Kamis, 22 November 2018
perspektif
Kita sering mengaggap layanan-layanan dasar yang sudah menjadi hak kita sebagai seorang manusia bisa terpenuhi tanpa perjuangan. Contohnya toilet. Di perkotaan, saat membangun rumah atau menempati hunian baru seperti kamar kos atau kontrakan, kamar mandi dan toilet sudah ada untuk kita pakai, tanpa perlu repot untuk mengurusnya agar dibangun terlebih dahulu sebelum kita menempati hunian itu.
Tapi tahukah Anda, hal itu tidak terjadi di seluruh Indonesia?
Sampai empat tahun yang lalu, warga sejumlah desa di Kebumen, Jawa Tengah masih harus pergi ke sungai untuk buang air besar, karena mereka tidak punya uang untuk membangun toilet di rumah. Kebiasaan yang sudah mereka lalukan berpuluh-puluh tahun ini, dianggap lumrah, sehingga kalau pun mereka ada uang, toilet bukan menjadi prioritas utama untuk dibangun, karena buang air besar di tepi sungai dianggap sudah cukup memadai. Di Cimahi, yang hanya berjarak setengah jam dari Bandung, ibu kota provinsi Jawa Barat, anak-anak terbiasa buang air besar di pinggiran saluran irigasi sebelum berangkat sekolah. Warga di beberapa rukun tetangga di sebuah kelurahan tak jauh dari jalan utama Rasuna Said dan Jenderal Sudirman memiliki toilet di rumah masing-masing. Sayangnya, sistem sanitasi yang kurang baik membuat tanki septik cepat penuh dan jika turun hujan akan meluap dan airnya memenuhi selokan. Bisa ditebak apa yang selanjut terjadi; angka kejadian diare dan muntaber tinggi, belum lagi genangan air di selokan menjadi sarang jebtik nyamuk penyebab demam berdarah.
Tiga contoh kondisi di atas menggambarkan layanan sanitasi di Indonesia masih perlu perbaikan. Menurut laporan Bank Dunia, di wilayah perkotaan Indonesia,hanya 33% rumah tangga memiliki tanki septik, dan 7,5% warga masih buang air besar di tempat terbuka (open defecation). Di wilayah pedesaan, angka open defecation malah melonjak dua kali lipat yaitu lebih dari 15%.
Kerugian yang dialami pemerintah akibat sanitasi buruk diperkirakan mencapai lebih dari 28 dolar perkapita dan kerugian wilayah perkotaan akibat sanitasi buruk pada tahun 2016 mencapai 3,7 milyar dolar.
Kerjasama pemerintah, masyarakat dan pihak-pihak lain yang peduli sanitasi menjadi kunci mengubah keadaan. Dengan sistem arisan dan iuran bulanan, desa-desa di Kebumen, dan Cimahi mulai memperbaiki sistem sanitasi mereka, sehingga warga memiliki toilet di rumahnya dengan sistem pembuangan yang ramah lingkungan dan tidak merusak ekosistem sungai yang mengalir melewati area pemukiman. Di Setiabudi, Jakarta, jika dulu limbah rumah tangga dan kamar mandi harus disedot secara berkala dengan mobil tinja dengan biaya mencapai Rp500.000-Rp700.000 sekali sedot, kini limbah dikelola secara modern dengan dialirkan langsung ke instalasi pengolahan air limbah. Warga hanya perlu membayar biaya perawatan jaringan pengolahan limbah rumah tangga yang berkisar antara Rp10.000-Rp15.000 per bulan. Lingkungan pun menjadi bersih, selokan kering dan bebas dari jentik nyamuk.
Tidak bisa tidak, kolaborasi antarpihak menjadi kunci untuk meningkatkan kondisi sanitasi di Indonesia. Dengan menjadikan perbaikan sanitasi sebagai bagian dari agenda nasional dalam menjaga lingkungan hidup, kita menunjukkan jati diri bangsa Indonesia yang sesungguhnya: bermartabat dan peduli pada alam yang telah menopang hidup kita selama ini.
Artikel terkait
https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/12/151221_majalah_sanitasi
https://www.rhodoy.com/2017/05/memahami-pentingnya-sanitasi-bagi-kesehatan.html?m=1
https://www.malangtimes.com/baca/22606/20171119/210623/182-juta-keluarga-indonesia-tak-punya-jamban-waterorg-ajak-media-kunjungi-bojonegoro-/