keraguan masyarakat terhadap tingkat keamanan vaksin, menurut Rerie, masih menjadi alasan yang sering dilontarkan masyarakat saat  menolak vaksinasi Covid-19.

Pemberitaan terkait dampak vaksinasi Covid-19, ujarnya, harus mendapatkan klarifikasi yang memadai sehingga masyarakat benar-benar paham bahwa vaksinasi aman.

Rerie menegaskan, dengan seimbangnya antara kelancaran pasokan vaksin dan pemahaman serta kepatuhan masyarakat dan petugas pelaksana vaksinasi Covid-19, diharapkan pencapaian kekebalan kelompok bisa terbentuk sesuai rencana dan Covid-19 di tanah air bisa segera terkendali.*