Pustaka Lestari

Kemajuan dan tantangan pelaksanaan BPfA (Beijing Platform for Action)

Selasa, 15 Desember 2020 RPJMN, BPfA, Beijing Platform for Action

 

Akselerasi Inpres no.9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan nasional diperkuat dengan adanya Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan disempurnakan dengan Undang-undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa, yang mengubah paradigma desa sebagai subyek utama pembangunan, dengan pemberian kewenangan berdasarkan asas di antaranya rekoginisi, subsidiaritas, keberagaman, kesetaraan.

Komitmen pemerintah terhadap kesetaraan gender melalui Nawacita berbunyi “mempro-mosikan peran dan keterwakilan perempuan dalam politik” dan “pengembangan dan perlindungan perempuan, anak-anak dan kelompok-kelompok terpinggirkan lainnya”. Sedangkan untuk pelaksanaan pembangunan, komitmen ini tercantum dalam berbagai dokumen pembangunan.

Di antaranya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019 Pertama: meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan di berbagai bidang pembangunan; Kedua: meningkatkan perlindungan bagi perempuan dari berbagai tindak kekerasan, termasuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO); Ketiga: meningkatkan kapasitas kelembagaan Pengarusutamaan Gender (PUG) dan kelembagaan perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan.

Komitmen pemerintah yang diwakili oleh BAPPENAS ditunjukkan dalam perencanaan pembangunan berkelanjutan tahun 2025 dengan terbitnya Peraturan Presiden No 59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs). PP ini menyebutkan perlunya penyusunan peta jalan Rencana Aksi Nasional (RAN) lima tahunan, RPJMN tahun 2015 - 2019 hingga Rencana Aksi Daerah (RAD) untuk daerah.

Ada 120 indikator TPB yang relevan dengan isu gender, yaitu pada tujuan. Dimensi kesetaraan gender/ pengarusutamaan gender (PUG) dimasukkan ke dalam strategi pembangunan dan dokumen RPJMN yang mencakup strategi pengurangan kesenjangan di daerah. Dalam strategi ini disebutkan juga bahwa pemerintah daerah wajib memasukkan dimensi perlindungan anak, kesetaraan gender, dan mekanisme anggaran.

UN Women menjadikan Presiden Republik Indonesia salah satu Impact Champion HeforShe dunia. Sebagai tugas utama Impact Champion HeforSHe, Presiden Joko Widodo dalam melaksanakan pemerintahannya perlu mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan agar menjadi isu lintas sektoral, yang membutuhkan partisipasi penuh dari semua sektor dan semua elemen masyarakat, termasuk laki-laki. Dalam inisiatif untuk isu lintas sektor ini ada tiga agenda utama, yaitu: meningkatkan keterwakilan perempuan (dalam politik); mengurangi angka kematian ibu; dan mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan (KtP).

Tantangan berkaitan dengan aspek regulasi adalah masih kurangnya kesamaan data dan informasi yang digunakan untuk rumusan program dan kegiatan. Di samping itu, masih belum/ kurang tersedianya data terpilah (jenis kelamin) termasuk data kekerasan terhadap perempuan yang komperehensif, serta masih kurangnya kemampuan menerapkan metode analisis gender yang berdampak pada kesulitan menyusun program yang responsif gender.

Tantangan lain adalah masih kentalnya budaya patriarki dan kesalahan interpretasi (ajaran) agama yang berdampak pada sedikitnya jumlah perempuan yang berpartisipasi dalam pengambilan keputusan/kebijakan publik.

KPPPA merupakan focal point dalam rangka mengkoordinasikan upaya-upaya pengarusutamaan gender lintas Kementerian dan Lembaga, serta pemerintah daerah. Nomenklatur KPPPA saat ini didirikan pada tahun 2008, secara bertahap mengembangkan tanggung jawabnya untuk mempromosikan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Anggaran dan kapasitas sumber daya manusia telah meningkat menjadi dua kali lipat lebih, dari Rp. 214 miliar pada tahun 2014 menjadi Rp. 553 miliar pada tahun 2018.

Kenaikan anggaran ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam rangka meningkatkan kapasitas, cakupan, dan kualitas layanan KPPPA terhadap perempuan dan anak. Selain itu, ada peningkatan sumber daya manusia yang signifikan dari 293 staf pada tahun 2014 menjadi 400 staf pada tahun 2018.

Penguatan kelembagaan nasional juga dilakukan di tingkat pemerintah daerah. Pada tahun 2018, terdapat 33 lembaga yang berfokus pada pemberdayaan perempuan dan masalah perlindungan anak di tingkat provinsi dan 514 lembaga di tingkat kota/ kabupaten.

