Pustaka Lestari

Perempuan dari Kongres Pemuda

Rabu, 28 Oktober 2020 sumpah pemuda, kongres pemuda, perempuan

 

Dalam jejak sejarah Indonesia, Sumpah Pemuda merupakan momentum yang menjadi bagian dari mata rantai perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Sumpah Pemuda dicetuskan dari Kongres Pemuda Indonesia II dan merupakan proses menuju terwujudnya cita-cita Indonesia merdeka. Kongres Pemuda II berlangsung selama dua hari di Jakarta, 27- 28 Oktober 1928.

Kongres Pemuda II mencatat adanya 10 orang perempuan yang hadir, yaitu Nona Poernomowulan (guru dan aktif di Jong Java), Siti Sundari (yang menerbitkan majalah berbahasa Jawa Wanito Sworo di Pacitan pada 1912), Emma Poeradiredja (aktif di Jong Java lalu mendirikan organisasi Istri Pasundan), Suwarni Pringgodigdo (pendiri organisasi perempuan Isteri Sedar,kakak sastrawan Suwarsih Djojopuspito), Johana Masdani Tumbuan, Dien Pantouw dan Nona Tumbel (aktif di Jong Celebes). Pada kesempatan itu, Nona Poernomowulan berpidato tentang pendidikan perempuan untuk mencerdaskan “bangsa Indonesia” yang diimajinasikan pada saat itu.

Setelah Indonesia merdeka, apa yang disebut kongres pemuda tampaknya tak lagi terpusat, melainkan terfraksi berdasarkan partai politik, sektor dan golongan. Saat ini belum ada percakapan-percakapan dalam pelbagai kongres-kongres untuk menyimak apakah integrasi ide persamaan hak atau kesetaraan gender itu masuk ke dalam agenda kongres. Sebagai contoh, dalam kongres Barisan Buruh Indonesia pada 1946 (setelah Indonesia Merdeka) ide tentang keadilan bagi buruh perempuan masuk ke dalam agenda kongres. Ide itu sangat kuat didesakkan oleh S.K. Trimurti sebagai intelektual, aktivis buruh dan aktivis perempuan pada masa itu (Soebagijo 1982).

Tiga bulan setelah Sumpah Pemuda, diselenggarakan Kongres Perempuan pada 22 Desember 1928 atas prakarsa Suyatin (sebelum mendirikan Perwari adalah aktivis sayap perempuan Boedi Oetomo), Nyonya Soekonto, Nyi Hajar Dewantoro. pemrakarsa Kongres Perempuan itu tidak hadir dalam Kongres Pemuda 1926 maupun Sumpah Pemuda 1928. Hanya Siti Sundari yang pernah hadir di Kongres Sumpah Pemuda. Dalam Kongres Perempuan ini Siti Sundari telah berpidato menggunakan bahasa Melayu, dan bukan bahasa Belanda sebagaimana dalam Kongres Sumpah Pemuda (Foulcher 2000; Blackburn 2007).

Hal yang menarik, bahwa perkembangan ide menjadi praktik sosial dan politik dari kepentingan perempuan kemudian berintegrasi dalam kepentingan kebangsaan untuk mewujudkan ide kebangsaan sebagai praktik. Meskipun kepentingan kebangsaan lebih dominan disuarakan oleh pemuda, sementara kepentingan perempuan lebih dominan disuarakan oleh pemudi.

Peristiwa politik yang menunjukkan ide persamaan hak dan persatuan Indonesia itu terintegrasi dapat ditinjau dalam agenda Kongres Pemuda “Indonesia” I di Weltevreden, Batavia pada 1926 (Surjomihardjo 1981). Kongres itu diketuai oleh M. Tabrani dan wakilnya, Bahder Johan, dan sayang belum diperoleh catatan tentang siapa aktivis perempuan yang hadir di situ, selain Nona Stien Adam dari Manado.

Adapun pokok-pokok yang menunjukkan integrasi ide persamaan hak dan persatuan Indonesia adalah butir (4), yang bunyinya demikian: “Untuk mewujudkan persatuan Indonesia itu perlu dipertegas hak yang sama untuk wanita dan pria terhadap Tuhan dan Dunia. Untuk itu diperlukan perluasan lapangan gerak, yang memungkinkan kedudukan dan peranan wanita Indonesia dapat membuka harapan-harapan Nusa dan Bangsa”

Terdapat tiga orang yang berpidato tentang persamaan hak dan persatuan Indonesia dalam Kongres tersebut, yaitu Bahder Johan, Nona Stien Adam dari Minahasa dan Tuan Djaksodipoero dari Solo. Komposisi pembicara yang mempercakapkan persamaan hak terdiri dari dua laki-laki dan hanya seorang perempuan. Apakah karena kongres itu berbahasa Belanda, dan kebanyakan aktivis perempuan masih berbahasa daerah atau Melayu kasar? Bahder Johan berpidato sangat panjang, dengan judul “Kedudukan Wanita Dalam Masyarakat Indonesia”, dan sepertinya berusaha mewakili aspirasi aktivis perempuan dalam menghubungkan ide persamaan hak dan persatuan (Surjomihardjo 1981).

