Senin, 26 Oktober 2020
batik indonesia, batik, diplomasi batik indonesia
Diakuinya Batik Indonesia sebagai Warisan Tak Benda UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009 menunjukkan pengakuan dunia atas kekayaan budaya dan komitmen Indonesia dalam melindungi Batik Indonesia, sekaligus menjadikan Batik Indonesia sebagai salah satu alat penting dalam melakukan Soft Diplomacy Batik Indonesia
Menjelang dan setelah diakuinya Batik Indonesia sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO, berbagai kegiatan untuk memperkenalkan batik sebagai warisan budaya Indonesia dilakukan oleh Menteri Luar Negeri RI beserta jajaran di dalam dan di luar negeri. Dapat dicatat sejumlah pendekatan kepada berbagai pihak untuk mendukung Indonesia juga dilakukan, termasuk kepada anggota Subsidiary Body UNESCO saat itu, yaitu Estonia, Kenya, Korea Selatan, Meksiko, Turki dan Uni Emirat Arab. Selain itu, para kepala perwakilan RI di luar negeri juga turut melakukan berbagai kegiatan untuk mempromosikan Batik Indonesia, termasuk antara lain dengan penyelenggaraan “Batik: Heritage of Indonesia – World Tour 2008”
Dalam Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri (PPTM) dan Pameran Capaian Kemlu, tanggal 8 – 10 Januari 2019, 4 motif batik yang masing-masing mewakili prioritas Politik Luar Negeri RI dijadikan tema diplomasi yaitu (1) motif parang yang mewakili prioritas polugri untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2) motif truntum yang melambangkan prioritas perlindungan terhadap warga negara Indonesia di luar negeri; (3) motif sidomukti yang menjadi simbol prioritas diplomasi ekonomi; dan (4) motif sekar jagad yang mewakili prioritas polugri peningkatan peran Indonesia di dunia internasional.
Yang juga menjadi perhatian banyak pihak adalah Diplomasi Batik yang dilakukan Menteri Luar Negeri RI, Retno L.P. Marsudi pada presidensi Indonesia saat pertemuan Dewan Keamanan PBB tanggal 7 Mei 2019 lalu yang dimeriahkan oleh berbagai motif batik maupun tenun yang dikenakan oleh para delegasi peserta pertemuan bersama Sekretaris Jenderal PBB. Hal ini mempertegas bahwa batik yang telah menjadi ikon dan identitas Indonesia di luar negeri.
Sejarah Batik dimulai sejak zaman Kerajaan Majapahit dan era penyebaran ajaran Islam di Pulau Jawa. Sebagaimana dimuat dalam buku karya Yusak Anshori dan Adi Kusrianta yang berjudul “Keeksotisan Batik Jawa Timur”, para pedagang Gujarat yang menjual katun dan sutra turut memperkenalkan Batik di Pulau Jawa. Hal ini mengingat India telah mengenal Batik sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu. Batik dinilai sebagai seni lukisan yang berasal dari Bengal. Hal ini sejalan dengan pendapat GP Rouffaer, yang menyampaikan bahwa teknik membatik diajarkan di Pulau Jawa oleh pedagang India pada abad ke-6 atau ke-7
Rouffaer juga menyatakan bahwa motif gringsing pada abad ke-12 sudah dikenal di Kerajaan Kediri, Jawa Timur. Hal ini dapat dilihat dalam Pararaton yang menyebutkan “Semangka Raden Wijaya adum lancing giringsing ring kawula nira” – Sesaat Raden Wijaya membagi lancingan (pakaian) gringsing kepada hamba-hambanya.
Namun, Dr. Alfred Steinman pada bukunya menyebutkan bahwa Batik diajarkan sejak kekaisaran Dinasti Tang di Balkan. Menurut Steinman perkembangan Batik India baru mencapai puncaknya pada abad ke-17 dan ke-19 dengan pola geometris dan motif cinden, kawung, lereng dan ceplok.
Referensi lainnya dari penelitian Edhie Wurjantoro dan Tawalinudin Haris dalam tulisan berjudul “Kain Dalam Masyarakat Jawa Kuna” menyebutkan bahwa beberapa arca dari batu dan logam memberi inspirasi berbagai jenis kain dan ragam corak hias di arca, seperti kawung, ceplokan, banji, udan liris dan tumpal. Motif-motif tersebut kemudian dapat dilihat pada pakaian patung dewa Siwa dari Wonosobo (Candi Dieng) dengan motif lereng; patung Ganesha dari Candi Banon dekat Candi Borobudur dengan motif ceplok pada abad ke-9 dan patung Siwa dari Singasari pada abad ke-13.
