Pustaka Lestari

Status Kepemilikan Rumah dan Lingkungan yang Sehat

 

Pandemi Covid-19 yang melanda negara-negara di dunia termasuk Indonesia sejak awal tahun 2020 berdampak pada banyak aspek, salah satunya pada cara menjalani kehidupan. Dalam rangka memutus rantai penularan Covid-19, banyak negara di dunia mengambil kebijakan pengurangan mobilitas penduduk. Salah satu caranya dengan mengurangi aktivitas di tempat kerja, sekolah, dan tempat ibadah. Masyarakat diminta untuk bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah.

Sebagai dampak dari kebijakan tersebut, miliaran orang di dunia “dipaksa” untuk lebih banyak menjalani kehidupan di rumah saja agar aman dan terhindar dari virus Corona jenis baru ini. Selain beraktivitas dari rumah, masyarakat juga diminta untuk selalu mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat dalam lingkup pribadi dan lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, masyarakat diharapkan bisa tetap sehat dan produktif.  Perubahan yang dibawa pandemi Covid-19 ini kembali menegaskan akan kebutuhan rumah dan lingkungan yang sehat sebagai tempat hidup dan beraktivitas.

Dalam situasi pandemi, rumah dan lingkungan yang sehat menjadi salah satu benteng pertahanan agar masyarakat terhindar dari virus baru ini. Sebagai respons dari kebutuhan itu, rumah sepatutnya tidak hanya dibangun dan disediakan dengan hanya mempertimbangkan pemenuhan syarat bangunan fisik semata. Aspek infrastruktur dasar yang melengkapinya seperti air bersih dan sanitasi serta kesehatan lingkungannya juga perlu menjadi pertimbangan utama.

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dari pernyataan ini terlihat bahwa bertempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi untuk dapat hidup dengan layak dan sejahtera. Pemenuhan kebutuhan bertempat tinggal wajib dilindungi oleh negara melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan

Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan akses masyarakat secara bertahap terhadap perumahan dan permukiman layak dan aman yang terjangkau untuk mewujudkan kota yang inklusif dan layak huni. Dalam RPJMN 2020-2024, ditargetkan pada tahun 2024 persentase rumah tangga yang menempati hunian layak dan terjangkau sebesar 70 persen. Upaya ini merupakan salah satu strategi yang dirancang untuk memperkuat infrastruktur untuk mendukung pengembangan ekonomi dan pelayanan dasar yang merupakan salah 1 (satu) dari 7 (tujuh) agenda pembangunan.

Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman). Memiliki tempat tinggal merupakan kebutuhan mendasar bagi seluruh manusia. Idealnya setiap keluarga dapat menempati rumah atau bangunan tempat tinggal milik sendiri.

Terdapat 5 (lima) status kepemilikan bangunan tempat tinggal yang ditempati dalam Susenas, yakni milik sendiri, sewa atau kontrak, bebas sewa, dinas, dan lainnya. Dalam 3 (tiga) tahun terakhir, persentase rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri relatif tidak mengalami perubahan, terdapat sebanyak 8 (delapan) dari 10 (sepuluh) rumah tangga menempati bangunan tempat tinggal milik sendiri. Pada tahun 2020, persentase rumah tangga yang menempati bangunan tempat tinggal milik sendiri di daerah perkotaan (72,04 persen) lebih rendah dibandingkan di daerah perdesaan (90,35 persen)

Selain menempati bangunan tempat tinggal milik sendiri, banyak rumah tangga di daerah perkotaan menempati bangunan tempat tinggal dengan cara mengontrak/menyewa. Sebanyak 15 dari 100 rumah tangga menempati bangunan tempat tinggal dengan cara mengontrak/menyewa di daerah perkotaan

Daerah perkotaan umumnya merupakan daerah tujuan penduduk yang tinggal di daerah perdesaan untuk melanjutkan pendidikan ataupun mencari pekerjaan. Banyak di antara mereka yang akhirnya tinggal di perkotaan dengan mengontrak/menyewa rumah. Ditambah dengan harga tanah dan rumah di daerah perkotaan yang jauh lebih mahal, umumnya membuat rumah tangga kesulitan untuk dapat memiliki rumah/bangunan tempat tinggal sendiri. Meski demikian, diperlukan kajian lebih lanjut untuk menemukan penyebab tingginya persentase penduduk yang menempati bangunan tempat tinggal dengan cara mengontrak/menyewa di daerah perkotaan

