Berita

Perkuat Ketahanan Pangan Nasional untuk Mengantisipasi Dampak Krisis Global

 

Krisis global menuntut kita mempersiapkan langkah antisipatif terhadap setiap dampak yang mungkin terjadi terkait keamanan dan stabilitas pangan dalam negeri. 

"Masalah pangan yang kita hadapi adalah bagian dari masalah global yang juga dihadapi oleh negara-negara lain di dunia. Karena itu kita memerlukan langkah-langkah antisipasi agar kita memiliki ketahanan pangan yang lebih baik," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Mengantisipasi Ancaman Krisis Pangan Dampak Perang Ukraina-Rusia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (13/4). 

Diskusi yang dimoderatori Dr. Radityo Fajar Arianto, MBA (Direktur Sparklabs Universitas Pelita Harapan) itu, menghadirkan Dr. Bayu Krisnamurti (Wakil Menteri Pertanian 2009- 2011 dan Wakil Menteri Perdagangan 2011 – 2014), Prof. Dr. Dwi Andreas Santosa (Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc (Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian, Universitas Lampung) dan MG Westri Kekalih Susilowati, S.E, M.E.(Dosen Program Studi Manajemen FEB Unika Soegijapranata Semarang) sebagai narasumber. Hadir pula Martin Manurung, S.E., M.A (Wakil Ketua Komisi VI DPR RI) dan Drs. Luthfi A. Mutty, M.Si (Pelaku Usaha Tani/Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI) sebagai penanggap. 

Menurut Lestari, para pemangku kepentingan harus belajar dari berbagai konflik global saat ini dengan terus berupaya memperkuat sumber daya yang kita miliki agar mampu memberi jaminan ketahanan pangan, setidaknya selama pemulihan untuk bangkit dari pandemi. Ketahanan pangan, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, merupakan keadaan ketika semua orang memiliki akses sosial dan ekonomi terhadap kecukupan pangan yang bergizi untuk hidup produktif dan sehat.

Pada tahun 2020, ungkap Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, sejumlah badan dunia menganalisa secara komprehensif tentang ancaman serta indikasi kerawanan pangan dan malnutrisi secara global berdasarkan refleksi mendalam atas situasi pandemi yang menggerogoti setiap aspek kehidupan. 

Berdasarkan catatan Badan Pangan Dunia (FAO), ujarnya, kondisi itu diperparah dengan terjadinya konflik Rusia-Ukraina sehingga  menyebabkan kenaikan 17,1% harga komoditas biji-bijian dunia, termasuk barley, gandum dan jagung.  Karena, tambah Rerie, krisis yang terjadi di dunia sering kali mengganggu stabilitas komoditas pangan dunia, akibat terjadinya lonjakan intervensi perdagangan dan pembatasan ekspor pangan. 

Kondisi itu, tambahnya, harus segera diantisipasi dengan berbagai langkah strategis yang terukur, lewat kolaborasi yang baik antara para pemangku kepentingan dan masyarakat, agar negeri ini mampu mewujudkan ketahanan pangan yang lebih baik. 

Wakil Menteri Pertanian 2009- 2011, Bayu Krisnamurti mengungkapkan, inflasi Indonesia Januari 2022 hingga Maret 2022 sudah tercatat 2,4%. Angka tersebut, menurut Bayu, sudah melampaui angka inflasi Indonesia pada 2019 pra  pandemi yang tercatat 2,27%. Bayu menyarankan agar kita harus bersiap menghadapi inflasi Indonesia melebihi angka perkiraan pemerintah yang sebesar 3 +/-1% atau berkisar 4%.

Harga-harga komoditas dunia seperti gandum, sapi bakalan, gula, kedelai dan CPO,  jelas Bayu, naik tajam. Hal itu, disebabkan pasokan komoditas merespon lambat terhadap pemulihan dari pandemi di beberapa negara. Jadi, menurut Bayu, kondisi harga-harga komoditas dunia saat ini memang sedang tidak baik-baik saja dan berdampak global, termasuk Indonesia. 

Senada dengan Bayu, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, Dwi Andreas Santosa mengungkapkan dampak harga komoditas dunia sangat mempengaruhi kondisi pasokan pangan Indonesia. Kondisi saat ini, ujar Dwi, FAO food price indeks dunia sudah  mencapai 152 atau lebih tinggi daripada food price indeks saat terjadi perang Arab-Israel pada 1973-1975 yang sebesar 137.

