Rabu, 09 September 2020
industri modern, perikanan, industri perikanan, industri 4.0, industri
Praktik perbudakan modern pada sektor kelautan dan perikanan masih terus mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak. Praktik terlarang tersebut masih terjadi sampai sekarang, walau banyak kalangan mendesak para pelakunya untuk segera menghentikan kebiasaan tersebut.
Salah satu yang mendapat sorotan tajam itu adalah industri pengalengan Tuna yang ada di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Industri tersebut, oleh Greenpeace Indonesia disebut sebagai salah satu yang buruk karena masih menerapkan kebiasaan lama.
Kebiasaan lama yang masih dilakukan oleh sebagian besar merek dan perusahaan pengalengan Tuna itu, di antaranya karena perusahaan atau pelaku usaha masih belum memandang penting aspek tenaga kerja dalam kegiatan penangkapan ikan.
Laporan Peringkat Pengalengan Tuna Asia Tenggara 2020: Keberlanjutan dan Keadilan di Laut Lepas yang dirilis, Greenpeace mengevaluasi sejumlah perusahaan pengalengan Tuna yang ada di Asia Tenggara
Sejumlah temuan Greenpeace dalam pemeringkatan perusahaan Tuna 2020. Pertama, Sebanyak 13 dari 20 perusahaan (65 persen) secara terbuka mendukung Konvensi ILO-188 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan, dengan mendukung upaya advokasi dan implementasi sepenuhnya.
Kedua, sebanyak 11 dari 20 perusahaan (55 persen) telah menetapkan langkah-langkah untuk mendeteksi secara dini dan mencegah terjadinya perbudakan modern di laut.
Ketiga,Hanya 8 dari 20 perusahaan (40 persen) menolak membeli tuna dari kapal yang meminta deposit jaminan dari kru kapalnya.
Keempat, hanya 7 dari 20 perusahaan (35 persen) membutuhkan manifes kru kapal.
Kelima, hanya 4 dari 20 perusahaan (20 persen) yang menyediakan nomor kontak (hotline) atau email untuk pelaporan bagi nelayan migran yang mengalami penindasan.
Oleh karena itu, perusahaan dan merek Tuna kaleng yang ada saat ini harus bisa menerapkan uji kelayakan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan keberlanjutan pada industri penangkapan Tuna. Apalagi keadaannya melebihi uji yang dilakukan oleh sektor industri lainnya, karena industri ini adalah industri yang sangat berisiko tinggi
Selain itu, perwakilan organisasi pekerja dan serikat buruh juga harus bisa ikut berperan dengan memberikan perlindungan yang maksimal kepada para pekerja di atas kapal. Aksi tersebut harus diimbangi dengan tindakan perusahaan penangkapan ikan yang memperbolehkan AKP, terutama yang berstatus pekerja migran untuk membentuk dan memimpin serikat mereka sendiri
Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia merilis data jumlah awak kapal perikanan (AKP) yang menjadi korban saat bekerja di atas kapal perikanan. Sepanjang periode 22 November 2019 hingga 19 Juli 2020, tercatat sedikitnya ada 13 orang AKP Indonesia yang menjadi korban di kapal perikanan berbendera Tiongkok
Dari jumlah tersebut, 11 orang diketahui harus meregang nyawa dan sisanya dinyatakan hilang. Data terkini, pada 19 Juli 2020 ada AKP bernama Fredrick Bidori yang harus menghembuskan nafas terakhir di sebuah rumah sakit di Peru, karena mengalami kecelakaan kerja di atas kapal ikan berbendera Tiongkok.
Data DFW hanya menjadi sebagian saja dari total jumlah AKP asal Indonesia yang sempat mengalami berbagai kejadian saat sedang bekerja di atas kapal. Dari semua itu, paling dominan adalah kasus kerja paksa dan juga tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
TPPO akan memengaruhi setiap negara di dunia, baik itu sebagai negara asal, transit, dan atau negara tujuan. Bahkan kombinasi ketiganya. Implikasi pandemik COVID-19 juga telah menyebabkan peningkatan perdagangan manusia di laut, karena memicu ketidakpastian ekonomi bagi para AKP.
Untuk mencegah terus berulangnya kejadian tidak menyenangkan yang menimpa para AKP asal Indonesia di kapal perikanan, Pemerintah Indonesia sedang melaksanakan proses ratifikasi Konvensi ILO tentang kerja di bidang penangkapan ikan Nomor 188 Tahun 2007
Kerangka peraturan tersebut akan menjadi dasar bagi Pemerintah Indonesia untuk menegakkan hukum terhadap pelanggaran hak-hak dasar pekerja pada sektor perikanan di Indonesia, baik yang ada di dalam atau luar negeri.
Dari situ, diharapkan bisa tercipta sinergi yang lebih baik lagi antar lembaga kementerian untuk menyelaraskan peraturan yang ada, sekaligus menerapkan prosedur standar perekrutan pekerja sektor perikanan. Semua itu bisa dilakukan sejak dari keberangkatan, penempatan, tempat kerja, dan proses kembali ke rumah masing-masing.
Sebagai negara berpenduduk banyak, Indonesia menjadi penyumbang pelaut terbesar ketiga di dunia setelah Tiongkok dan Filipina. Dari catatan Kementerian Perhubungan RI hingga 7 Juni 2020, jumlah pelaut di Indonesia mencapai total 1.172.508 orang. *)
*Diolah dari berbagai sumber oleh tim Wakil Ketua MPR RI