Selasa, 07 Agustus 2018
apa dan bagaimana
Dulu, persoalan memilih sekolah cukup sederhana. Sebagian besar orang tua ingin menyekolahkan anak di sekolah negeri, karena murah dan berkualitas. Selebihnya memilih sekolah swasta, umumnya yang berbasis agama, atau ada pemisahan antara siswa dan siswi.
Saat ini pilihan sekolah semakin banyak. Asal ada biaya, orang tua bisa memilih sekolah berdasarkan kurikulum (nasional dan internasional, dengan beragam pilihan), bahasa pengantar yang digunakan, bobot akademis atau seni, dan lain-lainnya.
Lalu seperti apa sekolah yang terbaik untuk anak? Menurut ahli, tidak ada yang disebut sebagai “sekolah terbaik”, karena yang terbaik adalah yang sejalan dengan nilai-nilai keluarga dan yang bisa mendorong anak menjadi individu yang baik.
Pertama-tama, para ahli menyarankan agar memilih sekolah yang dekat rumah agar anak tidak cepat lelah, terutama di Jakarta. Kemudian, bantu anak agar menentukan kemampuan apa saja yang mereka butuhkan untuk mengatasi tantangan yang akan dihadapi kelak.
Sering kali orang tua memilih sekolah atas dugaan yang terbaik untuk anak, padahal tantangan yang mereka hadapi nanti akan berbeda sekali dengan yang dihadapi sekarang. Ahli menganjurkan agar orang tua mempertimbangkan seberapa jauh sekolah akan membantu menyiapkan anak menjadi orang dewasa yang bahagia dan berdaya.
Sekolah yang terlalu memberikan bobot besar pada prestasi akademis, dengan pekerjaan rumah dan tugas setumpuk perlu dipertanyakan, menurut ahli. Harus dipahami bahwa kebutuhan utama anak-anak, yang berarti sampai ia berusia 18 tahun, adalah bermain. Tentunya konsep bermain ini berbeda pada setiap fase tumbuh kembang anak. Tapi pada intinya, bermain adalah “tugas” utama anak-anak, sementara belajar merupakan “aktivitas santai.” Jangan dikira bahwa anak tidak belajar sesuatu dari kegiatan bermain.
Terkait proses belajar dan nilai yang diterima anak, orang tua perlu bertanya pada diri sendiri, apakah mereka ingin anak belajar atau sekadar mendapatkan nilai yang sempurna di sekolah.
Dalam belajar pun anak harus dalam kondisi senang, tidak stres atau tertekan, sehingga dapat lebih mudah menyerap pelajaran. Sudah banyak kasus siswa yang mengalami depresi, salah satunya akibat tidak senang dan mendapat beban terlalu berat di sekolah.
Salah satu faktor yang memengaruhi terpenuhi atau tidaknya kebutuhan anak adalah sistem pendidikan. Jika sekolah tidak meletakkan anak sebagai subjek, tetapi sebagai objek atau properti sekolah, maka kebutuhan tidak akan terpenuhi.
Anak akan sehat mental jika kebutuhannya terpenuhi. Jika tidak dipenuhi anak bisa menunjukkannya dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah dengan mengamuk. Sebetulnya mereka sedang memberitahu orang tua bahwa mereka butuh bantuan, dan sedang stres karena misalnya, pekerjaan rumah yang banyak. Karena sesungguhnya, pekerjaan rumah yang ideal itu tidak menghabiskan lebih dari 15 menit waktu anak.
Selain itu, kondisi sekolah yang belum meletakkan anak sebagai subjek memudahkan terjadinya kekerasan di sekolah. Terlebih lagi jika guru tersebut tidak memiliki keleluasaan karena harus mengikuti prosedur yang ditetapkan. Tuntutan di luar sekolah yang tidak berkaitan dengan siswa juga akan menjadi beban. Akhirnya aksi kekerasan rentan terjadi.
Terakhir, dalam hal sekolah, orang tua diharapkan tidak menjadi konsumen yang pasif, namun aktif berkomunikasi dengan pihak sekolah jika menemukan kejanggalan pada anak. Jika anak sampai stres karena kebanyakan pekerjaan rumah, sampaikanlah ke sekolah. Kalau proyek anak yang dibuat sendiri tanpa bantuan orang tua dan nilainya jelek, tanya ke sekolah apakah mencari karya yang sempurna atau anak yang tekun mengerjakan tugas sendiri.
Artikel terkait :
https://www.cermati.com/artikel/pilih-sekolah-terbaik-untuk-si-kecil-apa-saja-yang-perlu-diketahui
https://medium.com/@sambrodo/5-cara-efektif-orangtua-di-dalam-memantau-sekolah-anak-a36121e9936d
https://www.kompasiana.com/atonimeto/54f690eba3331137028b50c7/kebutuhan-dasar-anak