Rabu, 01 Desember 2021
mbak rerie, lestari moerdijat, sahabat lestari, pembangunan nasional, prioritas nasional, dana desa, pembangunan berkelanjutan, sahabat difabel, difabel, disabilitas
Jadikan pembangunan desa ruang yang inklusif dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, termasuk mengoptimalkan kemampuan kelompok difabel.
"Negara harus menciptakan langkah dan sistem yang terpadu dalam pembangunan dengan melibatkan semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali, sehingga kebijakan pembangunan yang dihasilkan memastikan tidak ada kelompok masyarakat yang tertinggal," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Menuju Desa Inklusi Melalui Implementasi Prioritas Penggunaan Dana Desa yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (1/12).
Diskusi yang dimoderatori Anggiasari Puji Aryatie (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Bito Wikantosa (Staf Ahli Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi RI), dan Drs. Sumedi Andono Mulyo, MA. Ph.D (Direktur Tata Ruang dan Penanganan Bencana, Bappenas) sebagai narasumber. Hadir pula Hj. Lisda Hendrajoni, S.E, MMTr (Anggota Komisi VIII DPR RI), Muhammad Joni Yulianto (Pendiri Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel/SIGAB) dan Angga Yanuar Risnanto (Pegiat Disabilitas) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, menuju Indonesia Emas, kita harus melakukan pembangunan dengan banyak strategi yang diterapkan untuk memastikan seluruh anggota masyarakat ikut dan berpartisipasi dalam pembangunan, baik di tingkat nasional hingga ke tingkat desa.
Salah satu strategi itu, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, adalah pembangunan inklusif yang mengakomodasi kelompok difabel dengan mengedepankan pendekatan berbasis hak, seperti tercantum dalam UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, sehingga penyandang disabilitas dimungkinkan menjadi aktor dalam pembangunan.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berpendapat pembentukan desa inklusi dengan memanfaatkan dana desa merupakan realisasi dari pembangunan berkelanjutan yang membawa semangat no one left behind.
Staf Ahli Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi RI, Bito Wikantosa mengungkapkan, desa inklusif merupakan bagian dari upaya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menjalankan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2021 – 2025, khususnya terkait memperkuat peran serta desa dalam memberikan penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM terhadap empat kelompok sasaran, yaitu: perempuan, anak, penyandang disabilitas, kelompok masyarakat adat yang ada di desa.
Menurut Bito, saat ini pemerintah sedang melakukan pengembangan percontohan desa inklusif, yang targetnya adalah 640 desa di 160 kabupaten dan 33 provinsi yang berlangsung mulai dari 2021 hingga 2024 melalui Program P3PD yang dikelola melalui mekanisme kerja sama Kemendesa PDTT, Bappenas dan Kemendagri.
Konsep utama pembangunan berkelanjutan di desa inklusif, jelas Bito, antara lain menjadikan setiap warga desa sebagai subjek pembangunan.
Bito menegaskan, penyusunan perencanaan pembangunan desa harus berdasarkan data dan informasi yang menggambarkan kondisi objektif mata pencaharian warga masyarakat desa, terutama warga marginal dan rentan.
Direktur Tata Ruang dan Penanganan Bencana Bappenas, Sumedi Andono Mulyo berpendapat, optimalisasi dana desa dalam pembangunan desa harus berbasis keadilan dan berkelanjutan.
Pemihakan terhadap kelompok rentan, termasuk kelompok masyarakat difabel, menurut Sumedi, merupakan bagian dari amanat konstitusi kita.
Yang harus diupayakan, jelas Sumedi, bagaimana penerapan paradigma sehat, tangguh dan tumbuh dalam memperkuat pondasi pembangunan berkeadilan dan berkelanjutan.
Kunci untuk mewujudkan keberhasilan menegakkan paradigma sehat, tangguh dan tumbuh dalam pembangunan desa adalah kolaborasi yang kuat antar para pemangku kepentingan di pusat dan daerah.
Anggota Komisi VIII DPR RI, Lisda Hendrajoni berpendapat, pemerintah memiliki harapan besar dalam mewujudkan desa inklusif secara sosial yang menghilangkan hambatan untuk partisipasi seluruh lapisan masyarakat.
Lisda mengusulkan agar ada lembaga otonom untuk motor penggerak pelaksanaan sejumlah undang-undang yang mengamanatkan keterlibatan para penyandang disabilitas dalam tahapan pembangunan di desa.
Pendiri SIGAB, Muhammad Joni Yulianto menilai banyak instrumen peraturan yang mendasari kebijakan pemanfaatan dana desa dengan melibatkan kelompok disabilitas.
Sebelum melibatkan teman-teman difabel, Joni menyarankan, sejumlah pihak harus memastikan ruang partisipasi itu aman secara aksesibilitas maupun secara perlakuan bagi kelompok difabel.
Pegiat Disabilitas, Angga Yanuar Risnanto menilai perlu ada sinkronisasi regulasi di tingkat provinsi hingga desa, untuk mewujudkan pembangunan desa yang inklusif.
Selain itu, tambahnya, pemahaman para pemangku kepentingan hingga tingkat desa terhadap isu disabilitas juga penting dan harus terus ditingkatkan.
Jurnalis senior Abdul Kohar menegaskan salah satu ciri bangsa yang berperadaban tinggi adalah bangsa yang menghargai dan menghormati para penyandang disabilitas.
Bagaimana tangan negara mampu membuat kebijakan-kebijakan yang inklusif bagi para penyandang disabilitas, menurut Abdul Kohar, merupakan bagian dari torehan mewujudkan peradaban tinggi itu.
"Saya yakin negara kita sedang menuju untuk mewujudkan bangsa yang berperadaban tinggi dengan terus memberi penghormatan terhadap hak-hak kelompok difabel dalam proses pembangunan di negeri ini," pungkasnya.*