Selasa, 21 April 2020
berita
Masalah gender belum selesai di negeri ini. Sekalipun telah banyak kemajuan dalam emansipasi kaum perempuan, sejumlah persoalan masih memerlukan penanganan yang lebih tajam dan lebih dalam.
Contohnya, pencalonan anggota legislatif harus diisi 30% kaum perempuan. Faktanya tidak banyak perempuan yang tertarik politik, dan yang terpilih duduk di parlemen jauh lebih sedikit dari ketentuan pencalonan 30%.
Oleh karena itu, hari kelahiran pejuang emansipasi R.A. Kartini, 21 April, tetap perlu dan penting untuk diperingati.
Kartini lahir 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. Inilah perempuan pejuang kaum perempuan bersenjatakan pemikiran-pemikirannya yang sangat maju.
Dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 2 Mei 1964. No. 108, Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Sekaligus juga hari lahir Kartini tanggal 21 April ditetapkan untuk diperingat setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Pada hari besar tersebut, sudah menjadi tradisi bahwa kaum perempuan, mulai usia sekolah dasar sampai perguruan tinggi, bahkan sampai perempuan bekerja, memakai pakaian khas Kartini. Dalam perkembangannya, bukan hanya pakaian khas Kartini yang dipakai, tetapi juga pakaian tradisional dari daerah lain seperti Baju Bodo dari Sulawesi Selatan, Baju Kurung dari daerah Sumatera Barat, dan Kain Kebaya dari Jawa.
Melalui pakaian ini, diharapkan semangat Kartini untuk memajukan kedudukan dan martabat perempuan tak berhenti sampai di masa hidup Kartini saja, tetapi juga ke masa depan. Perempuan terus didorong dan didukung untuk mencapai cita-cita setinggi-tingginya. Inilah yang disebut dengan semangat emansipasi perempuan.
Seharusnya tak ada lagi bidang yang tertutup bagi perempuan. Meskipun jalan menuju sukses bagi perempuan tidaklah mudah, tetapi bukan tidak mungkin. Seringkali perempuan harus berjuang dua kali lebih keras daripada pria.
Raden Adjeng (R.A) Kartini adalah putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang bupati dari Jepara. Sesudah menikah dengan bupati Rembang, Kanjeng Raden Mas Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang juga berdarah biru, nama R.A Kartini berubah sebagai R.Ay. (Raden Ayu) Kartini. Raden Ayu, gelar bagi perempuan bangsawan Jawa yang sudah menikah.
R.A Kartini meninggal di Rembang, Jawa Tengah, dalam usia muda, 25 tahun. Itu terjadi pada 17 September 1904, setelah dia melahirkan seorang putra yang diberi nama R.M Soesalit Djojo Adhiningrat.
R.A Kartini diberi gelar pahlawan, karena perjuangannya demi perempuan Jawa. Kartini ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional, karena jasanya sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Pada masa itu, kaum perempuan sulit untuk bersekolah tinggi. Karena sesudah mencapai usia 12 tahun, perempuan Jawa harus dipingit. Sehingga Kartini kecil hanya diperbolehkan bersekolah sampai usia 12 tahun, lalu ia melanjutkan masa remajanya sebagai gadis pingitan.
Kartini lahir dari keluarga yang mengizinkan pendidikan Barat. Kartini sempat bersekolah di Europese Lagere School atau ELS. Pengalaman bersekolah di ELS memungkinkan Kartini mempelajari Bahasa Belanda, dan berkawan baik dengan gadis-gadis Belanda. Jadi ketika dalam pingitan, Kartini tidak hanya diam saja, tetapi ia melanjutkan proses memperdalam dan memperluas pengetahuan dengan cara belajar sendiri dan membina pertemanan dengan gadis-gadis Belanda. Di antaranya, Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya.
Kartini mengagumi cara berpikir perempuan Eropa. Melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah, Kartini memberikan pemikirannya untuk memajukan perempuan Jawa. Kartini tidak sekedar membaca, tetapi ia membaca dengan perhatian dan minat yang sungguh intens. Ia sering membuat catatan tentang bacaannya, dan inilah yang kemudian membawa Kartini untuk menulis. Beberapa tulisannya bahkan dimuat dimajalah wanita “De Hollandsche Lelie”.
Ketertarikan Kartini tidak hanya pada emansipasi perempuan, tetapi juga pada masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita untuk memperoleh kebebasan, otonomi, persamaan di mata hukum, sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Tidaklah mengeherankan bahwa ketika itu, sebelum usianya 20 tahun, Kartini sudah membaca buku Max Havelaar karya Multatuli. Tampak bahwa perhatian Kartini sangat bervariasi. Dan minatnya pun pada banyak bidang.
