Berita

Peningkatkan Peran Perempuan di Bidang Politik Harus Konsisten Dilakukan Lewat Kolaborasi

 

Upaya mendorong kompetensi perempuan dan konsolidasi internal partai politik untuk meningkatkan partisipasi perempuan di bidang politik harus konsisten dilakukan, untuk meningkatkan peran perempuan di bidang politik.

"Upaya peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen melalui kebijakan afirmasi lewat revisi undang-undang pemilu tahun ini peluangnya relatif kecil, konsistensi dalam meningkatkan kapasitas politik setiap perempuan harus terus ditingkatkan," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat menjadi pembicara kunci dalam Rapat Kerja Nasional II Kaukus Perempuan Politik Indonesia bertema Soliditas Organisasi dan Kolaborasi Optimal Kunci Penerapan 30% Keterwakilan Perempuan di Parlemen pada 2024, Minggu (28/2).

Lestari menegaskan, pencapaian 30% keterwakilan perempuan di parlemen pada 2024 harus terus digaungkan untuk direalisasikan dengan berbagai upaya.

Jika bicara kuantitas, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, jumlah perempuan di parlemen memang mengalami peningkatan sejak pemilu 1999. Saat ini komposisi perempuan di DPR RI tercatat 20,5%.

Akan tetapi, tegas Rerie, alangkah lebih baik bila perempuan di parlemen sudah mulai memikirkan tentang kualitas dalam rangka mengambil peran strategis untuk melaksanakan fungsi-fungsi keterwakilan legislasi, anggaran dan pengawasan.

Bila dukungan kebijakan afirmatif lewat perubahan undang-undang dalam tahun ini terkendala, anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap, harus diperkuat berbagai strategi alternatif lewat upaya masif penguatan kapasitas politik perempuan diawali dengan penguatan literasi politik yang tidak bias gender.

Tujuan pendidikan politik itu, tegas Rerie, sekaligus ditujukan untuk memberi pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya peningkatan keterwakilan perempuan di berbagai bidang, termasuk di parlemen.

Karena, ujar Rerie, seringkali kemampuan dan kapasitas perempuan sudah memadai, tetapi karena lingkungannya tidak mendukung, perempuan yang bersangkutan menjadi enggan berpartisipasi.

Berkaca dari kondisi itu, Rerie menegaskan, perempuan tidak boleh takut mengambil kesempatan berkiprah di bidang politik.

Perempuan juga harus mampu membangun basis dukungan, tidak melulu dari kalangan perempuan tetapi mengedepankan kualitas kepemimpinan yang menembus sekat dan merangkul semua anak bangsa. 

Selain itu, ungkap Rerie, masih terjadi bahwa pemilih perempuan tidak memilih calon pemimpin perempuan sehingga diperlukan konsolidasi, kolaborasi secara menyeluruh agar gerakan perempuan memilih pemimpin perempuan berjalan sesuai dengan harapan.

Rerie menegaskan, tugas para perempuan politik belum selesai, kita harus memperkuat kolaborasi untuk meningkatkan soliditas gerakan peningkatan kapasitas politik perempuan dengan mengabaikan sekat-sekat yang ada antar partai politik.*