Lebih lanjut motif sidomukti dapat dilihat pula pada patung Ganesha dari Singasari abad ke13 dan patung Durga di Candi Singasari. Sedangkan motif semen dapat dilihat pada dinding makam Sendang Duwur, Bojonegoro (1585) dan dinding dari masjid tua di kompleks makam Ratu Kalinyamat (1559) di Mantingan-Jepara. Motif kawung juga dapat ditemukan pada patung Hari Hara dari Blitar, patung Buddha Mahadewa dari Tumpang dan Bharkuti dari Candi Jago Jawa Timur
Salah satu relief di Candi Penataran, Blitar, juga menjadi salah satu bukti penggunaan Batik pada masa itu, dengan patung Raja Syrenggra mengenakan kain bermotif kawung. Motif Batik juga dapat dilihat pada patung Pradjnaparamita yang merupakan relief Candi Singosari dari abad ke-13, dengan pola bunga yang rumit mirip dengan Batik Jawa tradisional. Hal ini sekaligus menunjukkan adanya penggunaan canting sejak abad ke-13.
Literatur lain menyebutkan bahwa motif gringsing menunjukkan kedudukan sosial yang sangat penting karena diberikan sebagai penghargaan bagi para perwira (Sudjoko, 1983). Di beberapa daerah pedalaman Jawa Timur, khususnya Tulungagung, Trenggalek dan Majan, masih dijumpai ragam hias gringsing yang dipadukan dengan flora dekoratif, yang menunjukkan kekhasan masa Hindu-Budha
Beralih kepada media yang digunakan dalam membuat Batik, lilin batik adalah salah satu barang yang diperjualbelikan pada masa Mataram Hindu. Istilah “batik” atau hambatik (membatik) sendiri baru pertama kali diperkenalkan dalam Babad Sengkala dari Keraton Pakualaman yang ditulis pada tahun 1633 dan juga dalam Panji Jaya Lengkara tahun 1770.
Terdapat sebuah catatan sejarah lain, yaitu bahwa teknik membatik pertama kali dicatat di dalam buku History of Java karya Sir Thomas Stamford Raffles (London, 1817). Saat itu Raffles merupakan Gubernur Jenderal, bertepatan dengan dikuasainya Belanda oleh Napoleon.
Pada tahun 1873, seorang pedagang Belanda, Van Rijekevorsel, menghibahkan satu kain Batik yang didapatnya ketika berkunjung ke Nusantara kepada Museum Etnik Rotterdam. Sejak saat itu, penyebaran Batik di luar Nusantara dimulai. Batik menyebar hingga ke Afrika Selatan, yang pada masa itu juga merupakan daerah koloni Kerajaan Belanda.
Di Nusantara sendiri, khususnya di Pulau Jawa, penyebaran Batik salah satunya disebabkan oleh peperangan. Rakyat yang menghindari perang dengan mengungsi seringkali membawa peralatan membatiknya dan mengembangkan budaya membatik di daerah tersebut. Sebagai contoh, terdapat sekilas catatan mengenai sejarah Batik Pekalongan yang dikembangkan oleh rakyat di sekitar Yogyakarta yang mengungsi ke berbagai daerah (termasuk ke Pekalongan) pada masa perang Pangeran Diponegoro (1825-1830).
Upaya-upaya pelestarian Batik Indonesia di berbagai lini mulai bergulir. Menteri Luar Negeri dalam hal ini telah menugaskan para diplomat untuk berperan sebagai duta Batik Indonesia di luar negeri. Hal ini sekaligus sebagai upaya memperkenalkan kekayaan Batik Indonesia. Sebagai contoh, bagi para diplomat yang bertugas di negara yang memiliki empat musim, batik digunakan sebagai salah satu busana resmi di musim panas. Sama halnya bagi para diplomat yang bertugas di negara yang memiliki dua musim, sebagai contoh di KBRI Singapura di mana Batik dikenakan hampir setiap hari.
Salah satu contoh nyata upaya Kementerian Luar Negeri untuk melestarikan Batik Indonesia adalah dengan memperkenalkan Batik Indonesia dalam setiap forum internasional. Pada masa Presidensi Indonesia di Dewan Keamanan PBB bulan Mei 2019 lalu, untuk pertama kalinya di dalam ruang sidang Dewan Keamanan PBB, hampir seluruh delegasi yang hadir mengenakan Batik, termasuk Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres. Keragaman Batik Indonesia merefleksikan keragaman budaya Indonessia.
Tujuan diplomasi antara lain adalah untuk meneguhkan identitas bangsa. Dimana ada pembicaraan mengenai Batik, dengan mudah kolega asing mengenali bahwa Batik adalah identitas Indonesia. Peneguhan dan kekuatan identitas tersebut berdampak kepada berkembangnya aspek-aspek ekonomi.
“Tidak akan ada hilir bila tidak ada hulu.” Perumpamaan ini menggambarkan perkembangan zaman yang identik dengan perkembangan teknologi, penggunaan mesin dan produksi secara massif. Namun secara proses , teknik dan filosofi membatik selaras dengan budaya dan tradisi tidak boleh kehilangan makna. Filosofi dalam pembuatan Batik harus selalu dikedepankan. Nilai Batik sebagai warisan budaya yang memiliki narasi kultural dan filsafat perlu mengimbangi fungsi Batik sebagai komoditas ekonomi. Apresiasi Batik dapat dilakukan dengan narasi, cerita dibalik pembuatannya dan filosofinya. *)
*Diolah dari berbagai sumber oleh tim Wakil Ketua MPR RI