Mencermati tulisan-tulisan Kartini dan pemikirannya yang begitu konsisten memperjuangkan kemajuan bagi kaum perempuan, tentu kita agak berkecil hati bahwa pada akhirnya, sebagai produk zaman itu, Kartini menyerah untuk dinikahkan dengan Bupati Rembang, yang sudah menikah tiga kali. Namun, lagi-lagi dewi keberuntungan masih berpihak kepada Kartini. Suaminya, Sang Bupati Rembang, sangat mengerti Kartini, sehingga Kartini diberi kebebasan dan didukung untuk mendirikan sekolah khusus untuk perempuan.
Bertempat di sebelah timur pintu gerbang komplek kantor kabupaten Rembang, di situlah Kartini mewujudkan cita-citanya meningkatkan kedudukan dan martabat kaum wanita. Inilah yang menjadi cikal bakal Sekolah Kartini yang didirikan pertama kali pada tahun 1912 oleh Yayasan Kartini. Sekolah ini kemudian berkembang ke Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Yayasan Kartini ini disponsori oleh keluarga Van Deventer.
Ketokohan Kartini sebagai Pahlawan Nasional banyak diperdebatkan. Dari surat-suratnya yang berpikiran maju, dipertanyakan mengapa ia akhirnya mau dinikahkan dengan pria yang sudah tiga kali menikah. Itu merupakan paradoks.
Tulisan-tulisannya yang dirangkum dalam buku “Door Duisternis tot Licht”, yang pada waktu itu diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu, “Habis Gelap Terbitlah Terang,” juga dicurigai sebagai bukan hasil tulisan Kartini, melainkan merupakan hasil rekayasa Abendanon.
Abendanon dianggap sangat berkepentingan untuk melakukan rekayasa seputar tulisan Kartini. Karena pada waktu itu, masa pemerintahan Hindia Belanda, Abendanon menduduki jabatan Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan yang diminta untuk menjalankan politik etis, yaitu politik balas budi. Politik Etis adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan bumiputera. Politik ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa dan kerja paksa.
Pandangan Armijn Pane dan Sulastin Sutrisno berbeda dengan mereka yang meragukan berbagai informasi mengenai Kartini. Keduanya malahan tak hentinya menulis buku seputar Kartini, dengan informasi-informasi yang berhasil mereka gali. Mereka juga melakukan pembahasan melalui buku-buku mereka.
Selamat Hari Kartini.
Jakarta, 21 April 2020
Masalah gender belum selesai di negeri ini. Sekalipun telah banyak kemajuan dalam emansipasi kaum perempuan, sejumlah persoalan masih memerlukan penanganan yang lebih tajam dan lebih dalam.
Contohnya, pencalonan anggota legislatif harus diisi 30% kaum perempuan. Faktanya tidak banyak perempuan yang tertarik politik, dan yang terpilih duduk di parlemen jauh lebih sedikit dari ketentuan pencalonan 30%.
Oleh karena itu, hari kelahiran pejuang emansipasi R.A. Kartini, 21 April, tetap perlu dan penting untuk diperingati.
Kartini lahir 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. Inilah perempuan pejuang kaum perempuan bersenjatakan pemikiran-pemikirannya yang sangat maju.
Dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 2 Mei 1964. No. 108, Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Sekaligus juga hari lahir Kartini tanggal 21 April ditetapkan untuk diperingat setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Pada hari besar tersebut, sudah menjadi tradisi bahwa kaum perempuan, mulai usia sekolah dasar sampai perguruan tinggi, bahkan sampai perempuan bekerja, memakai pakaian khas Kartini. Dalam perkembangannya, bukan hanya pakaian khas Kartini yang dipakai, tetapi juga pakaian tradisional dari daerah lain seperti Baju Bodo dari Sulawesi Selatan, Baju Kurung dari daerah Sumatera Barat, dan Kain Kebaya dari Jawa.
Melalui pakaian ini, diharapkan semangat Kartini untuk memajukan kedudukan dan martabat perempuan tak berhenti sampai di masa hidup Kartini saja, tetapi juga ke masa depan. Perempuan terus didorong dan didukung untuk mencapai cita-cita setinggi-tingginya. Inilah yang disebut dengan semangat emansipasi perempuan.
Seharusnya tak ada lagi bidang yang tertutup bagi perempuan. Meskipun jalan menuju sukses bagi perempuan tidaklah mudah, tetapi bukan tidak mungkin. Seringkali perempuan harus berjuang dua kali lebih keras daripada pria.
Raden Adjeng (R.A) Kartini adalah putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang bupati dari Jepara. Sesudah menikah dengan bupati Rembang, Kanjeng Raden Mas Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang juga berdarah biru, nama R.A Kartini berubah sebagai R.Ay. (Raden Ayu) Kartini. Raden Ayu, gelar bagi perempuan bangsawan Jawa yang sudah menikah.
