Berita

Perlu Sistem Pembelajaran yang Adaptif dan Sinergis untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan Aceh

 

Perubahan sistem pembelajaran di masa pandemi berdampak pada kualitas pendidikan di tanah air yang membutuhkan upaya adaptasi lewat berbagai inovasi. 

"Pekerjaan rumah yang mesti diperhatikan dalam sistem pendidikan yang berubah saat ini adalah learning loss, learning culture, learning adaptation dan learning innovation," kata Ketua Yayasan Sukma Lestari Moerdijat yang juga Wakil Ketua MPR RI dalam webinar bertema Membangun Sinergi Demi Mutu Hebat Pendidikan Aceh, dalam rangka peringatan 15 tahun Sekolah Sukma Bangsa, Rabu (14/7).

Diskusi daring yang dimoderatori Fachrurrazi, M.A. (Direktur Sekolah Sukma Bangsa Bireun) dihadiri Hamdani, Spd, Mpd (Kepala bidang SMA, Dinas Pendidikan Aceh), Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng  (Rektor Universitas Syiah Kuala), Hj. Illiza Saaduddin Djamal (Anggota DPR-RI Aceh/Komisi X Bidang Pendidikan Perpustakaan dan Pariwisata) dan DR. Reza Idria  (Antropolog/Dosen UIN Ar-Raniry Aceh) sebagai narasumber.

Selain itu hadir pula Ahmad Baedowi  (Direktur Eksekutif Yayasan Sukma), Victor Yasadhana  (Direktur Pendidikan Yayasan Sukma),  Yarmen Dinamika (Redaktur Pelaksana Serambi Indonesia) sebagai panelis.

Karena itu, jelas Lestari, diperlukan restrukturisasi sistem dan tata pembelajaran secara sinergis untuk meningkatkan mutu pendidikan saat ini.

Menurut Rerie, sapaan akrab Lestari, pendidikan yang berkualitas dan berkelanjutan patut dipersiapkan dengan mempertimbangkan situasi lokal mengingat Indonesia memiliki sumber daya manusia dengan perbedaan suku, agama, bahasa, budaya dan adat istiadat. 

Pascabencana dan tsunami Aceh, ujar Rerie, Yayasan Sukma hadir untuk merevitalisasi pendidikan di Aceh dengan mendirikan Sekolah Sukma Bangsa di Pidie, Bireuen dan Lhokseumawe.

Sekolah Sukma Bangsa, ungkap Rerie, menanamkan filosofi school that learns sebagai fondasi pengembangan sekolah. Dalam perkembangannya, tambah Rerie, Sekolah Sukma Bangsa dengan kemampuan inovasinya di setiap periode, merumuskan kurikulum perdamaian dan resolusi konflik berbasis sekolah. 

Rerie menilai, mutu pendidikan sesungguhnya tidak diukur dengan variabel dan parameter “dari luar” tetapi dimulai dengan kemampuan institusi untuk melakukan pembelajaran dengan bekal kemampuan inovasi. 

Kepala bidang SMA, Dinas Pendidikan Aceh, Hamdani, Spd, Mpd mengaku pihaknya sudah melakukan penguatan kurikulum karena tujuan pendidikan di Aceh tidak hanya agar siswa mendapat nilai tinggi tetapi harus sadar hukum dan norma kehidupan di keseharian.

Dinas Pendidikan Aceh, jelas Hamdani, sudah mengajak sejumlah instansi dan lembaga untuk ikut bekerjasama dalam meningkatkan mutu pendidikan di Aceh.

Rektor Universitas Syiah Kuala, Samsul Rizal menilai daya saing lulusan SMA di Aceh masuk perguruan tinggi belum merata. Lulusan SMA Aceh diterima di perguruan tinggi di Aceh jumlahnya cukup memadai. Namun, ujar Samsul, lulusan SMA Aceh yang diterima di perguruan tinggi di luar Aceh hanya 3,6%.

Kondisi tersebut, jelasnya, harus jadi perhatian bersama, bagaimana anak-anak Aceh bisa lebih baik di masa depan, karena itu pendidikan di Aceh harus lebih baik. Sepuluh anak Aceh terbaik, ungkap Samsul, hanya berasal dari satu sekolah. Kondisi ini harus dimeratakan kualitas pendidikan agar rata-rata pendidikan di Aceh bisa meningkat.

Samsul berpendapat harus segera mulai ada perbaikan sejak pendidikan dasar dalam penalaran umum, baca dan tulis. Selain itu berbagai afirmasi harus diterapkan agar masyarakat kurang mampu bisa belajar, demikian juga dengan pemerataan jumlah guru yang bermutu di setiap sekolah di Aceh.

Anggota Komisi X DPR-RI dari Aceh Illiza Saaduddin Djamal berpendapat peserta didik di Aceh harus menjadi anak yang berilmu, beriman dan berakhlak mulia.

Proses pendidikan harus lebih baik, tetapi, ujar Illiza, kondisi pendidikan saat ini banyak sekali berubah. Karena, tegasnya, sangat dipengaruhi kondisi kesehatan atau pandemi Covid-19 yang yang ketat dengan 3 M (memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan dengan sabun). Selain itu, tambahnya, juga pemanfaatan teknologi dalam proses pendidikan.

"Kemampuan adaptasi dalam menyikapi perubahan zaman saat ini sangat diperlukan," ujarnya.

Antropolog UIN Ar-Raniry Aceh, Reza Idria menilai setiap manusia harus dilihat berbeda karena memiliki kemampuan yang berbeda. Ada yang baik secara visual atau kemampuan mendengar lebih baik, bahkan meraba lebih baik. Jadi, jelas Reza, cara pendekatannya pun berbeda-beda pula. Demikian juga, tambahnya, pendekatan terhadap manusia Aceh dalam hal pendidikan.

Di era modern, jelas Riza, kualifikasi manusia yang dibutuhkan antara lain komunikatif, korektif dan kritis. Riza berharap, pemerintah bisa memfasilitasi dan sekolah membuka diri untuk membentuk peserta didik di Aceh agar memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan era modern saat ini.*