Berita

Kedepankan Pertimbangan Kemanusiaan untuk Upayakan Perdamaian pada Krisis Rusia-Ukraina

 

Dampak konflik Rusia-Ukraina harus dilihat dari sisi krisis yang berdampak pada kemanusiaan. Karena itu Indonesia harus mampu berperan dalam menciptakan perdamaian, seperti yang diamanatkan konstitusi kita. 

"Pada alinea pertama UUD 1945 mengamanatkan kepada kita untuk ikut menciptakan perdamaian dunia dengan mencegah penjajahan dengan mengedepankan aspek kemanusiaan," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Menuju Perdamaian Rusia-Ukraina yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (25/5). 

Pada diskusi yang dimoderatori Luthfi Assyaukanie, Ph.D.(Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Koordinator Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah) itu hadir Muhammad Farhan (Anggota Komisi I DPR RI), Prof. Drs. Anak Agung Banyu Perwita. M.A., Ph.D (Guru Besar Universitas Pertahanan), Dr. Connie Rahakundini Bakrie (Pengamat Militer dan Pertahanan Keamanan), Ple Priatna (Direktur Eksekutif Indonesian Institute of Advance International Studies / INADIS) dan Joko Purwanto (Aktifis Komite Persahabatan Rakyat Indonesia-Rusia) sebagai narasumber. Selain itu, hadir pula Dr. Polit. Sc. Henny Saptatia D.N., MA (Ketua Program Studi Kajian Wilayah Eropa, Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia/ SKSG-UI) dan Ade Alawi (Deputi Direktur Pemberitaan Media Indonesia) sebagai penanggap. 

Menurut Lestari, krisis Rusia-Ukraina harus segera diakhiri karena dampaknya sangat mempengaruhi tatanan di sejumlah sektor di dunia. Belum tuntas dampak pandemi kita atasi, ujar Rerie sapaan akrab Lestari, sejumlah krisis yang mengikutinya memberi tekanan tersendiri dalam upaya negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, untuk bangkit. 

Ancaman terhadap kemanusiaan dalam krisis Rusia-Ukraina, menurut Rerie, harus sesegera mungkin diakhiri dengan menggalang dukungan negara-negara di dunia. Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap Indonesia dapat melakukan langkah dan sikap yang tepat dalam ikut serta  mengatasi konflik Rusia-Ukraina menuju perdamaian. 

Anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Farhan menilai krisis Rusia-Ukraina berdampak pada banyak sektor, seperti ekonomi terkait sumber daya alam dan ketersediaan komoditas. 

Menurut Farhan, sanksi terhadap Rusia dari sejumlah negara dunia akan mempengaruhi keseimbangan ketersediaan komoditas di dunia. Sanksi tersebut, jelas Farhan, justru mendorong Rusia untuk menguasai Ukraina. Farhan berpendapat, demi menciptakan perdamaian dunia, Indonesia harus condong terhadap salah satu pihak dalam konflik tersebut. 

Di sisi lain, tambahnya, upaya perdamaian dalam krisis Rusia-Ukraina bisa dicapai bila Ukraina menyerah dan memberikan kemerdekaan kepada sejumlah negara bagiannya. Bila Indonesia tetap bersikap non blok, ujar Farhan, krisis Rusia-Ukraina akan terus dalam status quo. 

Pengamat Militer dan Pertahanan Keamanan, Connie Rahakundini Bakrie berpendapat 91 hari krisis Rusia-Ukraina saat ini sudah menjadi multilateral war terhadap Rusia di tanah Ukraina. Krisis Rusia-Ukraina, jelas Connie, adalah perang yang berbeda dari perang pada umumnya. Connie menilai, untuk menghadapi kondisi ini Indonesia harus konsisten dengan Gerakan Non-Blok nya untuk berupaya menghentikan perang. 

Negara-negara yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok, tegas Connie, harus berani mengakhiri diskriminasi terhadap Rusia dan sejumlah negara di Asia dan Afrika dalam bentuk sanksi dari negara adidaya. Untuk menciptakan perdamaian dunia, menurut Connie, salah satunya adalah dengan menciptakan regional ballance of power di sejumlah kawasan. 

Guru Besar Universitas Pertahanan, Anak Agung Banyu Perwita menilai kondisi saat ini terjadi chaos dalam tatanan geopolitik. Banyu berpendapat, jangan sampai kekuatan geopolitik dunia hanya dipengaruhi dua kutub kekuasan. Untuk stabilitas dunia, ujar Banyu, akan lebih baik multipolar kekuasaan. 

Menurut Banyu, harus ada reentepretasi baru dari kondisi geopolitik hari ini, karena geopolitik itu dinamis dan sangat berpengaruh terhadap politik, ekonomi dan teknologi di sejumlah negara. 

Direktur Eksekutif INADIS, Ple Priatna berpendapat ada tiga pintu diplomasi bagi Indonesia yang bisa diupayakan untuk mendamaikan konflik Rusia-Ukraina yaitu jalur G20, ASEAN dan Gerakan Non-Blok. Priatna menilai PBB telah gagal menjalankan manajemen krisis multilateral dalam konflik Rusia-Ukraina, karena hingga saat ini PBB  tidak mampu memberi solusi perdamaian dunia. 

Dalam krisis Rusia-Ukraina, Priatna berpendapat, posisi  Amerika Serikat dan negara-negara Barat adalah free rider yang menjadi bagian dari peperangan, bukan bagian yang mengupayakan jalan keluar untuk perdamaian. 

Aktifis Komite Persahabatan Rakyat Indonesia-Rusia, Joko Purwanto menilai krisis Rusia-Ukraina merupakan dampak dari upaya ekspansi NATO ke Eropa Timur yang sudah berlangsung lama. Menurut Joko, ada sejumlah kesepakatan di masa lalu antara Rusia dan sejumlah negara NATO agar tidak melanjutkan ekspansi ke Eropa Timur. Namun, ujarnya, kesepakatan itu dilanggar. 

Joko menyayangkan, bantuan sejumlah negara NATO dan Amerika Serikat dalam bentuk persenjataan justru menjauhkan langkah-langkah perdamaian dalam konflik ini. 

Ketua Program SKSG-UI, Henny Saptatia berpendapat dalam mengupayakan suatu perdamaian seharusnya diikuti dengan upaya yang benar-benar untuk mewujudkan perdamaian. Bila Indonesia akan mengupayakan perdamaian lewat jalur Gerakan Non-Blok, ujar Henny, harus benar-benar pada posisi netral dalam proses mewujudkan perdamaian. 

Henny berharap, para akademisi di tanah air mendorong agar Indonesia bersikap netral dan segera mengupayakan perdamaian pada krisis Rusia-Ukraina. 

Deputi Direktur Pemberitaan Media Indonesia, Ade Alawi berpendapat jurnalisme damai harus dikedepankan dalam pemberitaan tentang konflik Rusia-Ukraina. Jalur Gerakan Non-Blok, ujar Ade, dapat dipakai untuk mengajukan proposal perdamaian dalam krisis tersebut. Dalam jangka panjang, tambah Ade, perlu dipersiapkan upaya membangun arsitektur perdamaian dunia. 

Wartawan senior, Saur Hutabarat berpendapat, saat ini adalah waktu yang tepat bagi Indonesia yang memiliki kebijakan politik bebas aktif, untuk mengupayakan perdamaian pada konflik Rusia-Ukraina. 

Bila kedua pihak yang bertikai dapat dipertemukan di Indonesia dalam mengupayakan perdamaian, menurut Saur, akan menjadi langkah penting dan bersejarah. *