Senin, 27 April 2020
berita
Penjara atau lembaga pemasyarakatan (lapas) adalah salah satu tempat yang berisiko tinggi untuk penularan virus corona tipe COVID-19. Pasalnya virus yang tersebar melalui droplet ini akan sangat cepat menyebar melalui interaksi manusia, sementara sangat sulit untuk mengatur jarak fisik di dalam lapas yang umumnya kelebihan kapasitas. Persoalan ini melanda banyak penjara di seluruh dunia, seperti Amerika Serikat (AS), Iran dan juga Indonesia.
Kebijakan yang dilakukan di beberapa negara adalah melepaskan secara bersyarat sejumlah narapidana. Langkah ini misalnya telah dilakukan oleh Iran salah satu negara yang terhantam keras dengan jumlah kasus positif COVID-19 lebih dari 80 ribu dengan angka kematian lebih dari limaribu kasus. Iran telah membebaskan sementara 85.000 orang tahanannya, termasuk tahanan politik, dalam upaya memerangi pandemi. Di akhir Maret lalu, AS juga mulai membebaskan ratusan tahanan dari penjara federal, negara bagian dan lokal.
Kebijakan pembebasan sementara narapidana atau yang di Indonesia sebut dengan warga binaan telah mulai dilakukan sejak awal April 2020. Melalui Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020, pemerintah merelaksasi pemberian asimilasi, pembebasan bersyarat (PB), cuti menjelang bebas (CMB), dan cuti bersyarat (CB). Kementerian Hukum dan HAM menargetkan membebaskan sementara 30.000 warga binaan dewasa dan anak. Para warga binaan yang menerima program tersebut harus memenuhi beberapa syarat, antara lain telah memenuhi dua pertiga masa hukuman mereka. Warga binaan yang mendapatkan program asimilasi dan integrasi tetap berada di dalam pengawasan Balai Pemasyarakatan (Bapas) serta dikenai wajib lapor dan dilarang keluar kota.
Meskipun demikian, dengan jumlah warga binaan saat ini yang berkisar 271.000, jika berkurang 30 ribuan pun, banyak penjara di Indonesia masih tetap kelebihan kapasitas. Salah satu penjara di Indonesia dengan kepadatan tertinggi yaitu kelebihan kapasitas hingga 822 persen adalah Rumah Tahanan (Rutan) Bagansiapiapi di Riau, Sumatera (data BBC Indonesia, Januari 2018). Ruang sel berukuran 4 kali 6 meter di rutan tersebut harus diisi sekitar 53 orang. Satu orang tahanan hanya mendapatkan 0,45 meter untuk tidur. Kondisi serupa ini juga terjadi di ratusan penjara lain di Indonesia.
Isu kelebihan kapasitas sudah berlangsung selama bertahun-tahun, namun belum juga ada solusi yang memadai. Hal inilah menyebabkan lapas kerap kelebihan kapasitas. Mekanisme pembinaan di lapas pun menjadi tidak maksimal karena adanya keterbatasan jumlah petugas dan fasilitas fisik seperti ruang pelatihan serta bengkel kerja bagi warga binaan. Kondisi lapas yang tidak manusiawi, kerap membuat sebagian warga binaan yang berada di sana tidak keluar menjadi individu yang lebih baik dibanding sebelumnya.
Salah satu penyebabnya karena pendekatan hukum yang saat ini berlaku masih menempatkan penjara sebagai satu-satunya lembaga pengoreksi dan solusi pembinaan bagi pelaku kriminalitas. Misalnya, hukuman kepada pengedar dan pengguna narkoba sama-sama memasukkan mereka ke penjara. Padahal para pengguna narkoba seharusnya berhak untuk mendapatkan pemulihan di fasilitas rehabilitasi. Alternatif lain dari lapas yang sebetulnya bisa dipertimbangkan adalah hukuman kerja sosial bagi mereka yang melakukan pelanggaran hukum ringan seperti yang diberlakukan di Inggris. Data dari Dirjen Pemasyarakatan memperlihatkan bahwa pemerintah dapat menghemat Rp6 triliun jika sekitar 50.000 napi dengan masa tahanan enam bulan tidak masuk penjara melainkan diberi alternatif hukuman seperti kerja sosial. Jika kebijakan ini diberlakukan, kelebihan kapasitas di lapas pun dapat lebih tertanggulangi.
Langkah Kemenkumham dalam menghadapi krisis COVID-19 ini patut diapresiasi, namun yang tak kalah penting untuk memikirkan strategi jangka panjang untuk merestrukturisasi sistem peradilan dan lapas di Indonesia.