Sepuluh Desember adalah tanggal penting bagi peradaban manusia. Usai Perang Dunia Kedua, dunia porak poranda, jutaan nyawa melayang dan jutaan lainnya terpaksa mengungsi dan tercerabut dari kehidupan sehari-hari mereka. Para pengungsi ini kehilangan hak untuk berkumpul bersama keluarga. Banyak anak yang baru bisa bertemu kembali dengan keluarganya bertahun-tahun setelah perang usai. Belum lagi hak dasar manusia seperti hidup bebas dari rasa takut juga tak dirasakan sebagian besar manusia di bumi, karena aneksasi penjajah membuat penduduk negara terjajah hidup dalam rasa was-was yang berkepanjangan.
Pada tanggal itu di tahun 1948, akhirnya Dewan Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendeklarasikan Universal Declaration of Human Rights di Palais de Chaillot, Paris. Sebuah deklarasi yang awalnya bagian dari upaya pemulihan kehidupan manusia di bumi pascaperang, Deklarasi HAM kini makin terasa relevan dengan perkembangan situasi politik dan sosial meski usianya sudah lebih dari 71 tahun.
HAM pada dasarnya adalah serangkaian konsep hukum bersifat normatif yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya sejak lahir. Deklarasi HAM PBB juga mengandung pernyataan bahwa hak dasar manusia tidak bisa dicabut terlepas dari ras, warna, agama, jenis kelamin, bahasa atau pilihan politik seseorang.
Di Indonesia gemuruh perlindungan HAM sudah ada bahkan ketika kita belum merdeka, dimulai di masa pra-kemerdekaan, ketika organisasi-organisasi pergerakan seperti Boedi Oetomo menuntut hak kebebasan untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat kepada pemerintah kolonial Belanda.
Melalui Undang-undang Dasar 1945, para bapak bangsa menekankan pentingnya kekebasan berkumpul dan menyuarakan pendapat, serta menjabarkan hak-hak dasar lain untuk warga negara yang wajib diberikan dan dilindungi oleh negara.
Pasca kemerdekaan, tonggak penting dalam penegakan HAM di Indonesia adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berdasarkan Keppres No. 50 Tahun 1993. Pergantian dari masa Orde Baru ke masa reformasi memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan perlindungan hak asasi manusia. Di periode ini, penegakan HAM ditandai dengan penetapan sejumlah peraturan perundang-undangan terkait HAM termasuk TAP MPR No. XVII/MPR/1998, UU No. 39/1999, UU No. 26/2000, dan Peraturan Pemerintah No. 2/2002.
Perlindungan HAM tentu saja sebaiknya tidak hanya dituangkan dalam undang-undang atau peraturan semata. Agar semua orang bisa mendapatkan dan menikmati hak asasi dalam kehidupan sehari-hari, kehidupan yang selaras dan tidak saling mengintervensi penting untuk diwujudkan.
Kita bisa mengambil contoh kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama yang dianut seseorang sebagai salah bentuk hak asasi manusia yang paling mendasar. Dengan tidak mengintervensi kegiatan beribadah seseorang, kita sejatinya telah menjadi bagian dari peradaban manusia yang menjunjung tingga kebebasan berekspresi, termasuk menjalannya ritual keagamaan.
Di tempat kerja, hubungan kerja yang setara dan saling mendukung antara atasan dan bawahan, misalnya, juga termasuk bentuk pelaksanaan HAM dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah perusahaan wajib memastikan hak-hak karyawan seperti upah, cuti dan lingkungan kerja yang aman dan nyaman terpenuhi. Sebaliknya, sebagai seorang karyawan, kita wajib membantu mewujudkan lingkungan kerja yang harmonis yang memungkinkan semua orang berkembang sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya.
Dari dua contoh di atas tampak jelas bahwa melaksanakan HAM tidak harus dalam bentuk yang besar dan muluk. Menjaga hubungan antarmanusia yang harmonis di lingkungan rumah dan lingkungan kerja sudah menjadi bentuk kontribusi kita sebagai citizen of the world untuk menjadikan perlindungan dan implementasi HAM bukan jargon semata.