Unit atau titik fokus pada perempuan dan anak juga dibentuk di bawah Kementerian / Lembaga terkait, yaitu Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil – Menengah, dan Polisi Nasional Indonesia. Pemerintah provinsi juga diberi mandat untuk mengambil tindakan spesifik dalam mempromosikan hak-hak perempuan dan anak, termasuk pemberdayaan perempuan.

Pemerintah bekerja sama dengan NHRI (National Human Rights Institutions), seperti Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang secara khusus diberi mandat untuk mempromosikan perempuan dan hak-hak anak, serta untuk mempromosikan penghapusan semua bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia. Selain itu, pemerintah juga bekerja dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ombudsman Indonesia, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam rangka menangani berbagai masalah yang berkaitan dengan promosi dan perlindungan hak perempuan

Pada tahun 2016, KPPPA meluncurkan program yang disebut Program 3Ends. Program ini bertujuan untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak; perdagangan manusia; dan hambatan untuk keadilan ekonomi bagi perempuan. Beberapa contoh konkret kegiatan program ini adalah: Kabupaten / Kota Ramah Anak atau Kabupaten / Kota Layak Anak (KKLA); peningkatan kesadaran dan pelatihan untuk pemangku kepentingan terkait (termasuk penegak hukum dan masyarakat); serta pelatihan dan lokakarya untuk industri rumah tangga.

Strategi pengarusutamaan gender telah diintegrasikan ke dalam perencanaan pembangunan nasional jangka panjang, menengah dan pendek. Salah satu bentuk operasionalisasi dari strategi ini adalah untuk mengimplementasikan perencanaan dan penganggaran responsif gender (Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender – PPRG). Melalui PPRG dimungkinkan memantau komitmen dan jumlah alokasi anggaran untuk meningkatkan kesetaraan gender dan pemberdayakan perempuan. Kementerian keuangan, Bappenas, Kementerian Dalam Negeri dan KPPPA merupakan Kementerian/ Lembaga yang mendampingi akselerasi PUG dalam anggaran.

Komitmen Pemerintah terhadap penguatan kelembagaan dalam rangka mendorong kinerja KPPPA ditunjukkan dengan kenaikkan anggaran sampai 400% pada tahun anggaran 2019 dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Pelaksanaan Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan Gender melalui Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (Stranas PPRG) yang dilaksanakan tahun 2016 masih mengalami tantangan dalam hal: (1) meningkatkan pemahaman dan komitmen pengambil kebijakan tentang PPRG; (2) meningkatkan kapasitas SDM melalui pelatihan dan pendampingan di K/L/SKPD; (3) meningkatkan ketersediaan dan pemanfaatan data terpilah (jenis kelamin) dalam setiap proses perencanaan dan penganggaran pembangunan; (4) menyempurnakan dasar hukum pelaksanaan PPRG; dan (5) meningkatkan koordinasi antar K/L.

Pemerintah pusat dan daerah mengeluarkan seperangkat peraturan untuk memberikan perlindungan, rehabilitasi bagi perempuan dan anak dalam situasi konflik serta merumuskan dan menetapkan RAN yang terdiri dari tindakan pencegahan dan perlindungan: (1) Peraturan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat No. 7 Tahun 2014 tentang Kelompok Kerja Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial, (2) Peraturan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat No. 86 Tahun 2014 tentang Rencana Aksi Nasional untuk Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN-P3AKS) 2014-2019.

Undang-undang No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Mental, mendukung peran keluarga dalam rangka memajukan dan menjaga kesehatan mental para anggota keluarga. Undang-undang ini mengakui kewajiban rumah sakit jiwa agar menyediakan ruang terpisah untuk perempuan dan anak (korban kekerasan).

Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan amandemennya memberikan mandat kepada pemerintah pusat dan daerah untuk menetapkan kebijakan terkait pemberdayaan berbagai isu seperti perlindungan perempuan dan anak, kualitas hidup perempuan, pemenuhan hak anak, serta sistem data bagi perempuan dan anak.

Undang-undang No. 31 Tahun 2014 mengubah Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Korban dan Saksi dengan memberikan lebih banyak perlindungan kepada perempuan dan anak sebagai korban dan saksi sebelum serta selama persidangan berlangsung. Undang-undang juga memberikan kemungkinan bagi korban untuk mendapatkan ganti rugi atas kehilangan yang diderita.