Adapun Nona Stien Adam berpidato tentang persamaan hak dan menekankan bahwa entitas perempuan itu majemuk karena lokasi budaya yang berbeda-beda, hingga persatuan Indonesia harus memperhatikan aspek perbedaan. Tuan Djaksodipura melaporkan adanya “hukum adat” Swapraja Surakarta yang disebut rapak lumuh, yaitu perempuan boleh menuntut cerai (talak dari istri) sebagai aturan untuk menghentikan tindakan sewenang-wenang suami dalam menjatuhkan talak kepada istrinya. Adat rapak lumuh sangat baik diadopsi sebagai peraturan negara Indonesia (yang dibayangkan) (Surjomihardjo 1981).

Sebagai perempuan pernah hadir di Kongres Sumpah Pemuda, Siti Sundari dikenal sebagai perempuan Indonesia yang sering harus berurusan dengan kepolisian rahasia Belanda di zaman Belanda melakukan penjajahan pada Indonesia di jaman dulu. Siti Sundari harus berurusan dengan Belanda karena tulisan-tulisannya.

Kalimat Siti Soendari yang menyanggah bahwa perempuan tidak harus melulu pandai memasak disampaikan kepada beberapa orang yang risih dengan keberadaan perempuan yang mau belajar untuk kemajuannya. Karena, Siti Soendari adalah seorang perempuan yang pada masanya punya ketajaman pena, cerdas dan berani. Tulisannya membuat berang Belanda dan membuat merah telinga para lelaki.

Siti Soendari pernah menulis laporan dengan panjang lebar ke Komisi Kemakmuran. Dari laporan tersebut, tertuang fakta adanya usulan supaya perempuan tidak dipermainkan lelaki dalam institusi perkawinan. Termasuk diantaranya adalah tentang penolakannya terhadap poligami.

Di dalam Wanita Swara, Siti Soendari menuliskan agar perempuan mau belajar membaca dan menulis. Dengan membaca, menurut Siti Soendari, perempuan bisa memahami situasi sosial yang melingkupi perempuan kala itu, yang membuat mereka sulit diajak bersekolah.

Minimnya kesadaran bersekolah dari perempuan ini, tak lepas dari pelabelan masyarakat patriarki yang  melekat di alam bawah sadar para lelaki dan perempuan sebagaimana yang disampaikan orang-orang kepada Siti Soendari, bahwa perempuan meski bersekolah tinggi, tetap saja tidak akan disukai suami karena tak pandai masak nasi sayur.

Kisah Siti Soendari belum usai, kegigihannya berjuang melalui tulisan menunjukkan bahwa perempuan juga bisa menulis tentang politik, dan hak perempuan. Minat Siti Soendari untuk menulis sudah muncul sejak masih sekolah. Tulisannya kerap mewarnai majalah dinding sekolah. Tak heran bila Siti Soendari menguasai bahasa Belanda dengan baik sehingga sering dimuat di terbitan Belanda.

Selain memiliki kemampuan berbahasa Belanda, Soendari juga menguasai bahasa Inggris, Jerman dan Perancis. Namun, Siti Soendari lebih memilih menulis dengan menggunakan bahasa Melayu sekolahan yang dengan keras mengecam kolonialisme Belanda. Hingga segala aktivitasnya menjadi perhatian pemerintah Belanda waktu itu.

Yang telah ditunjukkan oleh Siti Soendari adalah, bahwa perempuan juga harus bisa menulis untuk memahami lingkungan sosial yang melingkupinya dan tentu saja untuk mengajak perempuan supaya memperjuangkan kesetaraan

Salah satu ucapan Siti Soendari adalah tentang integrasi persamaan hak dan persatuan dalam Kongres Perempuan 22 Desember 1928: “Tugas perempuan dalam membangun kebangsaan adalah menjadi guru yang mendidik anak-anaknya (dalam arti biologis dan sosial) untuk menjadi bangsa yang maju,” (Blackburn 2007). Itu artinya kebangsaan juga mempunyai dimensi kultural, yaitu menciptakan habitus kebangsaan yang praktiknya harus dijalankan sehari-hari. *)

*Diolah dari berbagai sumber oleh tim Wakil Ketua MPR RI