Pustaka Lestari

Pendidikan Berbasis Kesetaraan Gender

Pada tahun 2030 Indonesia diprediksi akan memperoleh bonus demografi. Hakikatnya seorang manusia dilahirkan mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh akses-akses kehidupan. Termasuk dalam hal pendidikan. UNESCO sebagai organisasi dunia yang mewenangi masalah pendidikan menjelaskan pendidikan terdiri dari empat pilar utama.

Pertama adalah berorientasi pada how to know (pengetahuan/kognitif); Kedua adalah How to do (keterampilan/psikomotorik); Ketiga yaitu how to be (sikap/afeksi) dan keempat adalah how to live together (Mustaqim, 2014).

Lelaki dan perempuan dibanyak tempat dipisahkan secara tegas melalui pengakuan dan pengingkaran sosial, ekonomi, politik.  Pemisah ini telah mengakibatkan “ketimpangan gender” yang secara otomatis menimbulkan bias gender di masyarakat. Ketimpangan yang terjadi tidak hanya bersifat kultural akan tetapi juga struktural. Hal semacam inilah yang kemudian mendorong beberapa studi tentang kesetaraan gender.

Perempuan yang sekarang ini jumlahnya lebih besar dibanding laki-laki belum banyak mengisi dan menempati struktural organisasi publik. Mereka belum banyak ikut andil di dalam menentukan keputusan-keputusan dan kebijakan penting. Dikotomi laki-laki dan perempuan juga tercermin dalam segregasi pekerjaan antara perempuan dan laki-laki. Pembedaan laki-laki dan perempuan ini disebabkan oleh faktor sosial dan budaya (Susilastuti, 1997).

Kedudukan perempuan dan laki-laki di masyarakat masih  didominasi oleh laki-laki. Hal ini tentu bertentangan dengan hakikat manusia yang dilahirkan sama dan mempunyai kesempatan yang sama, tidak ada diskriminasi dan pengkhususan tertentu. Salah satu hal penyebab ketimpangan tersebut adalah karena kurangnya akses pendidikan.

Di Provinsi Jawa Tengah angka pernikahan dini masih sangat tinggi. Para gadis muda terpaksa harus nikah dini karena tidak ada hal lain yang bisa mereka lakukan kecuali menjadi Ibu rumah tangga. Ada sekitar 11 persen perempuan usia 20-24 tahun sudah menikah atau hidup bersama sebelum berusia 18 tahun pada tahun 2015 (Unicef & Bappenas, 2015).

Kondisi ini biasanya terjadi di kalangan anak perempuan dari rumah tangga miskin. Nilai gender patriarki yang diajarkan secara terus menerus, berdampak pada realitas objektivitas yang semakin kuat. Sehingga nilai-nilai ini dianggap sebagai kebenaran ideologis yang bersifat mutlak dan mempunyai daya paksa.

Perbedaan gender yang terkadung didalamnya sebenarnya tidak menjadi masalah asalkan tidak menimbulkan ketidakadilan gender. Kesenjangan gender atau bias gender itu muncul ketika perbedaan gender membawa ketidakadilan dalam berbagai bentuk, terutama bagi perempuan. Untuk memahami bagaimana ketidakadilan gender, perlu manifestasi dalam berbagai bentuk seperti marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotype atau label negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih lama, serta sosialisasi ideology nilai peran gender (Marzuki, 2008; Fakih, 1997).

Masalah gender merupakan salah satu masalah sosial yang bisa menghambat perkembangan masyarakat. Oleh karena itu perlu diusahakan langkah terus menerus dan antisipatif. Secara organisasi internasional, konferensi perempuan sedunia di Beijing tahun 1995 sepakat berkomitmen untuk memperjuangkan dan menghapuskan ketidakadilan gender ini. Dalam konferensi tersebut menjelaskan beberapa ketidakadilan gender dalam pendidikan sehingga berdampak pada kondisi, status, dan posisi perempuan yang lemah dalam keluarga, sosial masyarakat dan kehidupan berbangsa

Ketimpangan gender dalam pendidikan, lebih banyak disebabkan oleh faktor sosial budaya yang hidup di dalam masyarakat. Faktor sosial budaya menganggap bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi karena berakhir ke dapur juga.

Anggapan ini masih sangat kuat dalam kultur jawa. Bagi anak laki-laki, secara sosial budaya dikonstruksikan sebagai penyangga ekonomi keluarga sehingga mereka harus bertanggung jawab untuk ikut membantu meringankan beban ekonomi keluarga sehingga merekalah yang lebih diutamakan untuk sekolah.

Gender berbeda dengan seks atau jenis kelamin. Seks merupakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan didasarkan pada bentuk biologis, maka gender adalah perbedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruk sosial yang budaya yang tercipta (Wahid, 2003). Gender bukan merupakan property individual namun merupakan interaksi yang sedang berlangsung antar aktor dan struktur dengan variasi yang sangat besar antara kehidupan laki” dan perempuan secara individual sepanjang siklus hidupnya secara structural dalam sejarah ras dan kelas (Feree, 1990; Llyod et al, 2009 dalam Puspitawati, 2013).

Gender merupakan konstruksi sosial yang terbangun atas peranperan yang menjadi hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan secara proporsional. Konstruksi sosial akibat misunderstanding menyebabkan masalah-masalah unequal dan unbalance opportunity (Susanti, 2015).

