Jum'at, 30 Oktober 2020
uang, uang rupiah, kedaulatan, kebijakan uang
Republik Indonesia (RI) belum lama merdeka. Usianya baru setahun lebih dua bulan. Namun, di tengah kecamuk perang guna mempertahankan kemerdekaan, pada 29 Oktober 1946, Wakil Presiden (Wapres) RI Mohammad Hatta menyampaikan sebuah pengumuman penting melalui corong Radio RI, Yogyakarta
Isi pengumuman terkait dengan Oeang Republik Indonesia atau dikenal dengan sebutan ORI. Dalam pengumumannya, Bung Hatta mengatakan, “Sejak mulai besok kita akan berbelanja dengan uang kita sendiri, uang yang dikeluarkan oleh Republik kita. Uang Republik Indonesia keluar dengan membawa perubahan nasib rakyat, istimewa pegawai negeri, yang sekian lama menderita karena infasi uang Jepang.”
Pada awal kemerdekaan, pemerintah RI memang belum mampu mengeluarkan mata uang sendiri. Uang yang beredar dan berlaku sebagai alat pembayaran kala itu antara lain uang De Javasche Bank (DJB), uang Hindia Belanda, uang pendudukan Jepang, dan uang Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Kondisi tersebut menjadi masalah. Sebab, tiap mata uang memiliki nilai tukar yang berbeda-beda sehingga mendorong timbulnya pasar gelap.
Menerbitkan uang sendiri menjadi tugas besar pemerintah RI setelah proklamasi. Menteri Keuangan (Menkeu) saat itu, AA Maramis, membentuk Panitia Penyelenggara Pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia yang diketuai TRB Sabaroedin. Pencetakan ORI semula dilakukan di Percetakan RI Salemba, Jakarta, sedangkan proses produksi dimulai sejak Januari 1946. Namun, karena alasan keamanan, pada Mei 1946 pencetakan di Jakarta dihentikan dan dipindahkan ke daerah-daerah.
Pada 30 Oktober 1946, ORI resmi beredar. Hari terbitnya ORI kemudian ditetapkan sebagai Hari Oeang Republik Indonesia. Pencetakan uang oleh RI selain dimaksudkan untuk mematahkan dominasi uang NICA yang semakin menyebar di Indonesia, juga untuk membesarkan hati bangsa Indonesia yang baru merdeka. ORI secara politis menunjukkan kedaulatan RI. Selain itu, ORI juga berguna untuk menyehatkan ekonomi yang dilanda invasi hebat.
Kehadiran ORI merupakan tanda negara yang berdaulat. Sebuah negara yang merdeka harus punya mata uang. Namun, memiliki uang sendiri juga ada konsekuensinya, yaitu nilainya harus dijaga karena nilai mata uang bisa berubah
Selain karena perubahan nilai tukar terhadap mata uang asing, perubahan nilai uang juga dapat terjadi karena infasi. Inilah yang terjadi pada masa awal kemerdekaan. Hingga awal 1950, uang beredar sangat berlebihan, mencapai sekitar Rp3,9 miliar. Uang tersebut terutama dibutuhkan untuk membiayai perjuangan dan usaha menggiatkan perekonomian pada berbagai sektor.
Menurut buku Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1945-1959, berdasarkan indeks tahun 1938 yang dianggap sebagai masa keseimbangan moneter, Pemerintah menargetkan agar uang beredar hanya sekitar Rp2,5 miliar. Jumlah ini adalah enam kali lipat dari posisi uang beredar pada 1938 yang sebesar Rp420 juta. Oleh karena Pemerintah belum mampu mencari sumber pembiayaan dari pasar, maka tindakan yang dipilih adalah mengurangi jumlah uang yang beredar.
Untuk itu, pada Maret 1950 Menkeu Sjafruddin Prawiranegara melalui Surat Keputusan (SK) Menkeu No PU/1 tanggal 19 Maret 1950 mengeluarkan kebijakan ”pembersihan moneter” atau yang lebih dikenal dengan ”gunting Sjafruddin”. Melalui kebijakan ini, uang kertas NICA atau yang dikenal sebagai ”uang merah” dan uang kertas DJB digunting menjadi dua bagian. Bagian kanan dinyatakan tidak berlaku, tapi dapat ditukarkan dengan Obligasi Republik Indonesia 1950 sebagai pinjaman pemerintah dengan bunga 3 persen untuk jangka waktu tertentu. Sementara bagian kiri dapat dijadikan alat pembayaran yang sah dengan nilai separuhnya. Selain bisa menjadi alat tukar, bagian kiri dapat ditukarkan dengan uang baru yang diterbitkan DJB, yang bertindak sebagai bank sirkulasi.
Langkah tersebut berhasil mengurangi jumlah uang kartal sekitar Rp1,6 miliar, sehingga posisi uang beredar pada akhir tahun 1950 dapat ditekan menjadi sebesar Rp4,3 miliar atau hanya meningkat 19,8 persen dari akhir tahun 1949. Tanpa tindakan moneter tersebut, ekspansi diperkirakan mencapai 64,7 persen
Sejarah mencatat, Indonesia masih mengalami dua kali lagi “pengebirian uang” alias sanering. Pertama, pada 25 Agustus 1959. Kabinet kerja yang dipimpin oleh Wapres Mohammad Hatta, dengan Menkeu Ir. Djuanda, menetapkan penurunan nilai mata uang, khususnya untuk uang dengan nominal Rp500 dan Rp1.000 yang berubah nilainya menjadi 10 persen dari nilai semula.
Deposito di bank yang bernilai lebih dari Rp25.000 dibekukan, kemudian diganti dengan obligasi negara berbunga 3 persen setahun dalam jangka waktu pembayaran 40 tahun. Kebijakan moneter ini dimaksudkan untuk mengurangi volume peredaran uang serta mencegah perdagangan gelap yang merugikan negara.
Namun, nyatanya semua lapisan masyarakat terkena dampaknya. Pada umumnya masyarakat menjadi enggan memegang uang pecahan lima puluhan dan seratusan, maupun pecahan yang lebih kecil lagi. Berikutnya, pada 13 Desember 1965, nilai rupiah kembali “disunat” menjadi seperseribu dari nilai sebelumnya. Setiap kali terjadi pemotongan nilai uang, masyarakat panik dan menyerbu pasar. Meski demikian, langkah tersebut diperlukan demi menyehatkan kondisi ekonomi pada saat itu.
Hari terbitnya ORI kemudian ditetapkan sebagai Hari Oeang Republik Indonesia atau sekarang dikenal sebagai Hari Keuangan Nasional. Hari Uang Nasional lantas diperingati setiap tahunnya sebagai pengingat bahwa kemunculan uang milik Indonesia merupakan alat pemersatu bangsa sekaligus sebagai lambang identitas kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia di mata dunia. *)
*Diolah dari berbagai sumber oleh tim Wakil Ketua MPR RI