Undang-undang No. 35 Tahun 2014 dan Undang-undang No. 17 Tahun 2016 mengubah Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang memperkuat perlindungan terhadap anak, dengan memasukkan partisipasi pemerintah daerah serta memberikan lebih banyak sanksi kepada pelanggar tindak kekerasan seksual terhadap anak. Undang-undang ini menyebutkan hak bagi korban, termasuk perlindungan dari para pemangku kepentingan yang relevan, layanan kesehatan, kerahasiaan kasus, bantuan dari pekerja sosial dan pejabat hukum serta bimbingan spiritual.

Undang-undang No.12 Tahun 2017 meratifikasi Konvensi ASEAN melawan tindak pidana perdagangan orang, terutama anak-anak dan perempuan. Ratifikasi ini memperkuat komitmen Indonesia untuk melawan perdagangan perempuan dan anak-anak.

Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak (Stranas PKTA) 2016-2020 yang berfokus pada kebutuhan berpartisipasi aktif dalam pertumbuhan anak hingga remaja untuk mencegah kekerasan terhadap anak. Stranas ini membantu pemerintah mengumpulkan data yang lebih baik dan mendukung berkaitan dengan kekerasan terhadap anak, memperkuat program pencegahan serta menyelaraskan kebijakan di tingkat pemerintah pusat dan daerah.

Rencana Aksi Nasional Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RAN-PTPPO) 2015-2019, dikeluarkan melalui Peraturan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan No. 2 Tahun 2016. Rencana aksi ini berfungsi sebagai pedoman bagi satuan tugas dalam rangka mencegah dan menangani perdagangan orang. RANPTPPO ini dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain adalah pencegahan dan partisipasi anak, rehabilitasi kesehatan dan rehabilitasi sosial, pengembalian dan reintegrasi sosial.

Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak (RAN-PA) 2015-2019, yang bertujuan untuk memastikan komitmen terhadap perlindungan anak, membangun kerangka kerja yang responsif untuk kebijakan nasional dan memberikan arahan bagi pengembangan kelembagaan di antara semua pemangku kepentingan yang relevan, serta menetapkan arahan bagi para pemangku kepentingan dalam mengembangkan prioritas kebijakan yang menghasilkan pengaruh terbesar dalam memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak.

Peta Jalan untuk Kembalinya dan Pemberdayaan TKIU (Pekerja Migran Indonesia yang Tidak Berdokumen) bertujuan untuk melindungi warga negara Indonesia yang tinggal di negara lain dan / atau tidak memiliki dokumen perjalanan. Warga negara tersebut, termasuk perempuan, diberdayakan melalui berbagai program pengembangan kapasitas agar mereka dapat menemukan pekerjaan yang lebih baik ketika kembali ke Indonesia.

Kebijakan Strategis tentang Pangan dan Gizi (KSPG) sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2017 mengakui peran penting makanan dan gizi dalam menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan kompetitif. Kebijakan ini berfokus pada distribusi tanggung jawab di antara pemerintah juga akademisi, asosiasi profesi, media massa dan sektor swasta.

Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak / RAN-PBPTA 2013-2022, bertujuan agar Indonesia bebas dari pekerja anak pada tahun 2022. Dilaporkan bahwa pada 2017, Indonesia telah berhasil mengurangi 98.956 pekerja anak dan telah menempatkan mereka kembali ke sekolah umum atau sekolah kejuruan.

Rencana Aksi Nasional tentang Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 yang digunakan untuk mengatur, merumuskan dan mengoordinasikan kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah dalam rangka mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan pada tahun 2030 sebagaimana diadopsi oleh negara-negara anggota PBB pada tahun 2015 yang lalu.

Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan (SNAK – Access to justice) 2016-2019, yang berfokus pada bantuan hukum dan akses kepada layanan dasar serta hak-hak bagi masyarakat miskin, rentan dan terpinggirkan; mekanisme penyelesaian sengketa; serta hak atas tanah dan pengelolaan sumber daya alam.

Tantangan utama yang dihadapi: (a) masih kurang atau tidak adanya data nasional yang dapat memberikan gambaran umum mengenai prevalensi dan spektrum kekerasan terhadap perempuan dan anak; (b) masalah pengetahuan (tentang isu) gender yang belum baik, khususnya staf (SDM) pemerintah daerah; (c) dibutuhkan keterlibatan ulama dan tokoh agama, mengingat banyaknya mitos dan nilai-nilai sosial masyarakat yang menghambat pengetahuan dan peran perempuan pada kesehatan terutama kesehatan reproduksi perempuan.

  *Diolah dari berbagai sumber oleh tim Wakil Ketua MPR RI