Sabtu, 26 September 2020
ovo, GoPay, di indonesia, e-wallet, pasar fintect
Layanan keuangan semakin beragam jenisnya seiring dengan semakin berkembangnya inovasi dan penggunaan teknologi dalam industri keuangan, yang salah satunya adalah Teknologi Finansial atau Financial Technology (fintech). Menurut ADB Institute (2019), fintech tumbuh karena erat kaitannya dengan perkembangan teknologi informasi yang mempermudah distribusi layanan keuangan.
Berdasarkan data dari Statista (2020), Indonesia merupakan negara tertinggi ke-4 dengan pengguna internet terbanyak. Data dari Survey Asosiasi Pengembangan Jasa Internet Indonesia (APJIII) pada tahun 2018 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki jumlah pengguna internet aktif yang mencapai 171,17 juta pengguna atau 64,8 persen dari jumlah penduduk 264,16 juta orang. Selain itu, pengguna internet terbesar berasal dari kelompok usia 15-19 dengan 91 persen, dan terbesar kedua di kelompok umur 20-24 dengan 88,5 persen.
Kelompok ini yang akan siap untuk menyerap digitalisasi. Selain itu, pada tahun 2024 sebanyak 190 juta orang Indonesia diproyeksikan akan belanja secara online. Ketiga fakta di atas merupakan faktor-faktor pendorong berkembangnya perusahaan fintech.
Salah satu sektor fintech yang berkembang pesat adalah fintech pembayaran atau dikenal sebagai dompet digital (e-wallet). Definisi e-wallet menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 adalah layanan elektronik untuk menyimpan data instrumen pembayaran antara lain alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan/atau uang elektronik, yang dapat juga menampung dana untuk melakukan pembayaran. Saat ini sudah terdapat 42 perusahaan yang terdaftar sebagai penyedia layanan e-wallet.
Perkembangan dalam sektor e-wallet mendorong penyedia layanan e-wallet dalam berinovasi melalui integrasi dengan platform transportasi online, e-commmerce, dan platform-platform digital lainnya. Pada tahun 2017, OVO melakukan kolaborasi dengan GrabPay dan Tokopedia beserta 500.000 merchant lainnya sehingga perusahaan tersebut kini memiliki pangsa pasar terbesar di Indonesia.
Sementara itu, Go-pay milik Gojek juga merupakan salah satu e-wallet yang populer di Indonesia (iPrice Group & App Annie 2020). Gojek yang berawal dari 3 fitur yaitu GoRide, GoSend dan Gomart pada 2015 kini telah berkembang menjadi 20 fitur. Semua fitur ini terintegrasi dengan sistem pembayaran e-wallet GoPay.
Selain itu, GoPay juga terus melakukan inovasi dan terhubung dengan merchant ternama seperti Watson Indonesia, Alfamart, FamilyMart dan masih banyak warung pintar lainnya. Dalam perjalannannya, Gojek juga mengakuisisi 3 perusahaan fintech yaitu Kartuku, Midtrans dan Mapan pada 2017 yang mendukung berkembangnya GoPay dengan pesat.
Berkembangnya layanan e-wallet di Indonesia berpengaruh terhadap konsentrasi pasar persaingan e-wallet. Sehingga, struktur pasar ewallet berpotensi hanya menguntungkan beberapa penyedia layanan terbesar. Hal ini patut menjadi perhatian karena harus dipastikan bahwa tidak terjadi pemusatan kekuasaan oleh suatu kelompok pelaku usaha yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.
Dengan adanya potensi persaingan usaha tidak sehat dalam sektor e-wallet, INDEF melakukan kajian yang bertajuk ‘Struktur Pasar Fintech Ewallet di Indonesia’ dengan tujuan melihat struktur pasar dan mengevaluasi dampaknya pada persaingan usaha industri e-wallet di Indonesia.
Pasar didefinisikan sebagai titik temu antara penjual dan pembeli untuk transaksi barang atau jasa. Menurut Rizkyanti (2009), struktur pasar merupakan suatu keadaan pasar yang dapat memberikan informasi tentang aspek-aspek yang mempengaruhi perilaku usaha dan kinerja pasar.
