Pustaka Lestari

Akses pendidikan dan pemerataan mutu pendidikan

 

Dari tahun ke tahun, Kemendikbud mendorong upaya akreditasi satuan pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Akreditasi lembaga pendidikan dan sekolah dijalankan oleh dua badan yang terpisah yaitu BAN S/M untuk sekolah dan madrasah, dan BAN PAUD-PNF untuk lembaga PAUD, lembaga kursus dan pelatihan (LKP), dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat.

Secara jumlah peningkatan lembaga PAUD yang terakreditasi meningkat lebih dari enam belas kali lipat antara tahun 2015-2019. Bila dilihat dari capaian persentase terhadap total lembaga, rata-rata tingkat penambahan per tahun dalam periode 2015-2019 adalah 103% per tahun. Namun, pada tahun 2019, masih tersisa 114.577 lembaga PAUD yang belum terakreditasi. Untuk memastikan agar akreditasi bisa mencakup semua lembaga PAUD, perlu dilakukan optimalisasi proses akreditasi.

Persentase sekolah yang memiliki akreditasi minimal B terus meningkat pada semua jenjang. persentase sekolah dengan akreditasi minimal B tertinggi ada di jenjang SD/MI, yaitu 80,84% pada tahun 2019. Namun, peningkatan paling banyak ada di jenjang SMA yang meningkat lebih dari dua kali lipat - dari 28,23% di tahun 2015 menjadi 73,39% di tahun 2019. Untuk capaian jenjang SMK sudah melebihi target Renstra Kemendikbud, hal ini dapat terjadi karena adanya perubahan kebijakan akreditasi yaitu yang sebelumnya berbasis program keahlian menjadi satuan pendidikan.

Berkenaan dengan angka partisipasi pendidikan, Kemendikbud telah menorehkan berbagai capaian yang menunjukkan semakin meningkatnya angka partisipasi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), menurunnya tingkat putus sekolah, dan capaian-capaian lainnya.

PAUD merupakan kunci dari keberhasilan pembangunan SDM sepanjang hayat. Usia dini merupakan usia emas tumbuh kembang anak, dan investasi pada usia ini merupakan investasi yang paling tinggi memberikan rate of returns dibandingkan dengan investasi di seluruh periode siklus hidup lainnya. Walaupun angka partisipasi kasar (APK) belum meningkat secara signifikan, intervensi-intervensi yang dilakukan menunjukkan adanya peningkatan angka partisipasi yang dimaksud dalam kurun waktu Tahun 2015 (32,68) dan 2019 (36,93).

Program-program yang telah dijalankan untuk meningkatkan APK PAUD adalah: (1) bantuan Ruang Kelas Baru (RKB) PAUD, (2) Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) PAUD, (3) bantuan PAUD untuk layanan khusus atau daerah marginal, dan (4) bantuan PAUD pasca bencana dan tanggap darurat. Program-program tersebut mendorong tumbuhnya lembaga PAUD dan Taman Kanak-Kanak (TK)

Pemerintah juga mendorong agar setiap kota/kabupaten memiliki Lembaga PAUD holistik integratif (PAUD HI), yang bekerja sama dengan posyandu agar pelayanan kepada anak usia dini memenuhi kebutuhan akan pendidikan, pengasuhan, perlindungan, kesehatan, dan gizi. Selain itu, PAUD HI juga dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain seperti Penyuluh Keluarga Berencana (PKB)/Bina Keluarga Balita (BKB), Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dan Puskesmas.

Melalui kemitraan dengan berbagai pihak, keberadaan PAUD HI diharapkan dapat mendorong penurunan prevalensi stunting pada balita yang juga menjadi salah satu prioritas pemerintah saat ini. Dorongan ini sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2013 tentang Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif. Pada tahun 2019, sudah 91,4% kabupaten/kota memiliki lembaga tersebut.

Secara umum angka putus sekolah (APTS) pada jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK periode 2015-2019 menunjukkan tren penurunan. Misalnya, perbandingan antara APTS tahun 2016 dengan APTS tahun 2019 menunjukkan penurunan yang signifikan, terutama pada jenjang SMA. APTS SMA tahun 2016 telah turun sebesar 72%  dari 7.01% menjadi 1,97% di tahun 2019.

Capaian penurunan APTS yang cukup signifikan antara tahun 2015-2018 terutama di jenjang sekolah menengah merupakan hasil dari salah satu program prioritas nasional yaitu Program Indonesia Pintar (PIP). PIP merupakan salah satu paket kebijakan sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar (PIP), dan Program Indonesia Sehat untuk Membangun Keluarga Produktif, bersama dengan Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS) dan Program Indonesia Sehat (PIS).

PIP melalui Kartu Indonesia Pintar merupakan pemberian bantuan tunai pendidikan kepada siswa Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan berusia 6 (enam) - 21 (dua puluh satu) tahun dari keluarga miskin atau rentan miskin dalam membiayai pendidikannya, sehingga mereka dapat mengakses layanan pendidikan sampai menamatkan pendidikan menengah. Pada tahun 2019, PIP diberikan kepada 18,39 juta siswa.

