Rabu, 27 Maret 2019
berita
Pengajuan Ratu Kalinyamat sebagai salah satu penerima gelar kehormatan pahlawan nasional terbilang sulit. Sudah dua kali, yakni pada 2005 dan 2016 pengajuan tersebut tidak diterima, atau lebih tepatnya tidak memenuhi syarat. Alasannya beragam, karena persoalan moral atas perilaku tapak wuda oleh sang Ratu hingga eksistensi Ratu Kalinyamat itu sendiri. Mengenai tapak wuda yang dilakukan Ratu Kalinyamat tidak bisa hanya diartikan secara harfiah. Mengingat tapak wuda yang sebenarnya adalah meninggalkan segala kemewahan dan kekuasaannya sebagai ratu untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.
Sedangkan mengenai eksistensinya, hingga saat ini masih banyak yang menganggap bahwa Ratu Kalinyamat hanyalah dongeng yang diceritakan orang tua kepada anak-anaknya untuk pengantar tidur. Atau hanya sekadar cerita yang penuh nilai moralitas yang dapat membangun kepribadian anak-anak. Namun, apakah Ratu Kalinyamat itu fakta atau fiktif?
Keberadaan Ratu Kalinyamat hanya bisa diungkap secara nyata jika ada saksi yang masih hidup yang bisa menceritakan tentang beliau atau bahkan Ratu Kalinyamat sendiri yang masih hidup. Tapi itu tidaklah mungkin, mengingat sudah ratusan tahun sejak kehidupan Ratu Kalinyamat. Tetapi jejak kehidupannya dapat ditelusuri dari berbagai sumber, seperti sumber literasi maupun arkeologis.
Eksistensi Ratu Kalinyamat dapat ditelusuri dari jejak literasi yang ada pada buku De Asia karya Diego de Couto dan Suma Oriental karya Tome Pires. Kedua buku tersebut bisa sebagai bukti bahwa dahulu, semasa Portugis hendak memasuki Nusantara, ada seorang perempuan gagah berani, yang juga seorang pemimpin dari kerajaan yang berusaha menghadang pasukan Portugis di Malaka. Dialah Ratu Kalinyamat.
Selain dari jejak literasi, eksistensi Ratu Kalinyamat juga bisa ditelusuri lewat jejak arkeologis. Dari segi arkologis, di lokasi bekas kota Jepara lama (Kriyan) telah ditemukan seperti sisa tembok (benteng) kota, batu gilang (batu tempat pelantikan/sumpah), dan sisa pemukiman yang berupa pecahan keramik dan tembikar, semua jejak peninggalan tersebut berasal dari abad ke-16 Masehi. Di mana abad ke-16 merupakan waktu semasa Ratu Kalinyamat hidup dan memimpin Kerajaan Jepara.
Pakar arkeologis Dr. Bambang Budi Utama dalam pengantarnya pada Focus Group Discussion: Menghidupkan Kembali Gagasan Menjadikan Ratu Kalinyamat Sebagai Pahlawan Nasional mengatakan, bahwa Ratu Kalinyamat adalah nyata, dan bukan cerita fiksi belaka. Hal ini dapat ditelusuri jejak arkeologisnya melalui peninggalan-peninggalan yang tersebar di Jepara. Tentunya didukung dengan sumber literasi dari berbagai buku.
Dalam pemberian gelar kehormatan, ketokohan seseorang yang akan diberi gelar menjadi salah satu syarat penting dari sekian syarat yang ada. Eksistensi Ratu Kalinyaat sendiri bisa dibuktikan lewat jejak literasi dan arkeologis. Sehingga bisa dikatakan pada abad ke-16 Masehi atau lebih tepatnya tahun 1549-1579 telah hidup seorang ratu yang berkuasa, mempunyai kekuatan laut yang besar, memiliki kapal dan prajurit dan telah berjasa dalam membantu Kerajaan Malaka dalam menghalau Portugis.
Untuk itu, keberadaan Ratu Kalinyamat tidak perlu dipertanyakan kembali, bahwa ketokohan Ratu Kalinyamat memang ada dan Ratu Kalinyamat merupakan sosok wanita yang melampaui zamannya.