Per tahun 2019, ada sebanyak 42 perusahaan ewallet yang mendapatkan lisensi resmi dari Bank Indonesia. Data dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa pangsa pasar OVO mencapai 37% dari total transaksi dompet digital Rp 56,1 triliun di Indonesia selama Semester 1 2019.
Artinya, transaksi OVO mencapai Rp 20,8 triliun. Sedangkan, pasar Gopay hanya 17% atau Rp 9,5 triliun. Penyedia dompet digital lain, yaitu DANA dan LinkAja masing-masing berkontribusi 10% dan 3% (Katadata 2019)
Pasar e-wallet menunjukkan bahwa 77% pangsa pasar industri tersebut dikuasai oleh OVO, GoPay, Bank Mandiri dan DANA. Berdasarkan indikator dari KPPU, struktur pasar ewallet mengarah ke pasar oligopoli ketat.
Artinya, pasar tersebut terkonsentrasi kepada empat perusahaan terbesar dan berpotensi miliki pemusatan kekuatan pasar. Ada risiko bahwa 4 perusahaan tersebut dapat mempengaruhi harga dan merugikan pemain-pemain lainnya dan konsumen e-wallet.
Dalam struktur pasar oligopoli ketat, terdapat potensi terjadinya predatory pricing di mana suatu perusahaan menurunkan harga agar memperoleh pangsa pasar yang lebih besar, namun direspon dengan penurunan harga oleh perusahaanperusahaan lainnya. Sehingga, perusahaan lainnya yang lebih kecil pangsa pasarnya tidak dapat bertahan.
Selanjutnya, oligopoli juga berpotensi merugikan konsumen. Ketika perusahaan-perusahaan lainnya sudah gulung tikar dan pasar sepenuhnya sudah dikuasai oleh empat besar, maka mereka berpeluang untuk menaikkan harga.
Kesejahteraan yang optimum (welfare state) sebuah negara dapat dicapai dalam pasar kompetitif sempurna, ketika tidak ada kerugian bobot mati (deadweight loss) dalam pasar. Artinya pasar berjalan secara efisien dengan kondisi surplus konsumen dan produsen yang tidak berkurang atau hilang (Murti 2004).
Salah satu dampak oligopoli adalah pasar yang menjadi tidak efisien, yang artinya kesejahteraan optimum tidak tercapai. Ketika perusahaan-perusahaan di pasar oligopoli yang tak di regulasi menaikkan harga di atas biaya marginal, maka kuantitas dari produk akan turun. Sehingga pasar dengan struktur oligopoli akan menimbulkan deadweight loss karena adanya kehilangan surplus produsen dan konsumen dari adanya transaksi yang tak terealisasikan.
Jika terjadi oligopoli yang bersifat kolusif, maka suatu kelompok produsen dapat mengontrol produksi dan harga. Dampaknya adalah mereka dapat memperoleh posisi monopoli, sehingga mereka dapat memperoleh keuntungan di atas level yang wajar. Hal ini dilarang Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat karena dapat merugikan konsumen dan pelaku usaha-usaha lain yang lebih kecil.
Dikarenakan indikasi adanya oligopoli ketat di pasar e-wallet, diperlukan kebijakan-kebijakan yang memastikan bahwa persaingan usaha yang sehat tetap terjaga dan konsumen tetap terlindungi. Harus ada kebijakan yang mendorong pelakupelaku usaha baru untuk masuk ke pasar e-wallet dan berkembang karena dibutuhkannya pemain yang lebih banyak agar kompetisi menjadi lebih sehat.
Karena itu, INDEF merekomendasikan tiga kebijakan: (1) Memasukkan e-wallet sebagai daftar positif investasi untuk menarik minat pemain baru; (2) Mempercepat revisi undang-undang antimonopoli dengan memasukkan unsur-unsur ekonomi digital seperti perlindungan data; (3) Struktur Pasar Fintech E-Wallet di Indonesia Memperjelas definisi pasar e-wallet agar ada alat standar yang konsisten untuk keperluan pengukuran konsentrasi pasar dan persaingan usaha. *)
*Diolah dari berbagai sumber oleh tim Wakil Ketua MPR RI