Berita

Kesulitan Pekerja di Tengah Pandemi

Jum'at, 01 Mei 2020 berita

Pandemi virus corona (COVID-19) telah memukul perekonomian global, termasuk Indonesia. Perlambatan ekonomi sudah berlangsung akibat pasokan dan permintaan yang terus berkurang, menyusul imbauan masif untuk bekerja dari rumah. Pelemahan perekonomian ini diperkirakan akan terjadi selama 4-6 bulan ke depan atau bahkan mungkin lebih lama karena belum ada kepastian kapan wabah ini akan tertanggulangi secara tuntas.

Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan bahwa 1,25 miliar orang bekerja di sektor yang terdampak parah oleh COVID-19 dan dibayangi PHK. Sektor-sektor itu termasuk akomodasi dan jasa makanan; perdagangan retail dan besar; manufaktur; dan properti. ILO juga memperkirakan bahwa pandemi akan mengakibatkan hampir 25 juta pengangguran di seluruh dunia.

Di Indonesia, sektor yang menghadapi dampak terbesar akibat wabah ini adalah sektor pariwisata, penerbangan, ritel, dan restoran. Sektor-sektor lain juga ikut terpukul, termasuk tekstil dan garmen. Di tengah situasi seperti ini, banyak pengusaha yang kemudian mengambil pilihan sulit untuk merumahkan atau memutuskan hubungan kerja (PHK) dengan para pekerjanya.
Dalam siaran pers tertanggal 22 April, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengimbau kepada para pelaku bisnis untuk sebisa mungkin lakukan berbagai cara untuk menghindari PHK. Namun pilihan sulit ini telah terjadi di berbagai sektor usaha.

Data dari Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia per 20 April 2020 menunjukkan, jumlah pekerja total yang terimbas pandemi adalah 2,08 juta pekerja dari 116.370 perusahaan, baik sektor formal maupun informal.

Jumlah pekerja formal yang dirumahkan mencapai 1,3 juta dari 43.690 perusahaan, sedangkan pekerja formal yang di-PHK adalah 241.431 orang dari 41.236 perusahaan. Sektor informal juga terpukul karena kehilangan 538.385 pekerja dari 31.444 perusahaan atau Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Presiden Joko Widodo telah mengimbau para pelaku usaha untuk tidak melakukan PHK meski keadaan sulit akibat pandemi di Tanah Air. Presiden menyebutkan bahwa saat ini Indonesia berada pada situasi yang berbeda, situasi yang tidak seperti biasanya.

Ledakan angka pengangguran, bila tak diantisipasi, akan meningkatkan angka kemiskinan, yang mencapai 24,79 juta orang, atau 9,22 persen menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2019. Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan, pandemi virus corona dapat menambah angka kemiskinan sampai 1,1 juta orang. Pada skenario terburuk, peningkatan angka kemiskinan ini dapat mencapai 3,78 juta orang.

Untuk membantu pihak pengusaha, Pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan ekonomi dalam perpajakan. Kementerian Keuangan dalam rilisnya menyatakan, Pemerintah telah menyiapkan anggaran sebesar Rp70,1 triliun untuk membantu sektor industri. Anggaran ini mencakup Rp52 triliun untuk menanggung pajak penghasilan (PPh21) serta Pajak Pertambahan Nilai (PPn); Rp12 triliun untuk pembebasan bea masuk; dan Rp6,1 triliun untuk stimulus Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Selain itu, Presiden Jokowi juga telah memerintahkan kementerian terkait untuk mengarahkan semua kepala daerah dan kepala desa untuk melakukan mekanisme cash for work dan padat karya dengan memanfaatkan Dana Desa sebesar Rp 72 triliun.

Ekonom Aviliani menilai, kebijakan-kebijakan ekonomi yang saat ini dikeluarkan oleh pemerintah baik untuk membantu masyarakat maupun pengusaha sudah baik. Ia menyarankan agar pemerintah meneliti mana saja perusahaan yang pekerjanya terkena imbas dari wabah ini.

Aviliani mendorong pihak pengusaha agar mengubah cara pikir dan mengutamakan sumber daya manusia. Berdasarkan penilaiannya, seharusnya tidak ada alasan bagi perusahaan besar untuk mem-PHK para pekerjanya. Perusahaan besar sebenarnya memiliki cadangan laba yang disimpan jika terjadi apa-apa. Sebetulnya akan sulit bagi perusahaan untuk mencari pekerjaan baru dalam kondisi seperti ini dan biayanya akan lebih tinggi.