Dwi memperkirakan tahun ini akan terjadi krisis pangan dunia dan kemungkinan akan panjang. Menghadapi kondisi itu, ujar Dwi, Indonesia akan kesulitan menghadapinya, karena angka ketahanan pangan Indonesia terus memburuk pada tiga tahun terakhir. Dwi berharap berbagai upaya meningkatkan ketahanan pangan dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat harus terus dilakukan, untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. 

Sejumlah terobosan anak bangsa, ujar Dwi, dalam menghasilkan bibit unggul tanaman pangan, produksi pupuk dan sejumlah inovasi lainnya harus mendapatkan dukungan yang memadai demi kemandirian pasokan pangan nasional. 

Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian, Universitas Lampung, Bustanul Arifin mengungkapkan kondisi harga-harga komoditas dunia saat ini dipengaruhi faktor geopolitik, perubahan iklim dan pandemi. 

Menurut Bustanul, kondisi yang menyebabkan gejolak harga pangan itu harus diantisipasi secara menyeluruh. Untuk jangka pendek, ujarnya, pemberian bantuan langsung tunai dan sejenisnya harus dilakukan secara efektif, jangan sampai terjadi kebocoran. Selain itu, tambah Bustanul, upaya dalam jangka menengah bisa dilakukan lewat pendampingan dan pemberdayaan petani pada pertanian presisi, digitalisasi rantai pasokan yang mampu meningkatkan nilai pangan dan untuk jangka panjang dengan memperkenalkan teknologi pangan yang lebih adaptif terhadap perubahan. 

Dosen Program Studi Manajemen FEB Unika Soegijapranata Semarang, MG Westri Kekalih Susilowati berpendapat permasalahan pangan itu mencakup aspek produksi, distribusi dan konsumsi masyarakat. 

Karena masalah pangan, jelas Westri, sangat dipengaruhi alih fungsi lahan dan degradasi lahan di sisi produksi, pertumbuhan penduduk dan meningkatnya status ekonomi yang mempengaruhi pola konsumsi dan pada akhirnya berpengaruh pada ketersediaan pangan. 

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Martin Manurung berpendapat setiap komoditas memiliki kerakteristik yang khas, sehingga perlakuan terhadap setiap komoditas harus berbeda untuk upaya perbaikan. Martin juga mendesak pemerintah harus secara ketat mengawal harga-harga komoditas di tengah harga komoditas global yang bergejolak. 

Menurut dia, upaya pengawalan harga komoditas pernah dilakukan pemerintah dan berhasil mengendalikan harga beberapa tahun lalu. "Saya kira pemerintah bisa menerapkan strategi yang sama untuk mengendalikan harga komoditas kali ini," ujar Martin. 

Kolaborasi antara instansi dan lembaga serta pemerintah pusat dan daerah, tegas Martin, harus diperbaiki sehingga upaya untuk mengatasi gejolak harga komoditas di tanah air bisa berjalan dengan baik. 

Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI, Luthfi A. Mutty berpendapat masalah pangan yang kita hadapi saat ini adalah dampak dari masalah global. Meski begitu, menurut Luthfi, kondisi itu harus dihadapi dengan berbagai upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. 

Karena, tambahnya, kelembagaan petani di tanah air saat ini terbilang lemah. Kelompok tani tidak lagi jadi tujuan untuk dibina. Banyak penyuluh pertanian, jelas Luthfi, beralih dari tenaga fungsional menjadi tenaga struktutal. 

Jurnalis senior Saur Hutabarat berpendapat Indonesia memiliki pekerjaan rumah yang begitu besar di sektor ketersediaan pangan yang harus segera diselesaikan. 

Cadangan beras dalam negeri yang hanya tersedia untuk 1-2 bulan misalnya, ujar Saur, harus bisa ditingkatkan. Demikian pula produksi pangan nasional yang tidak mampu mengimbangi pertambahan jumlah penduduk. 

Pemberdayaan petani dari sisi kemampuan dan kreativitas juga harus menjadi kepedulian bersama agar mampu mendorong produktivitas pangan nasional. *