R.A Kartini meninggal di Rembang, Jawa Tengah, dalam usia muda, 25 tahun. Itu terjadi pada 17 September 1904, setelah dia melahirkan seorang putra yang diberi nama R.M Soesalit Djojo Adhiningrat.
R.A Kartini diberi gelar pahlawan, karena perjuangannya demi perempuan Jawa. Kartini ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional, karena jasanya sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Pada masa itu, kaum perempuan sulit untuk bersekolah tinggi. Karena sesudah mencapai usia 12 tahun, perempuan Jawa harus dipingit. Sehingga Kartini kecil hanya diperbolehkan bersekolah sampai usia 12 tahun, lalu ia melanjutkan masa remajanya sebagai gadis pingitan.
Kartini lahir dari keluarga yang mengizinkan pendidikan Barat. Kartini sempat bersekolah di Europese Lagere School atau ELS. Pengalaman bersekolah di ELS memungkinkan Kartini mempelajari Bahasa Belanda, dan berkawan baik dengan gadis-gadis Belanda. Jadi ketika dalam pingitan, Kartini tidak hanya diam saja, tetapi ia melanjutkan proses memperdalam dan memperluas pengetahuan dengan cara belajar sendiri dan membina pertemanan dengan gadis-gadis Belanda. Di antaranya, Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya.
Kartini mengagumi cara berpikir perempuan Eropa. Melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah, Kartini memberikan pemikirannya untuk memajukan perempuan Jawa. Kartini tidak sekedar membaca, tetapi ia membaca dengan perhatian dan minat yang sungguh intens. Ia sering membuat catatan tentang bacaannya, dan inilah yang kemudian membawa Kartini untuk menulis. Beberapa tulisannya bahkan dimuat dimajalah wanita “De Hollandsche Lelie”.
Ketertarikan Kartini tidak hanya pada emansipasi perempuan, tetapi juga pada masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita untuk memperoleh kebebasan, otonomi, persamaan di mata hukum, sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Tidaklah mengeherankan bahwa ketika itu, sebelum usianya 20 tahun, Kartini sudah membaca buku Max Havelaar karya Multatuli. Tampak bahwa perhatian Kartini sangat bervariasi. Dan minatnya pun pada banyak bidang.
Mencermati tulisan-tulisan Kartini dan pemikirannya yang begitu konsisten memperjuangkan kemajuan bagi kaum perempuan, tentu kita agak berkecil hati bahwa pada akhirnya, sebagai produk zaman itu, Kartini menyerah untuk dinikahkan dengan Bupati Rembang, yang sudah menikah tiga kali. Namun, lagi-lagi dewi keberuntungan masih berpihak kepada Kartini. Suaminya, Sang Bupati Rembang, sangat mengerti Kartini, sehingga Kartini diberi kebebasan dan didukung untuk mendirikan sekolah khusus untuk perempuan.
Bertempat di sebelah timur pintu gerbang komplek kantor kabupaten Rembang, di situlah Kartini mewujudkan cita-citanya meningkatkan kedudukan dan martabat kaum wanita. Inilah yang menjadi cikal bakal Sekolah Kartini yang didirikan pertama kali pada tahun 1912 oleh Yayasan Kartini. Sekolah ini kemudian berkembang ke Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Yayasan Kartini ini disponsori oleh keluarga Van Deventer.
Ketokohan Kartini sebagai Pahlawan Nasional banyak diperdebatkan. Dari surat-suratnya yang berpikiran maju, dipertanyakan mengapa ia akhirnya mau dinikahkan dengan pria yang sudah tiga kali menikah. Itu merupakan paradoks.
Tulisan-tulisannya yang dirangkum dalam buku “Door Duisternis tot Licht”, yang pada waktu itu diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu, “Habis Gelap Terbitlah Terang,” juga dicurigai sebagai bukan hasil tulisan Kartini, melainkan merupakan hasil rekayasa Abendanon.
Abendanon dianggap sangat berkepentingan untuk melakukan rekayasa seputar tulisan Kartini. Karena pada waktu itu, masa pemerintahan Hindia Belanda, Abendanon menduduki jabatan Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan yang diminta untuk menjalankan politik etis, yaitu politik balas budi. Politik Etis adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan bumiputera. Politik ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa dan kerja paksa.
Pandangan Armijn Pane dan Sulastin Sutrisno berbeda dengan mereka yang meragukan berbagai informasi mengenai Kartini. Keduanya malahan tak hentinya menulis buku seputar Kartini, dengan informasi-informasi yang berhasil mereka gali. Mereka juga melakukan pembahasan melalui buku-buku mereka.
Selamat Hari Kartini.
Jakarta, 21 April 2020