Kesenjangan gender dalam pendidikan adalah perempuan lebih dibatasi untuk memperoleh akses pendidikan. Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin lebar kesenjanganya antara laki-laki dan perempuan. Kesenjangan ini berdampak pada perbedaan rata-rata penghasilan laki-laki dan perempuan (Fakih, 2005).

Menurut Mursidah, kesenjangan gender bidang pendidikan dapat dilihat dari segi buku pelajaran seperti, bahasa dan sastra, Ilmu Pengetahuan Sosial, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Jasmani, Kesenian dan lain sebagainya. Mata pelajaran tersebut banyak membahas tentang kedudukan perempuan dalam masyarakat cenderung masih menganut nilai-nilai yang diskriminatif dan bias gender. Kurikulum dan materi pelajaran yang belum mengacu kepada prinsip-prinsip kesetaraan gender dan keadilan gender akan menyebabkan perempuan tidak mempunyai mentalitas sebagai warga negara yang produktif.

Selama ini kebijakan pendidikan lebih banyak dikontrol oleh laki-laki karena mereka lebih mempunyai posisi strategis dalam pengelolaan pendidikan, terutama dalam jabatan struktural, mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Fakta-fakta semacam inilah yang menyebabkan terjadinya bias gender dalam bidang pendidikan. Menurut Susanti factor penyebab bias gender dapat dikategorikan menjadi tiga aspek yaitu partisipasi, akses dan kontrol. Meskipun ketiga aspek itu tidak bisa menjelaskan bias gender secara empiris dalam bidang pendidikan.

Upaya untuk meminimalisasi ketimpangan gender adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang gender. Salah satunya adalah pengembangan kurikulum. Hal ini seperti yang disampaikan dalam penelitian Mustqim. Menurut Undang-Undang No.20 tahun 2003, dijelaskan bahwa kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta tatacara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. kurikulum kesetaraan gender (IKKG) dengan nilai-nilai integritas pada kurikulum.

Dalam proses pengembangan kurikulum yang berbasis gender, ada beberapa pamangku kepentingan yang dijelaskan oleh David G. Amstrong yaitu: Curriculum specialist (spesialis kurikulum, ahli kurikulum); Teacher/instructors (guru/instruktur); Learners (peserta didik); Principals/corporate unit supervisors (kepala sekolah/unit pengawas sekolah); Central office administrators/corporeate administrators (administrator kantor pusat/administrator perusahaan; Special experts (ahli special); Lay public representatives (perwakilan masyarakat umum).

Pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan dan penyusunan kurikulum oleh pengembang kurikulum (curriculum developer) dan kegiatan yang dilakukan agar kurikulum yang dihasilkan dapat menjadi bahan ajar dan acuan yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Selanjutnya, materi dalam kurikulum harus diorganisasikan dengan baik agarsasaran (goals) dan tujuan (objectives) yang telah ditetapkan.

Dalam wacana feminisme, kesetaraan merupakan yang sangat prinsipil. Bagaimana permasalahan ketimpangan gender bisa diatasi? Yaitu melalui pendidikan. Langkah konkrit yang bisa dilakukan oleh pemangku kepentingan adalah: (1) Membuka kesempatan pendidikan yang lebih merata pada semua jurusan, jenis, dan tingkat pendidikan tanpa adanya diskriminasi dan mewujudkan kesetaraan gender; (2) Meminimalisasi kesetaraan gender di semua level pendidikan; (3) Memberikan peluang dan kesempatan yang besar kepada perempuan untuk berpartisipasi secara optimal pada semua unit dan dalam seluruh tahapan proses kebijakan pendidikan.

Dalam mewujudkan kesetaraan gender dalam bidang pendidikan selain dalam bentuk kurikulum dan unsur tenaga pendidik juga dapat disebarkan pada berbagai mata pelajaran dalam mendukung pengembangan. Adapun Langkah-langkah menurut Mursidah (2013) adalah sebagai berikut: (1) Merumuskan visi, misi tujuan sekolah dan pengembangan diri yang berbasis kesetaraan gender; (2) Mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar kesetaraan gender yang diintegrasikan dengan kesetaraan gender; (3) Mengintegrasikan nilai-nilai tersebut ke dalam indikator dan atau kegiatan pembelajaran pada silabus dan rencana pembelajaran.

Penanaman nilai-nilai gender melalui institusi pendidikan akan memberikan pemahaman bagi masyarakat bahwa akses pendidikan boleh dinikmati siapa saja. Tidak hanya diprioritaskan untuk laki-laki saja. Dengan membuka lebar akses pendidikan tanpa terkecuali, akan lebih membuka kesempatan para perempuan untuk berkiprah di masyarakat.

Dampak negatif dari terbatasnya akses pendidikan bagi perempuan juga bisa berkurang. Apalagi dengan kompleksitas dan perubahan zaman yang terjadi saat ini. Kaum perempuan tidak hanya sebatas akan menjadi Ibu Rumah Tangga, akan tetapi juga mempunyai kesempatan yang sama dalam mengambil peran dan berkonstribusi aktif di masyarakat. Sehingga ketimpangan konstruksi sosial antar gender tidak jauh berbeda.

Dengan semakin terdidiknya kaum perempuan, ini bisa mendukung peradaban bangsa dalam menyonsong bonus demografi di tahun-tahun yang akan datang. *)

*Diolah dari berbagai sumber oleh tim Wakil Ketua MPR RI