Apabila ditilik berdasarkan status ekonomi rumah tangga yang dilihat dari kuintil pengeluaran per kapita sebulan, terlihat bahwa semakin tinggi status ekonomi rumah tangga, semakin rendah persentase rumah tangga yang menempati bangunan tempat tinggal milik sendiri

Menurut Syahrial (2006), dalam menentukan pilihan tipe kepemilikan rumah, rumah tangga perkotaan di Indonesia lebih mempertimbangkan pengeluaran bukan makanan dibandingkan pengeluaran total sebagai proksi dari pendapatan. Berdasarkan hal ini, dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai alasan dibalik semakin rendahnya persentase rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri di daerah perkotaan seiring dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan mereka.

Syahrial (2006) juga menemukan bahwa akses Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang lebih luas kepada masyarakat diyakini akan dapat meningkatkan kepemilikan rumah perkotaan di Indonesia. Terdapat 2 (dua) kendala besar dari peningkatan akses terhadap KPR ini yaitu adanya keterbatasan pendapatan sehingga menimbulkan adanya kendala uang muka dari KPR (downpayment constraint) dan konsekuensi meningkatnya pengeluaran untuk pembayaran kredit sebagai konsekuensi dari harga rumah dan tingkat suku bunga.

Untuk meningkatkan kepemilikan rumah, pemerintah telah membangun berbagai program seperti KPR bersubsidi dan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yakni dukungan fasilitas likuitas pembiayaan perumahan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Hal yang menarik terkait rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri juga terlihat pada tingkat pendidikan Kepala Rumah Tangga (KRT). Sebanyak 9 (sembilan) dari 10 (sepuluh) rumah tangga dengan KRT tidak/belum pernah sekolah dan tidak tamat SD/sederajat menempati rumah milik sendiri. Sementara itu, pada pendidikan yang lebih tinggi hanya sebanyak 7 (tujuh) dari 10 (sepuluh) rumah tangga dengan KRT berpendidikan SMA/sederajat menempati rumah milik sendiri.

DKI Jakarta merupakan provinsi dengan persentase rumah tangga yang menempati bangunan tempat tinggal milik sendiri terendah). Sebanyak 45 dari 100 rumah tangga menempati bangunan tempat tinggal milik sendiri. Lebih dari sepertiga rumah tangga yang tinggal di DKI Jakarta menempati bangunan tempat tinggal dengan cara mengontrak/menyewa. DKI Jakarta yang merupakan ibu kota negara dan kota megapolitan menarik banyak orang dari daerah untuk merantau dan menyebabkan tingginya permintaan hunian.

Bersamaan dengan hal tersebut, sempitnya lahan untuk perumahan di ibu kota ini juga menyebabkan mahalnya harga rumah. Hal ini menyebabkan banyak rumah tangga tidak memiliki pilihan lain selain mengontrak atau menyewa. Berbanding terbalik dengan DKI Jakarta, Jawa Tengah merupakan provinsi dengan persentase rumah tangga yang menempati bangunan tempat tinggal milik sendiri paling tinggi, yakni mencapai 89,20 persen.

Jaminan hak atas tanah dan hak memiliki properti sangat penting untuk mengurangi kemiskinan karena dapat mendukung pembangunan ekonomi dan inklusi sosial. Kepemilikan tanah dan hak memiliki properti yang terjamin memungkinkan orang di daerah perkotaan dan di perdesaan untuk dapat berinvestasi dalam perbaikan rumah dan mata pencaharian. Negara bertanggung jawab melindungi hak atas tanah dan memastikan orang tidak digusur secara sewenang-wenang dan hak atas tanahnya tidak dilanggar (UN Habitat, 2018).

