Minggu, 13 Desember 2020
sejarah maritim, negara maritim, maritim, hari nusantara
Tanggal 13 Desember merupakan hari Nusantara. Kali ini perlu melihat sejarah awal maritim sebagai dasar tanah air Indonesia yang disebut dengan nusantara.
Menjadi negara maritim yang mandiri, maju dan kuat adalah cita-cita yang harus kita wujudkan bersama. Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang besar, dengan luas wilayah lautnya mencapai 6.400.000 km2 dari total wilayah NKRI seluas 8.300.000 km2, atau lebih dari 77% dari luas total wilayah NKRI.
Wilayah laut ini meliputi Zona Ekonomi Eksklusif, laut teritorial, perairan kepulauan, perairan pedalaman, zona tambahan, dan perairan landas kontinen. Panjang garis pantai Indonesia mencapai lebih dari 108.000 km dengan jumlah pulau tidak kurang dari 17.504 buah. Hal ini memberikan prospek ekonomi yang tinggi, yang berasal dari sumber daya alam yang dikandung dan jasa lingkungan yang diberikan. Namun demikian pada saat ini Indonesia belum mampu memanfaatkan semua potensi ekonomi maritim yang dimiliki secara maksimal.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 25A telah menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Kepulauan yang berciri Nusantara, Misi ke-7 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 berbunyi: mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan yang maju, mandiri dan kuat, berbasiskan kepentingan nasional. Sementara itu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dalam Ayat (1) Pasal 13 juga menyatakan tujuan pembangunan kelautan adalah untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional.
Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden RI ke-7 menyatakan tekadnya untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Ini sesungguhnya merupakan pernyataan visi geopolitik dan sebagai penegasan manifestasi tujuan nasional, sekaligus sebagai momentum penerapan strategi pembangunan nasional berbasiskan dan/atau berorientasi kemaritiman. Upaya penguatan ekonomi maritim dilakukan melalui pembenahan di hulu pembangunan industri dan sistem logistik secara nasional.
Penguatan ekonomi maritim sebagai sasaran akhir pembangunan kemaritiman harus diawali dengan menegakkan kedaulatan di laut dan didukung oleh sumberdaya pembangunan yang memadai. Berdaulat di laut menjadi prasyarat, sementara itu kapasitas dan daya saing sumber daya menjadi modal utama dalam pembangunan kemaritiman. Pemanfaatan sumber daya kemaritiman dalam pembangunan memiliki karakteristik high risk, high tech, dan high cost.
Namun demikian jika dikelola dengan benar menjanjikan manfaat dan keuntungan yang tinggi. Oleh karena itu pemanfaatannya harus didukung dengan sumberdaya manusia yang kompeten, teknologi yang handal dan pendanaan yang mencukupi. Ketersediaan sumberdaya manusia yang berkarakter dan inovatif, serta sumber pendanaan yang cukup, akan menentukan keberhasilan pembangunan kemaritiman secara ekonomi.
Sejarah kemaritiman Indonesia membuktikan bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia adalah bangsa bahari sejati dan pelaut ulung yang mampu menaklukkan ganasnya ombak samudera. Fakta sejarah memperlihatkan ditemukannya jambangan keramik berisi cengkih dalam penggalian situs kuno di kota Terqa, Efrat Tengah, Syria yang berasal dari masa 1721 SM. Cengkih adalah rempah khas Indonesia. Pelaut-pelaut Nusantara telah membawa rempah sampai Timur Tengah.
Penelusuran DNA di Institut Biologi Molekuler, Universitas Massey, Selandia Baru memperlihatkan 30 sampel DNA dari Madagaskar identik dengan perempuan Indonesia. Ini terjadi karena pada 1200 tahun yang lalu sejumlah perempuan Indonesia ikut dalam pelayaran para suaminya ke Afrika Timur.
Sejarah juga menggambarkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut yang tangguh dan sekaligus pejuang yang pemberani memperjuangkan hak-haknya. Ini dapat dilihat dari sejarah kepahlawanan tokoh-tokoh seperti Pati Unus dari Kerajaan Demak, pada tahun 1521 memimpin penyerbuan ke Malaka melawan pendudukan Portugis.
Kemudian, Laksamana Malahayati dari Aceh, pada tahun 1599 memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah syahid) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal. Kemudian, Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa, pada tahun 1670 memimpin perlawanan kepada VOC yang hendak menguasai jalur rempah.
Selanjutnya beberapa kerajaan nusantara pada masa lampau pernah mengalami kejayaan dan menjadi pusat peradaban maritim yang disegani dunia, hal ini dapat dilihat antara lain Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 adalah salah satu bukti kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara. Daerah kekuasaan Sriwijaya membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa Barat, dan kemungkinan Jawa Tengah.
Selain itu, Kerajaan Majapahit, berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M, adalah salah satu bukti kerajaan nusantara yang bervisi maritim. Menurut Negarakertagama, kekuasaan Majapahit terbentang di Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia timur.
Dari sejarah juga dapat disimpulkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia telah unggul dalam penguasaan teknologi maritim. Ini dapat dilihat dari fakta seperti lima lukisan relief kapal yang terdapat pada dinding candi Borobudur, abad ke-9 menceritakan fakta sejarah tingginya budaya maritim Indonesia, yaitu teknologi pembuatan kapal Samudera Raksa.
Kapal tradisional Phinisi, menurut naskah Lontarak I Babad La Lagaligo pada abad ke 14, adalah kapal asli karya cipta nenek moyang Bangsa Indonesia. Pada tahun 1986 replika perahu layar tradisional Phinisi, Phinisi Nusantara, terbukti berhasil menyeberangi Samudera Pasifik dari Jakarta menuju Vancouver, Kanada, dibawah Kapten Gita Ardjakusuma beserta 11 orang awak kapalnya.
Sejarah juga menggambarkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia telah memiliki visi maritim yang maju. Visi maritim yang diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia melalui Sumpah Palapa, adalah ikrar yang diucapkan oleh Mahapatih Gajahmada karena citacita yang kuat untuk mempersatukan nusantara di bawah kendali kerajaan yang ada di dalamnya dan bukan dikendalikan oleh kerajaan di daratan Benua Asia.
"Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa." (Gajah Mada, Padmapuspita, 1966:38). Ini visi nusantara, atau negara kepulauan, yang telah ada sejak jaman kerajaan. Kukuhnya ucapan ini dalam sejarah Nusantara membuat kata "palapa" diabadikan menjadi nama satelit komunikasi milik Indonesia.
Kemudian, Bhinneka Tunggal Ika, secara harfiah diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun beranekaragam tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama, dan kepercayaan. Kata Bhinneka Tunggal Ika dikutip dari sebuah kakawin Jawa Kuno yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Kakawin ini menjadi istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha. Jati diri Indonesia adalah negara kepulauan yang penuh dengan keanekaragaman.
Tanah Air, adalah visi kewilayahan yang disosialisasikan dalam kongres pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada kongres pemuda itu diperdengarkan untuk pertama kali lagu Indonesia Raya karya W.R Supratman. Dalam lirik lagu Indonesia Raya terdapat kata tanah air. Ini tidak lain dan tidak bukan adalah visi negara kepulauan yang wilayahnya terdiri dari unsur tanah dan unsur air.