Selain PIP, pemerintah juga melaksanakan program-program lainnya untuk memastikan anak usia sekolah berada pada satuan pendidikan seperti: Bantuan Operasional Sekolah, pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) dan Ruang Kelas Baru (RKB), pemberian beasiswa bagi siswa berbakat dan berprestasi, asrama sekolah, dan rehabilitasi ruang kelas.

Turunnya angka putus sekolah melalui berbagai program yang dijalankan Kemendikbud berkontribusi pada meningkatnya angka partisipasi kasar (APK) jenjang SMP dan SMA sederajat, walaupun masih belum dapat memenuhi target Renstra Kemendikbud 2015-2019 yang lalu.

Terdapat fluktuasi peningkatan APK SMA/SMK/MA Sederajat dalam kurun waktu tahun 2014-2019. Akan tetapi, APK tahun 2019 sebesar 83,98% telah melampaui APK tahun 2014 sebesar 74,3% (tujuh puluh empat koma tiga persen). Demikian juga, APK SMP/MTs Sederajat telah meningkat dari 88,6% di tahun 2014 menjadi 90,6% di tahun 2019. Program Bantuan Operasional Sekolah Menengah (BOS SM), yang sebelumnya disebut BKMM atau BOMM, memberikan sumbangsih dalam peningkatan APK ini.

Dalam kurun waktu yang sama rata-rata lama sekolah juga meningkat seiring perkembangan APK tersebut di atas. Rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 (lima belas) tahun ke atas sudah dapat mencapai target Renstra Kemendikbud 2015-2019.

Pergerakan rata-rata lama bersekolah menurut jenis kelamin, terlihat pergerakan yang konsisten antara ratarata lama bersekolah laki-laki dan perempuan. Walaupun rata-rata lama sekolah perempuan masih berada di bawah rata-rata lama sekolah lakilaki, peningkatannya masih lebih tinggi (peningkatan 0,57 tahun antara 2015-2019) dibanding laki-laki (peningkatan 0,47 tahun).

APK pendidikan tinggi juga menunjukkan tren yang fluktuatif. Sejak tahun 2015, APK belum mencapai target Renstra Kemendikbud 2015-2019 yang lalu. Ppencapaian APK berada sedikit di bawah target Renstra Kemendikbud dalam kurun waktu 2015 – 2019, dengan rata-rata selisih sekitar 1,5%. Meskipun masih di bawah target Renstra Kemendikbud, pencapaian APK pendidikan tinggi terus mengalami peningkatan dari 25,26% pada awal Renstra Kemendikbud yang lalu (tahun 2015) menjadi 30,28%  pada penghujung Renstra Kemendikbud (2019).

Kenaikan yang terus menerus ini dapat dikaitkan dengan program Bidikmisi yang dijalankan oleh Pemerintah. Bidikmisi memberikan bantuan biaya pendidikan kepada calon mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi, namun memiliki potensi akademik baik. Peningkatan APK pada tingkat SMP/MTs Sederajat, SMA/SMK/MA Sederajat dan Pendidikan Tinggi masih merupakan pekerjaan yang perlu diprioritaskan dalam Renstra Kemendikbud 2020-2024.

Dengan kesadaran bahwa mutu pendidikan belum sepenuhnya merata di seluruh penjuru Tanah Air, berbagai upaya telah dilakukan untuk: (1) menjamin mutu pendidikan melalui akreditasi sekolah dan lembaga pendidikan lainnya dan (2) meningkatkan mutu guru secara berkelanjutan.

 

Pada sektor pendidikan tinggi, akreditasi program studi terus menunjukkan kemajuan, bahkan melampaui target Renstra Kemendikbud 2015-2019. Capaian prodi terakreditasi minimal B pada tahun 2015 sebesar 52,64% dari total prodi. Namun, pada tahun 2019, capaian akreditasi telah mencapai 68%, jauh di atas target Renstra Kemendikbud sebesar 46% (empat puluh enam persen).

Penambahan guru yang tersertifikasi diharapkan akan berdampak pada peningkatan hasil pembelajaran siswa. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, pola sertifikasi guru dalam jabatan diubah menjadi Pendidikan Profesi Guru (PPG).

Dibandingkan dengan pola sertifikasi sebelumnya, PPG memerlukan waktu yang lebih lama (bertambah panjang dari 10 hari menjadi 6 bulan) dan memerlukan biaya per unit yang lebih tinggi (dari Rp 2.500.000,00 menjadi Rp 7.500.000,00). Pendidikan Profesi Guru melibatkan LPTK sebagai pelaksananya dan disertai dengan Uji Tulis Nasional (UTN) sebagai syarat kelulusan. Dengan demikian, mutu dan profesionalisme guru dapat lebih terjamin. Meskipun biaya PPG membesar, selama periode 2015—2019, jumlah guru yang telah tersertifikasi terus bertambah.

 

Jumlah guru yang tersertifikasi pada tahun 2019 naik sebanyak 39.480 (tiga puluh sembilan ribu empat ratus delapan puluh) guru dari tahun sebelumnya. Dengan bertambahnya guru yang tersertifikasi, mutu pembelajaran siswa juga dapat diharapkan meningkat. Namun demikian, kapasitas pelaksanaan PPG saat ini belum maksimal untuk menyelesaikan sertifikasi bagi guru PNS dan guru tetap pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang diangkat sebelum tahun 2016.