Berita

Atasi Masalah Stunting secara Konsisten untuk Persiapkan Generasi Penerus Bangsa Tangguh

 

Mempersiapkan generasi penerus bangsa yang tangguh lewat penuntasan masalah gizi dan stunting harus konsisten dan terukur. Sebuah gerakan bersama harus dilakukan untuk mewujudkannya. 

"Kita merencanakan untuk mencetak generasi cerdas untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045,  tetapi persoalan mendasar soal terpenuhinya kecukupan gizi anak bangsa belum bisa teratasi. Harus ada upaya yang konsisten dan terukur untuk atasi kecukupan gizi bagi generasi penerus bangsa," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Mengantisipasi Generasi yang Hilang Akibat Stunting yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (6/4). 

Diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri, S.H., L.LM (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI, Koordinator Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah) itu, dihadiri oleh dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (k) (Kepala BKKBN Republik Indonesia), Felly Estelita Runtuwene (Ketua Komisi IX DPR RI), dr. Erna Mulati, M.Sc, CMFM (Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Kementerian Kesehatan RI) dan Prof. dr. Fasli Jalal, Sp.GK., Ph.D (Rektor Universitas YARSI – Pakar Ilmu Gizi) sebagai narasumber. Hadir pula, Amelia Anggraini (Ketua Bidang Perempuan dan Anak DPP Partai NasDem) dan Dyah Puspitarini (Ketua Umum Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah 2016-2020) sebagai penanggap. 

Menurut Lestari, data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan saat ini Indonesia masih memiliki angka prevalensi stunting yang tinggi, yaitu 24,4%. Artinya, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, satu dari empat anak di tanah air stunting dan angka tersebut masih di atas angka standar yang ditoleransi WHO, yaitu di bawah 20%.

Pada kondisi ini, tambah Rerie, kita harus mempersiapkan generasi muda agar mampu mengelola bangsa ini dengan baik di masa datang. 

Karena itu, menurut Rerie, yang juga anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, target pengentasan stunting jangan hanya menetapkan angka-angka. Tetapi, tegasnya, harus direalisasikan dalam berbagai langkah untuk mewujudkan target tersebut. 

Masalah stunting, tegas Rerie, bukan soal kesehatan semata, namun lebih dari itu bisa mempengaruhi ketahanan bangsa. "Bagaimana generasi penerus yang kekurangan gizi bisa mempertahankan kedaulatan negeri ini?" ujarnya. 

Keterlibatan semua pihak, tegasnya, sangat diperlukan agar segera mengatasi masalah stunting di tanah air. Apalagi, tambah Rerie, konstitusi kita telah menetapkan tujuan negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak,  Kementerian Kesehatan RI, Erna Mulati mengungkapkan Indonesia mengalami double burden terkait kekurangan gizi baik secara mikro maupun makro nutrisi. Erna menilai ancaman stunting akan semakin besar pascabalita mendapat makanan tambahan. 

Untuk mengatasi kondisi itu, menurut Erna, Kementerian Kesehatan telah berupaya melakukan intervensi gizi sebelum kelahiran dan  setelah bayi lahir. Intervensi sebelum kelahiran, ujar Erna, ditujukan kepada para remaja putri dan Ibu hamil antara lain lewat pemberian tablet tambah darah dan tambahan asupan gizi. 

Sedangkan intervensi gizi setelah kelahiran, ungkapnya, lewat pemberian ASI eksklusif dan makanan pelengkap ASI. Sasaran intervensi gizi saat ini, ujar Erna, tercatat 12 juta remaja putri dan 4,8 juta Ibu hamil. 

Ketua Komisi IX DPR RI, Felly Estelita Runtuwene mengungkapkan upaya mengatasi stunting merupakan hal yang penting, karena dampak stunting antara lain dapat menekan PDB sebesar 3% per tahun. Pada kesempatan itu, Felly mengungkapkan upaya negara Peru yang mampu menekan angka stunting sebesar 14% dalam 8 tahun.  Menurut Felly, upaya yang serius dari semua pihak harus dilakukan dan perlu program yang spesifik terutama  pada 1.000 hari pertama kehidupan bayi. 

"Sangat diperlukan program spesifik yang punya daya angkat, sehingga harus ada konvergensi antar sektor untuk mewujudkan Indonesia dengan pravelensi stunting yang lebih baik," ujarnya. 

Kepala BKKBN Republik Indonesia, Hasto Wardoyo menegaskan saatnya kualitas SDM menjadi perhatian kita bersama, karena hari ini perbaikan kualitas keluarga memerlukan kualitas SDM anggota keluarga yang baik. Menurut Hasto, kalau kualitas SDM tidak dipersiapkan dengan baik, Indonesia akan kehilangan peluang mendapat bonus demografi. 

Pembangunan SDM, tegasnya, harus jadi super prioritas dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Mengingat waktunya terbatas, ujar Hasto, untuk mewujudkan pravelensi stunting yang lebih baik harus memperkuat konvergensi sejumlah sektor dalam mewujudkannya. 

Pakar Ilmu gizi yang juga Rektor Universitas YARSI, Fasli Jalal berpendapat upaya untuk mencegah stunting memerlukan asupan gizi yang cukup dalam waktu lama, perilaku pengasuhan yang baik dan ketersediaan pangan yang memadai di tingkat rumah tangga. 

Fasli menilai kondisi saat ini 22% bayi mengalami stunting sejak lahir, bisa dipangkas lewat intervensi gizi di tingkat remaja putri dan Ibu hamil. Dengan langkah itu, menurut  Fasli, ada peluang penurunan angka stunting 10%-12% bila dilakukan intervensi di fase sebelum kelahiran ini.  

Ketua Bidang Perempuan dan Anak DPP Partai NasDem, Amelia Anggraini berpendapat mengingat banyak faktor yang mempengaruhi stunting, semua pihak harus terlibat dalam upaya perbaikan angka stunting ke arah yang lebih baik. 

Menurut Amelia, perlu sinergi antarlembaga yang lebih baik dan pemutakhiran data agar upaya menekan angka stunting tepat sasaran. 

Ketua Umum Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah 2016-2020, Dyah Puspitarini menilai masalah stunting di Indonesia erat dengan budaya yang ada di tanah air. Sehingga pendekatan dari sisi intervensi budaya, menurut Diah, juga sangat diperlukan.

Wartawan senior, Saur Hutabarat menilai solusi program untuk mengatasi stunting sudah sangat jelas. Yang belum jelas, menurut Saur, adalah intervensi skala mikro di tingkat desa karena belum ada gambaran yang jelas terkait desa dengan jumlah penderita stunting. 

Selain itu, tegasnya, perlu himbauan atau larangan iklan susu untuk bayi 0-6 bulan agar memaksimalkan pemberian ASI eksklusif. Upaya lain yang harus dilakukan, tambah Saur, adalah mencegah pernikahan dini, karena ketidaksiapan Ibu untuk melahirkan merupakan salah satu penyebab bayi lahir dengan stunting. *