Hak atas tanah yang didasari oleh dokumen hukum dan yang memiliki hak atas tanah berdasarkan jenis kelamin dan tipe kepemilikan juga merupakan salah satu indikator TPB, yakni Indikator 1.4.2. Indikator ini digunakan untuk mengukur pencapaian Tujuan 1 dari TPB yaitu mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk dimanapun

Pada tahun 2020 di Indonesia kurang dari separuh rumah tangga yang menempati bangunan tempat tinggal milik sendiri memiliki bukti kepemilikan tanah berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Anggota Rumah Tangga (ART). Jenis bukti kepemilikan tanah yang paling banyak dimiliki rumah tangga selanjutnya adalah lainnya. Sebanyak 29 dari 100 rumah tangga yang menempati bangunan tempat tinggal milik sendiri memiliki jenis bukti kepemilikan tanah berupa lainnya

Jenis bukti kepemilikan tanah yang termasuk dalam lainnya adalah sertifikat selain SHM seperti Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Sewa Rumah Susun (SHSRS) serta surat bukti lainnya seperti girik, letter C, dll. Selain itu, masih terdapat 13 dari 100 rumah tangga yang tidak mempunyai bukti kepemilikan tanah dari bangunan yang ditempati. Apabila dilihat menurut tipe daerah tempat tinggal, di daerah perdesaan persentase rumah tangga yang memiliki bukti kepemilikan tanah berupa SHM atas nama ART jauh lebih rendah dibandingkan di daerah perkotaan.

Selama 3 (tiga) tahun terakhir terdapat peningkatan persentase rumah tangga yang memiliki bukti kepemilikan tanah berupa SHM atas nama ART. Untuk memberikan jaminan perlindungan hukum atas kepemilikan tanah yang dimiliki masyarakat, program prioritas nasional berupa Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) telah diluncurkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.

PTSL adalah proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, yang dilakukan secara serentak dan meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftarkan di dalam suatu wilayah desa atau kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu, yang meliputi pengumpulan data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya (Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis dan Lengkap).

Dari sisi status ekonomi/tingkat kesejahteraan rumah tangga yang ditunjukkan dengan kuintil pengeluaran rumah tangga, seiring dengan semakin tingginya status ekonomi rumah tangga, semakin tinggi pula persentase rumah tangga yang menempati bangunan tempat tinggal milik sendiri dan memiliki bukti kepemilikan tanah berupa SHM atas nama ART. Sebanyak 37 dari 100 rumah tangga dengan kuintil pengeluaran terendah menempati bangunan tempat tinggal milik sendiri dan memiliki bukti kepemilikan tanah berupa SHM atas nama ART

Pola yang sama terlihat pada tingkat pendidikan yang ditamatkan KRT. Seiring dengan semakin tingginya tingkat pendidikan yang ditamatkan KRT, semakin tinggi persentase rumah tangga yang menempati bangunan tempat tinggal milik sendiri dan memiliki bukti kepemilikan tanah berupa SHM atas nama ART. Sebanyak 7 (tujuh) dari 10 (sepuluh) rumah tangga dengan KRT yang tamat perguruan tinggi menempati bangunan tempat tinggal milik sendiri dan memiliki bukti kepemilikan tanah berupa SHM atas nama ART.

Selain SHM atas nama ART, jenis bukti kepemilikan tanah yang banyak dimiliki oleh rumah tangga, adalah surat bukti lainya (Girik, Letter C dll). Secara umum kondisi ini terjadi di semua provinsi, hanya Provinsi Riau yang mempunyai pola yang berbeda. Di Provinsi Riau sertifikat selain SHM yang persentasenya juga tinggi yaitu SHGB dan SHSRS mencapai 32,72 persen.

Hal ini terkait dengan Daerah Industri Pulau Batam yang mana seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan hak pengelolaan kepada Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973). Selain itu ada 2 (dua) provinsi yang bukti kepemilikan tanahnya mempunyai pola yang berbeda di mana persentase tertinggi adalah tidak punya sertifikat yaitu Provinsi Papua dan Sumatera Barat. Hal ini dapat dikaitkan dengan hak ulayat atas wilayah adat milik masyarakat hukum adat Papua.

*Diolah dari berbagai sumber oleh tim Wakil Ketua MPR RI