Berita

Pesta Demokrasi Harus Menjujung Tinggi Kesetaraan dan Keadilan

 

Pesta demokrasi 2024 seyogiyanya menjadi tonggak sejarah yang mampu memberi warna bahwa demokrasi itu lekat dengan kesetaraan dan keadilan. 

"Secara subyektif saya menilai kondisi menjelang pesta demokrasi tahun depan, perjuangan mewujudkan keterwakilan 30% perempuan di parlemen menjadi agak sulit, karena ada perubahan peraturan KPU di tengah proses pencalonan legislatif yang sudah berjalan," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Menyambut Pesta Demokrasi 2024, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (20/9). Diskusi yang dimoderatori Luthfi Assyaukanie, Ph.D (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Saan Mustofa (Wakil Ketua Komisi II DPR RI) dan Titi Anggraini (Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi /Perludem) sebagai narasumber. Selain itu hadir pula Dr. Asep Setiawan, M.A (Anggota Dewan Pers), sebagai penanggap. 

Berita Terkait - Rerie: Pemilu Bukan Ajang Perpecahan Demi Kekuasaan

Menurut Lestari, demokrasi merupakan sebuah sistem politik yang memberikan penghormatan pada kemanusiaan dan kesetaraan. Sehingga, tambah Rerie, sapaan akrab Lestari, berdemokrasi sesungguhnya merupakan salah satu kanal perwujudan nilai-nilai kemanusiaan dan kesetaraan. 

Lebih jauh, Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu berpendapat, pesta demokrasi bisa menjadi pelajaran penting bagi masyarakat bahwa lawan politik dalam berkompetisi, bukan berarti musuh politik. "Pemahaman ini harus menjadi perhatian kita bersama," ujar Rerie, yang juga anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu. Apalagi, ujar Rerie, demokrasi adalah sebuah proses yang berkelanjutan dan bertanggung jawab, dengan tujuan utama untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Saan Mustofa berpendapat, sampai hari ini kita percaya bahwa demokrasi merupakan pilihan sistem untuk mewujudkan kesejahteraan suatu negara. Sehingga, kata Saan, kita harus terus menjaga, merawat, mengembangkan demokrasi yang berkualitas, sehingga cita-cita tentang kesejahteraan, keadilan dan kesetaraan bisa diwujudkan. 

Dalam proses menjaga dan merawat, ujar Saan, tahun depan ada pesta demokrasi dalam bentuk pemilu presiden dan wakil presiden, pemilihan legislatif, serta pilkada secara serentak. Menurut Saan, Pemilu 2024 merupakan momentum  untuk menjawab berbagai persoalan demokrasi yang kita hadapi saat ini. Bila ingin melihat apakah demokrasi kita sehat dan berjalan dengan baik, jelas Saan, bisa dilihat dari seberapa besar negara terlibat dalam setiap tahapan proses pemilu. Saan berharap, Pemilu 2024 dapat melahirkan pemimpin yang memiliki komitmen menjaga demokrasi  yang sehat dan tumbuh berkualitas. 

Anggota Dewan Pers, Asep Setiawan berpendapat untuk mengukur kualitas demokrasi bisa dilihat dari dua hal yaitu prosesnya dan hasil dari proses demokrasi tersebut. Pada Pemilu 2014 dan 2019, ujar Asep, proses demokrasi Indonesia sejak awal sudah bermasalah dari sisi manajemen penyelenggaraan pemilu. Indonesia, jelas Asep, sudah menerapkan konsep one man, one vote atau satu individu, satu suara dalam pemilu, tetapi dalam manajemen pemilu tampaknya harus ditata kembali agar terbentuk manajemen pemilu yang lebih akuntabel dan mewujudkan pemilu yang berkualitas. 

Sementara itu, Asep menilai, dilihat dari hasilnya  Pemilu 2019 misalnya, menghasilkan sejumlah anggota kabinet dan anggota legislatif yang masih banyak masalah. Dalam proses demokrasi, jelas Asep, hasil yang sesungguhnya adalah pemerintahan yang berkualitas dan efektif serta mampu mewujudkan kesejahteraan bangsa Indonesia. Selain itu juga menghasilkan para anggota legislatif yang kompetensi dan kualitasnya lebih tinggi dari produk anggota legislatif pada periode sebelumnya. 

"Komitmen partai politik untuk membangun demokrasi menjadi lebih baik sangat penting. Bila komitmen itu tidak ada, bangsa ini akan menghadapi masalah besar," kata Asep. 

Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini berpendapat penyelenggaraan Pemilu 2024 akan mirip dengan Pemilu 2019. Karena, tambah Titi, aturan yang mendasarinya masih UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Agar pelaksanaan pemilu tidak terjebak pada pelaksanaan prosedural semata, jelas Titi, pemilu harus memiliki prinsip bebas dan adil. 

Baca Juga - Cegah Penyebaran Hoaks Demi Proses Pembangunan yang Lebih Demokratis

Untuk mewujudkan hal itu, menurut Titi, kerangka hukum dan aturan pemilu harus betul-betul demokratis, penyelenggara pemilu harus porfesional dan berintegritas, peserta pemilu harus mampu berkompetisi secara kompetitif, birokrasi harus profesional dan netral, penegakan hukum harus adil, efektif, transparan dan akuntabel, serta pemilih yang berdaya dan terinformasi dengan baik. Selain itu, Titi mengungkapkan, penyelenggaraan pemilu harus dipersiapkan secara matang agar tidak terjadi kendala dalam pelaksanaannya, yang dapat mengganggu proses demokrasi di tanah air. 

Di akhir diskusi wartawan senior Saur Hutabarat mempertanyakan, sebagai pelaksana Pemilu 2024 mengapa Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum mendapatkan anggaran pembiayaan pemilihan presiden (Pilpres) untuk putaran kedua. Padahal, menurut Saur, dengan perkiraan tiga kontestan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan berkompetisi pada Pemilu 2024, peluang terjadinya putaran kedua pada Pilpres sangat besar. 

Selain itu, Saur berpendapat, upaya pengawasan Pemilu 2024 harus diperkuat mengingat para pejabat sementara di sejumlah daerah ditengarai merupakan orang di lingkaran presiden. Terkait usulan percepatan pelaksanaan pilkada serentak 2024 dari November 2024 menjadi September 2024, Saur menilai, usulan tersebut patut ditolak. Karena pada 20 Oktober 2024, kekuasaan Presiden periode 2019-2024 baru berakhir. Dengan mempercepat penyelenggaraan pilkada pada September 2024, tegas Saur, membuka kemungkinan Presiden mengintervensi pilkada yang anak dan menantunya berkemungkinan ikut pilkada di dua provinsi berbeda yang merupakan salah satu faktor yang bisa merusak demokrasi. *